(3) yume de aetara

277 41 5
                                    

Lagi-lagi, kau kira kau mendengar suara Tsuyoshi.

Angin bertiup lumayan kencang di senja musim gugur ini. Untuk beberapa detik, kau merasa ada suara Tsuyoshi memanggil namamu bersama angin yang melewati daun telingamu. Secara refleks, kau menoleh untuk mencari sang pemilik suara, yang untuk sepersekian detik kau kira nyata. Kau menghela napas saat menyadari itu hanya ilusi belaka.

Tapi entah mengapa, kau merasa bahagia. Menyedihkan, bukan? Kau bahkan bisa tersenyum hanya karena delusimu sendiri. Karena hal fana yang diciptakan oleh fantasimu yang sebenarnya tak menyentuh realita.

Kalau kau menceritakan hal ini pada orang lain, mungkin mereka akan menganggapmu gila. Mengecapmu sebagai perempuan yang gagal menerima kenyataan bahwa kekasihnya sudah tidak ada. Tapi, hei, mereka tidak tahu. Perempuan yang gagal menerima kenyataan itu adalah sosokmu beberapa minggu lalu, yang masih mengumpati langit, memohon dengan putus asa untuk mengembalikan Tsuyoshi. Sosokmu yang tak mempercayai Jean, berusaha membuat seribu kemungkinan kalau Jean berbohong padamu.

Lalu, kau memutuskan untuk hidup bersama kenangan.

Jika kalian tak bisa bersama di dunia nyata, biarlah setidaknya kalian bersama dalam mimpi. Itu yang tertanam di dalam benakmu.

Maka, setiap malam datang dan rindumu menyergap, kau memejamkan mata. Menuju dunia di mana eksistensi Furukawa Tsuyoshi masih dapat kau lihat. Dunia di mana kau masih bisa melihatnya tersenyum di hadapanmu, memanggil namamu, mengulurkan tangan yang kemudian kau sambut dengan kebahagiaan. Kau dapat merasakan tangannya dalam genggaman seolah itu hal yang nyata. Kau mengeratkan jemarimu, merasa Tsuyoshi bisa menghilang kapan saja kalau kau melepaskan tanganmu.

"Aku sudah menunggumu."

Kau hanya menatap Tsuyoshi (atau lebih tepatnya bayangan Tsuyoshi?) yang tengah tersenyum sembari mengatakan itu. Kau tak mengatakan apa-apa, hanya berusaha menenangkan matamu yang terasa panas. Bahkan, meski ini hanya alam mimpi, rasanya air mata benar-benar akan membasahi pipimu.

"Bodoh. Tentu saja aku yang menunggumu. Kau pikir dua tahun menunggumu yang tidak ada kabar itu menyenangkan? Enak saja kau bilang kau yang menunggu," meski kau mengatakannya dengan kesal, kau menolak untuk melepaskan genggaman. Kenapa semua ini terasa begitu nyata?

"Maaf. Apa kau mencariku?"

"Tentu saja! Aku sampai mengirim surat ke agensimu, tahu. Aku juga mendatangi rumah lamamu, tapi keluargamu sudah pindah. Aku hampir menyerah sampai kemudian Jean-kun memberi tahu."

"Apa kau marah padaku?"

"Iya," kau menjawabnya dengan begitu cepat. "Aku marah karena kau seenaknya. Aku marah karena kau tidak mengatakan apa-apa padaku. Harusnya kau tidak usah berjanji aneh-aneh soal masa depan kalau kau sudah berencana menghilang seperti itu."

Hening. Kau tak berani menatap Tsuyoshi, takut sosoknya yang ada di alam mimpi ini tiba-tiba saja mengabur dan hilang, seiring dengan cahaya yang masuk melalui jendela kamarnya jika pagi tiba. Lalu kau melanjutkan dengan suara yang lebih lirih,"Tapi yang paling membuatku marah tentu saja karena aku kehilanganmu."

"Maafkan aku. Aku hanya tak ingin membuatmu—"

"Apa? Tak ingin membuatku sedih? Padahal hasilnya akan sama saja mau kau memberitahuku dua tahun lalu atau kapan pun. Kau tidak akan bisa menyembunyikannya selamanya dan aku akan tetap kehilanganmu."

"Aku tahu. Aku memang bodoh. Oleh karena itu ... aku minta maaf."

Kau menghapus air matamu yang mengalir. Ada suatu perasaan yang berulang kali mengingatkanmu bahwa semua ini tak nyata dan akan segera berakhir. Maka kau berusaha memikirkan apa yang harus kaulakukan selanjutnya, agar waktu yang sureal ini tak terbuang sia-sia.

Tapi, sebelum kau memutuskan, tiba-tiba Tsuyoshi menarikmu ke dalam dekapannya.

Semuanya terasa begitu nyata.

Lengannya yang melingkar di bahumu, jemarinya yang menyentuh rambutmu, wajahmu yang tenggelam dalam dadanya. Semuanya tak terasa seperti ilusi. Apakah selama ini dimensimu tertukar? Jangan-jangan dunia di mana Tsuyoshi tidak ada itulah yang disebut alam mimpi. Jangan-jangan dunia inilah yang nyata. Jangan-jangan ....

"Sebelum pagi datang, biarkan aku memelukmu."

Tidak. Kau ingin menepis perkataan itu. Semua ini tidak ada hubungannya dengan pagi, 'kan? Kau bisa seperti ini selamanya, 'kan?

"Sekali lagi, maafkan aku."

"Iya, sudah. Kau tak perlu minta maaf lagi." Kau tidak peduli suaramu yang tenggelam itu terdengar jelas atau tidak. Untuk beberapa detik, tak ada di antara kalian yang bersuara. Kau masih memikirkan bagaimana bisa semua ini terasa begitu nyata, hingga kau merasa Tsuyoshi hendak melepaskan pelukan. Kau menahannya. "Sebentar lagi, sedikit lagi."

"Pagi akan datang."

"Aku tahu. Sebentar lagi ... aku masih tidak ingin kehilanganmu, Tsuyoshi-kun ...."

"Kita akan bertemu lagi malam ini. Di sini."

"Apa kita benar-benar tidak bisa bertemu lagi di dunia nyata? Aku masih tidak bisa mempercayai ini ...." Kau mulai terisak kembali, mengeratkan dekapanmu, tak memedulikan Tsuyoshi yang berusaha melepaskannya dengan lembut, setengah memaksa.

"Kau tahu jawabannya. Tapi tidak apa-apa, selama aku hidup dalam ingatanmu, kita akan selalu bertemu di sini."

"Tapi bagaimana kalau aku tidak menemukanmu? Bagaimana kalau kau tidak muncul dalam mimpiku? Bagaimana kalau pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal padamu baik di dunia nyata maupun dunia mimpi?"

"Kau hanya perlu percaya." Pada akhirnya, dekapan kalian terlepas. Tsuyoshi masih memegang bahumu. "Kalaupun kau harus mengucapkan selamat tinggal, memang tidak ada yang abadi di dunia ini. Aku tahu kau tidak akan menyukai ini, tapi tolong tunggu sedikit lagi, ya. Sampai kita bisa bertemu di dunia yang lain."

Meskipun Tsuyoshi berkata 'kalaupun', entah kenapa ada perasaan final dalam rangkaian kata Tsuyoshi. Kau mendengarnya seperti ucapan selamat tinggal untuk selamanya, sampai kalian bisa bertemu di alam yang lebih abadi suatu hari nanti. Baru saja kau hendak membuka mulut lagi, Tsuyoshi menempelkan telunjuknya di bibirmu. "Sampai jumpa di malam selanjutnya."

"Sebentar, Tsuyoshi-kun, aku—"

Ucapanmu terpotong dengan sosok Tsuyoshi yang menghilang begitu saja, seiring dengan kelopak matamu yang terbuka. Mimpimu sudah berakhir. Kau mendapati dirimu berada di kamarmu yang remang, dengan fajar menyusup melalui ventilasi. Bukan di atas bukit bersama senja dan Tsuyoshi.

Kau meraba pipimu. Basah.

Tentu saja kau paham, tidak mungkin benar-benar arwah Tsuyoshi yang mengunjungi mimpimu semalam. Semuanya hanya ilusimu. Apa yang Tsuyoshi katakan di mimpimu hanya hal-hal yang ingin kau dengar, hingga fantasimu menyusunnya dengan wujud fana Tsuyoshi dalam bunga tidur. Itu hanya delusimu, bukan Tsuyoshi yang sesungguhnya.

Tapi, lagi-lagi, kau sudah bahagia.

Barangkali memang begini caramu merelakan. Membiarkan Tsuyoshi hidup sebagai delusi dalam benakmu, dalam mimpimu. Kau tak ingin menghapus sedikit pun kenangan yang pernah kalian rangkai bersama. Bahkan kau tak keberatan membuat memori-memori baru yang tak nyata di alam mimpi setiap malam.

Dengan ini kau tak perlu mengucapkan selamat tinggal sampai hari di mana kalian bisa benar-benar bertemu lagi.

Bagaimanapun, kau mencintainya. Tak apa-apa bagimu hanya bertemu dalam mimpi.

.

".... So I have never loved anyone

夢で会おうよ

君と僕が目を覚ましても

手をつなぐまで."

.

end.


Beyond The SephiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang