Words 7

876 117 10
                                    

Sebatang bunga matahari ditancapkan ke tengah kumpulan bunga gardenia dengan kelopak putih nan rapuh. Menjadikan warna kuningnya terlihat amat mencolok. Tidak dapat menyatu dengan baik karena indahnya yang berbeda. Pemilihan vas yang berbentuk persegi dengan tinggi rendah, juga makin menambah keanehan. Seolah tidak ada harmoni dalam rangkaiannya.

Sebenarnya, jika saja Tia tidak menempatkan bunga matahari, maka rangkaian bunganya mungkin akan terlihat lebih baik. Namun, alih-alih mencabut bunga dengan batang yang masih tinggi itu meski sudah dipotong, Tia malah mengambil selotip kecil. Memaksa perekatnya untuk makin menguatkan tiap tangkai gardenia di bawah kelopak besar matahari.

"Aku selesai," kata Tia sembari melempar asal selotip.

Sekarang, wanita itu sudah mengalihkan pandang. Tidak melihat bunganya dan memilih untuk memperhatikan pemandangan luar. Fokus pada langit siang dengan panasnya yang menyentuh kulit putihnya. Masuk melalui celah jendela kayu yang dibuka.

"Kamu kenapa? Rangkaianmu tidak seperti biasanya. Hari ini tiap bunganya terlihat sangat kacau dan berantakan." El berjalan. Duduk tepat di depan Tia dengan kedua kaki terlipat ke belakang. Satu tangannya sudah terjulur. Menyentuh tiap kelopak yang seolah ingin menangis tersebut.

"Aku memang tidak berbakat. Tidak punya hati. Jadi, lupakanlah. Aku tidak akan pernah cocok merangkai bunga."

Melihat Tia yang marah, lantas membuat El bingung. Wanita itu sudah bersikap aneh semenjak pertemuan terakhir mereka di kantin. Wajah dingin Tia kali ini benar-benar seperti menahan frustrasi. Seolah dirinya amat segan hanya untuk sekadar menarik napas di satu ruangan yang sama dengan El.

Apa mungkin karena itu? Karena kejadian beberapa hari lalu saat dirinya bertengkar dengan Helmi. Mungkinkah ia masih merasa kesal?

Tidak ingin membiarkan canggung terus mengisi di antara mereka, maka El memutuskan untuk berdiri. Mengambil satu ikatan rambut dari atas mejanya. Kemudian, dengan lihai jemarinya itu mengikat tiap helai hitam yang terjuntai membentuk satu kuciran.

"Ayo, makan. Mendadak aku lapar."

"Kalau begitu, aku pulang saja."

Masih menolak untuk melihat wajah El, dengan cepat Tia mengambil tas tangannya yang berwarna merah. Berdiri dan membalikkan punggung. Bersiap untuk melangkah pulang menuju pintu keluar.

Namun, belum sempat langkah mungilnya itu meraih pintu, tiba-tiba saja El mengangkat tubuh ringan Tia. Menggendong dirinya ala tuan putri, lengkap dengan badan kekar yang masih dibalut yukata.

"Apa yang kamu lakukan?!" pekik Tia bingung.

"Menculik dan membenarkan suasana hatimu. Jadi, diam saja dan turuti aku tanpa banyak bertanya," balas pria itu dengan wajah yang sudah menunduk. Bertemu raut galak milik Tia.

"Turunkan aku!"

Tia terus meronta, sepanjang El membawanya. Meski, pria itu tidak peduli. Ia tetap abai sambil berjalan lurus dengan satu tubuh dalam gendongannya. Membuka dan menutup pintu setelah dirinya keluar.

Kedua orang itu pergi dan meninggalkan rangkaian bunga matahari yang kini berkilau cerah bersama putih gardenia. Berkas cahaya yang menyentuh kelopak kuningnya, menjadi payung untuk melindungi lembut putih di bawahnya. Seperti Tia dan El ... rangkaian itu sebenarnya tidaklah salah. Mereka saling menguatkan dan mengisi lemah yang ada. Membentuk satu harmoni yang tidak disadari.

******

Iris hitam Tia tidak bisa fokus melihat daftar menu yang ada. Ia sudah menurunkan buku besar yang menutupi wajah. Membuat pandangnya kini dapat mengintip El dari celah atas buku.

[End] Ending WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang