Chapter 1: Kemampuan

28 11 8
                                    

"Apa?!"

Aku terkejut begitu mendengar teriakan wanita yang pusatnya berada di belakangku. Suara itu membuatku buyar dari lamunanku. Arah suara itu terdengar dari belakangku. Kebetulan juga aku sedang memakan es krim di bangku taman dan di belakangku terdapat semak semak, jadi kurasa jika aku mengintip tak akan ketahuan.

Begitu kulihat, tampak seorang wanita yang menangis tersedu sedu di depan seorang pria tinggi yang berusaha menenangkannya.

Meski agak samar samar, tapi aku masih bisa mendengarnya.

"Maaf ya, aku gak bisa lanjutin. Aku benar benar minta maaf. Aku gak benci kamu dan aku juga sebenarnya masih nyaman dengamu," ucap lelaki itu berbohong.

"Bohong!"

Wanita itu kemudian pergi meninggalkan pria itu dengan kondisi yang kacau. Pria bertubuh tinggi itu pun berlari mengejar wanita itu.

Drama siang hari yang singkat. Aku pun melanjutkan kegiatan memakan es krim milikku sambil menikmati memandangi awan awan yang bagai kapas berterbangan di langit biru ini.

Jujur saja, aku ini memiliki kemampuan aneh yang mungkin saja tidak dimiliki orang lain. Kemampuan yang kumiliki adalah dapat merasakan emosi orang lain. Jika aku melihat orang itu akan muncul butiran butiran cahaya yang menggambarkan isi pikiran atau emosi orang itu sendiri. Warna dari emosi itu dapat kurasakan jika aku menangkapnya. Jika aku menyentuh cahaya itu maka aku dapat merasakan seluruhnya, emosinya, pikirannya, dan kebohongannya.

Awalnya kupikir semua orang bisa sepertiku, tapi ternyata aku berbeda. Hal itu Baru kusadari sejak aku menceritakannya pada temanku dan dia malah mengolok olokku. Akhirnya selama sebulan penuh aku diejek olehnya dan anak anak sekelas.

"Yo, anak ajaib!" suara ini sungguh familiar.

Saat aku menoleh, benar saja itu temanku yang sudah mengolok olokku selama sebulan. Namanya Frans.

"Apa?" tanyaku lalu sibuk kembali dengan es krim yang kumakan.

"Wah wah, Sammy si anak ajaib sedang menyendiri rupanya," ucapnya dengan nada mengejek sembari merangkulku.

"Diam kau, dasar manusia tanpa otak," ejekku padanya.

Kulihat ekspresi wajahnya seperti terkejut. Tapi dari yang kurasakan dia malah biasa saja, tak ada emosi kecuali emosi habis merasa senang. Aku tidak tau dia senang karenaku atau bukan.

"Ah iya, ngomong ngomong kudengar kau akan masuk ke sekolah SMA elit itu bukan?"

"Ya," jawabku singkat.

"Wah keren, ternyata temanku ini pintar ya, aku baru sadar," ucapnya dengan ekspresi terharu. Tapi dia ini sedang mengejekku.

"Ya ya, terserah. Aku pergi dulu dah," aku pergi meninggalkannya dengan tangan masih memegangi es krim yang masih tersisa.

"Mau ke mana?"

"Pulang."

Sebenarnya aku berbohong ketika mengatakan akan pulang ke rumah, aku sebenarnya akan pergi ke Rumah Sakit Jiwa. Aku ke sana bukan untuk memeriksa diri, tapi karena aku ingin bertemu seseorang yang berada di sana. Orang itu tidak lain adalah adik perempuanku sendiri.

Cukup lama aku melamun di perjalanan, tanpa kusadari aku sudah berada di depan Rumah Sakit itu. Sebenarnya taman yang barusan itu jaraknya memang tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit. Jadi aku cukup berjalan kaki saja untuk datang ke sini. Kemudian aku memasukinya untuk menjenguk adikku. Jujur saja, aku takut bertemu dengannya namun di saat yang sama aku ingin bertemu dengannya. Sekarang aku sudah berada di depannya dengan jeruji sebagai pemisah, Tampak sekali wajahnya yang tersenyum manis setelah melihatku.

"Hai, kakakku yang tampan," ucap gadis itu dengan wajah yang masih tersenyum lebar.

Mungkin dia terlihat sama seperti kebanyakan orang pada umumnya. Senyumnya saja terlihat normal dan begitu manis. Wajahnya yang cantik dan gayanya yang kemayu sudah jelas menarik banyak orang untuk mendekatinya. Dia memang terlihat natural dan waras waras saja, tapi dia tidak normal bagiku, itu sudah jelas. Butiran cahaya yang berada di dekatnya hanya bewarna putih sejak tadi. Kutangkap pun tidak terasa apapun. Tapi ada dua butiran bewarna kuning dan oranye di dekatnya meskipun samar samar. Berarti dia sedang gembira.

"Ya, sudah lama ya tidak bertemu Seira. Kau semakin cantik," pujiku padanya.

"Haha tentu saja, aku kan adikmu. Kak Sam juga semakin tinggi dan tampan ya. Pasti banyak perempuan di luar sana yang menginginkan kakak."

"Tapi mana mungkin kubiarkan," lanjutnya dengan ekspresi wajah yang masih tersenyum lebar, namun terlihat menyeramkan

Aku bergidik ngeri, lalu tanpa kusadari aku melangkah mundur. Kuharap wajahku tidak terlihat sedang ketakutan, aku tidak mau gadis itu kumat lagi.

Sebagian butiran bewarna putih itu mulai berubah warna menjadi merah pekat. Itu warna yang sangat kuhindari, karena itu warna yang menggambarkan kemarahannya. Pernah sekali aku menangkap warna merah miliknya, namun yang kurasakan adalah kemarahan dan perasaan ingin membunuh yang sangat besar. Emosi itu terlalu besar, jika aku menangkap lebih dari satu kemungkinan aku akan terkendali oleh emosinya. Semakin pekat warna sebuah butiran, semakin besar pula emosinya.

"Sudah ya, aku pergi dulu ke rumah. Kapan kapan aku akan datang lagi," kataku sebelum pergi meninggalkannya.

"Oke, aku akan menunggu!"

Aku mengabaikannya perkataannya kemudian aku pun berlalu meninggalkannya. Saat aku berkata kalau aku akan pulang itu memang benar. Aku saat ini diasuh oleh bibi ku. Adikku, Seira itu memiliki suatu penyakit mental yang tentu diketahui banyak orang namun langka sekali yang memilikinya. Penyakitnya adalah Psikopat. Benar sekali jika emosi Psikopat hampir tak ada. Jika kurasakan emosinya, seperti tak pernah ada keraguan sama sekali, tak ada empati, benar benar sifat buruk yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Meski begitu, aku menyayanginya.

Lamunanku terhenti begitu menabrak seorang gadis. Wajahnya tak terlihat karena tertutupi rambut. Niatnya aku ingin membantu gadis itu untuk berdiri, tapi dengan cepat gadis itu malah berlari menghindariku. Cahaya gadis itu aneh, awalnya cahaya yang kulihat bewarna kelabu, putih, dan kuning saja, warnanya pun pudar semua kecuali kelabu. Tapi saat dia menabrakku, seluruhnya tiba tiba berubah menjadi hitam pekat semua. 

* * *

Seminggu berlalu. Sekarang aku sudah pindah sekolah. Kudengar SMA yang kutempati sekarang adalah sekolah elit. Di saat aku dibuat kagum dengan bangunan kuno ini, tiba tiba perhatianku terpusatkan pada seorang gadis yang tampak menyendiri. Bodohnya lagi, aku malah menghampirinya. Mau bagaimana lagi, warna emosi yang berada di dekatnya benar benar membuatku penasaran. Warna yang kulihat sama seperti Seira, kebanyakan putih atau kehampaan. Tapi ada beberapa butir yang bewarna kelabu dan oranye.

Sebenarnya aku agak heran, seharusnya sekarang sudah memasuki jam belajar tapi kenapa masih ada yang di luar kelas. Tapi tak apa, aku bisa menjadikannya sebagai alasan untuk bisa mendekatinya lalu mencoba mengambil warna emosi itu. Entah kenapa aku benar benar penasaran.

"Permisi, apa aku boleh meminta tolong denganmu? Aku ingin pergi ke ruang kepsek, boleh tolong antarkan? Karena aku murid baru di sini makanya tidak tau," tanyaku dengan wajah yang teramah yang kumiliki padanya.

Orang ini benar benar aneh. Tiba tiba seluruh warna emosinya berubah menjadi hitam pekat. Wanita ini bahkan hanya mengangguk penuh keraguan. Dia mengantarku tapi tangannya gemetaran, kakinya terlihat lemas, keringat dingin juga membasahi tubuhnya. Aku benar benar tidak tau apa yang membuat orang ini sebegitu takutnya. Karena penasaran, aku diam diam menangkap warna hitam pekat itu.

Yang kurasakan adalah ketakutan yang luar biasa, bahkan tak hanya emosiku saja yang terpengaruh, jantungku berdebar dan keringat dingin membasahi tubuhku. Kepekatan warna nya hampir menyamai kepekatan emosi Seira. Satu butirnya saja dapat membuat fisik dan mentalku sendiri terpengaruh. Sebenarnya apa yang membuatnya sebegini ketakutan?

* * *

Bersambung

Your PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang