~Dania-Tana 2~

5 0 0
                                    


Pagi ini hujan turun dengan lebatnya. Awan hitam menyelimuti langit, badai bagai mengamuk seperti ingin menyapu seluruh kota ini. Aku menikmati keadaan ini sambil menghirup teh hangat yang terasa sangat nikmat. Keceriaan tak mampu lagi membawa kabahagiaan bagiku, aku lebih suka hujan. Dinginnya yang menusuk tulang, percikan airnya yang jernih, suara gemeritiknya yang indah. Ah...aku benar-benar telah jatuh hati padanya. Aku sudah bertekad untuk tak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Rasanya untuk bernapas sudah tak nyaman lagi karena dadaku terasa perih dan sesak. Gadis itu masih memagut bantalnya, mungkin ia masih berselimut mimpi. Aku membiarkannya dan menunggunya hingga selesai mandi. Dia masih diam. Aku mulai berbicara basa-basi seperti para politisi, aku merasa jijik dengan diri sendiri. Mengingat aku sangat anti pada yang berbau politik basa-basi. Tapi aku harus memulainya lebih dulu, mungkin akan ada sedikit tanggapan. Mungkin....

"Ehmmm!" Aku mulai mencari atensinya.

"Kapan mulai ujian Dan?" tanyaku memancing responnya. Dia berbalik dan menatap mataku. Aku menunggu reaksinya.

"Sudah selesai minggu lalu." jawabnya dingin.

Aku termanggu, tidak menyangka bahwa ternyata aku telah sangat acuh. Aku bahkan tak mengetahui bahwa dia sudah ujian.

"Dan, sepertinya kita perlu bicara". Aku memulai.

"Maksudmu, sekarang kita saling diam?"

"Iya. Jujur, aku bingung dengan perubahan sikapmu akhir-akhir ini. Apa kamu tidak merasa bahwa kita begitu jauh sementara tubuh kita berada di tempat yang sama, menghirup udara yang sama, merasakan hawa dingin yang sama? Aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu berubah. Apa salahku sehingga membuatmu seperti tak suka aku berada disini?" Dia diam, seperti memikirkan sesuatu. Padahal pertanyaanku tidak sesulit soal matematika atau fisika. Aku pun diam menunggu jawaban.

"Kenapaa?" tanyaku menuntut.

Sejenak dia diam, kemudian menyeringai. Membuat aku merinding menunggu kalimat selanjutnya. Dia mengalihkan pandangannya keluar jendela.

"Bagimu hidup itu mudah. Apapun yang kamu inginkan akan terwujud dengan segera. Kamu di perlakukan bagai putri, sementara aku? Aku tidak punya siapa-siapa selain diriku sendiri. Ketika aku pulang, tidak ada sesiapa yang menunggu kedatanganku. Ketika aku makan, tidak ada sesiapa yang menemaniku. Ketika aku menangis, tidak ada sesiapa yang akan menghapus air mataku. Dunia terasa begitu luas. Kelam. Apapun yang aku lakukan tidak ada gunanya. Untuk siapa aku menjadi anak baik? Aku bahkan tidak punya siapapun yang ingin kubahagiakan. Selama ini aku tidak pernah melakukan hal-hal yang membuat orang resah, tapi siapa yang peduli padaku? Ketika aku menjadi orang yang hancur, orang-orang mengasihani. Termasuk kamu."

Aku gelagapan.

Kami diam beberapa saat. Dia beranjak ingin meninggalkanku. Aku menarik tangannya yang lembut.

"Kamu tidak akan mengerti. Karena di duniamu hanya ada dirimu, dirimu dan dirimu!" Tatapannya yang tajam dan kata-katanya yang kasar menbuat hatiku terenyuh. Ia berusaha melepaskan tangannya, tapi aku menggenggamnya lebih erat.

"Kamu salah Dan. Aku bukan siapa-siapa! Jika kamu merasa hidup itu tidak adil. Itu memang benar. Dunia tidak akan pernah adil. Selama kamu masih ingin bertahan di duniamu yang menyedihkan itu, silahkan. Tapi jangan sekali-kali menyalahkan orang lain. Karena itu akan membuat orang mengasihanimu. Jika dengan marah kamu pikir akan menjadi lebih baik, pikirkan lagi! Duniamu tidak akan berhenti di sini!" Ucapku marah.

Dia melototiku dengan tajam, dengan kasar dia menghempaskan tangannya. Aku tertahan. Berdiri mematung. Sekuat tenaga aku mencoba membendung air mata, tubuhku bergetar hebat. Seperti mesin diesel tua yang dipaksa menyala. Betapa pahit rasanya dikerongkonganku, sakit di ulu hatiku. Perasaan kagum, sayang, semuanya berganti menjadi tak karuan. Semakin ku ingat, semakin menyiksaku. Aku sudah menyerah, menyerahkan segalanya kepada Tuhan, apapun yang terjadi. Ini terlalu pahit untuk ku telan sendiri. Obat paling ampuh adalah menyendiri. 

Aku memutuskan untuk pulang, bertemu ibu tiriku. Lebih tepatnya ibu yang membesarkanku hingga hari ini.

Tapan, 2019.04.03

Peluk Cium,

Dimm

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 04, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Harapan DaniaWhere stories live. Discover now