(2) bring back

197 39 4
                                    

"Itu gedung Stardust."

Tsuyoshi mengatakan itu dengan tangan terjulur, telunjuknya mengarah jauh ke panorama di bawah bukit. Kau memicingkan mata, berusaha mengingat-ingat bentuk gedung Stardust yang pernah beberapa kali kau lewati, lalu mencarinya di antara penuh sesak gedung lain yang terlihat mungil dari atas sini.

"Mana, sih?" kau bertanya setelah matamu menyerah mencari. Tsuyoshi menunjuknya lagi. "Itu. Masa tidak lihat, sih?"

Alih-alih menemukan, kau malah jadi salah fokus pada lengan Tsuyoshi yang hanya tertutup kaus pendek, lalu ikut menunjuk hingga tangan kalian sejajar. Tsuyoshi mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Tiba-tiba kepikiran, kau lebih kurus dariku, ya. Masa kalah sih denganku?" Kau membandingkan tangan kalian berdua. Kemudian Tsuyoshi malah menurunkan tangannya, menepuk kepalamu, lalu berkata,"Sayangnya kalau masalah tinggi kau kalah, ya."

"Sudah berapa kali kubilang itu tidak usah dibahas?!" kau menggerutu kesal. Tsuyoshi tertawa kecil, membuatmu membeku untuk sesaat. Terkadang kau berpikir berapa ribu perempuan yang terperangkap oleh tawa yang hanya berlangsung selama beberapa detik itu.

"Jadi, mana gedung Stardust tadi?" kau mengalihkan pembicaraan. Tsuyoshi mengangkat bahu. "Cari sendiri."

Meski kau menatapnya kesal, pada akhirnya kau tetap menuruti perkataan Tsuyoshi. Setelah beberapa menit berlalu akhirnya gedung tersebut tertangkap juga oleh retinamu. Dengan bangga, kau menoleh pada Tsuyoshi. "Akhirnya aku menemukan gedung yang selama ini membuat weekend kita tidak pernah bareng."

Tsuyoshi melirikmu, ada rasa penyesalan terselip di matanya. Kau jadi merasa bersalah. "Eh, bukan begitu maksudku. Aku tidak apa-apa, kok. Kan sudah risiko."

"Kalau aku sedang diberi off nanti kita weekend bareng, ya."

Kau hanya mengangguk. Sejak menerima pernyataan cinta Tsuyoshi yang mengejarmu sejak kelas satu SMA, sebenarnya kau sudah mempersiapkan diri. Mempersiapkan agar tidak terlalu kesepian dengan segala kesibukan Tsuyoshi. Mempersiapkan untuk menyembunyikan hubungan kalian agar tidak tercium fans.

Asal bersama Tsuyoshi, kau yakin bisa melewati semua ini.

Kau dan Tsuyoshi tetap berada di atas bukit hingga mentari terbenam. Kalian duduk berdampingan, dan saat hari mulai menggelap, kau merasakan Tsuyoshi menggenggam jemarimu. Kau menoleh dan mendapati ia tersenyum di bawah lembayung.

Saat itu, kau kira kalian bisa bahagia selamanya.

.

Tapi, kenyataannya, saat ini kau berada di bukit yang sama—sendirian. Hari-hari bahagia itu terasa seperti mimpi yang semakin jauh meninggalkanmu.

Gedung yang Tsuyoshi banggakan masih berada di tempat yang sama. Terkadang kau ingin menganggap Tsuyoshi sedang berada di sana, dan kau tengah menunggu Tsuyoshi selesai latihan dan menyusulmu, karena kau terlalu malu jika harus menyusul Tsuyoshi ke sana. Kau ingin berpura-pura seolah Tsuyoshi akan datang jika kau sabar menunggu.

Padahal kau tahu, seberapa lama pun kau menunggu, Tsuyoshi tidak akan pernah datang.

Saat kau bangun pagi dan mengecek handphone, tanpa sadar kau masih mengira ada pesan selamat pagi. Saat kau melewati jalan yang pernah kalian lewati berdua, kau masih merasa Tsuyoshi berada di sampingmu. Saat cahaya senja menelusup melalui ventilasi, kau masih merasakan genggaman tangan Tsuyoshi seperti di bukit itu. Saat matamu hendak terpejam di malam hari, kau masih melihat senyumannya dalam bayangan. Senyuman yang masih sama dengan hari-hari di mana kalian bahagia.

Senyuman imajinatif yang masih sama. Perasaanmu yang masih sama. Kau tak bergerak ke mana-mana, tertahan di tempat di mana kau dipaksa berputar dalam kenangan tanpa melangkah ke depan. Padahal waktu telah berlari jauh meninggalkanmu. Tiba-tiba saja hitungan bulan dalam kalender sudah berganti. Tiba-tiba saja tidak ada lagi yang mencari-cari nama Tsuyoshi.

Barangkali hanya kau yang masih tertinggal.

Lalu kau mulai bertanya-tanya—kau yang tertinggal, atau kau yang sengaja tidak bergerak?

Kau tidak ingin melupakannya. Saat kau merasa gambaran wajah Tsuyoshi mulai memudar dalam ingatan, kau membuka folder berisi ratusan foto Tsuyoshi, memandangi semuanya sambil menahan hatimu yang menjadi keping-keping. Kau ingin mengembalikan kenangan itu. Menghidupkannya dalam dunia fana yang bernama ilusi.

Kau masih tidak ingin mengucapkan selamat tinggal.

.

Saat kau bertemu Tsuyoshi di kelas satu SMA dulu, kau bahkan tidak mengenal nama boyband yang disebutkan teman-temanmu.

Semua perempuan mengidam-idamkan untuk mendekati Tsuyoshi. Kau mengakui bahwa Tsuyoshi memang menawan, namun kau tak memiliki keinginan berlebihan untuk selalu berada di dekatnya. Barangkali itu yang membuat Tsuyoshi tertarik padamu. Sungguh kisah cinta yang begitu pasaran—lelaki populer idaman seisi sekolah berusaha menaklukkan perempuan yang sama sekali tidak tertarik padanya.

Kau menerima ungkapan perasaan Tsuyoshi setahun kemudian, saat kalian kembali satu kelas di tahun kedua SMA. Awalnya kau mengira hubungan kalian tidak akan berjalan lancar, berhubung Tsuyoshi memiliki ribuan penggemar dan kesibukan yang menggunung. Kau juga tidak berpikir ikatan kalian akan bertahan lama. Singkatnya, dahulu kau meragukan Tsuyoshi dan juga dirimu sendiri.

Namun, seiring waktu berlalu, kau menjadi semakin ingin membuat masa depan di mana kau dan Tsuyoshi selalu bersama. Kau tak bisa membayangkan hari esok tanpa Tsuyoshi. Dalam setiap imajinasimu mengenai suatu hari nanti, selalu ada nama Tsuyoshi terselip. Kau semakin ingin bertahan. Kau semakin ingin mematri kata selamanya dalam kisah kalian.

Kau masih tak percaya 'halaman selanjutnya' yang kau lukis bersama Tsuyoshi itu tak pernah menjadi nyata. Semuanya hanya menjadi cercah kenangan yang bertebaran tanpa sempat menemui realita.

.

Meski angin yang baru bertiup saat kau menuruni jalan di lembah itu, yang kau rasakan hanya kesepian dan kerinduan.

Tsuyoshi tak lagi ada di sini.

.

".... 君の笑顔はあの日のまま
時は流れて行く."

Beyond The SephiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang