Tia mengambil hasami, lalu memotong batang hijau di tangannya. Tetapi, saat dirinya merasa potongan itu tidak sempurna, maka cepat, Tia melempar tangkai gerbera ke dalam tempat sampah di bawah meja.
"Hah ...." Tia menghela napas berat. Matanya melihat depan. Ke arah vas dengan rangkaian yang belum selesai.
Dalam lingkaran pipih berwarna hitam tersebut, hanya ada dua anggrek ungu, dengan batangnya yang sedikit merunduk ke bawah. Tertancap kokoh di atas kanzen, bersama anyelir merah yang kelopaknya mekar seperti kertas.
"Tidak. Masih belum selesai."
Wanita itu menggelengkan kepala. Melawan kantuk yang sudah menyerang dirinya karena tak tidur semalaman. Dibanding istirahat, dirinya memilih untuk mengambil setangkai lagi gerbera. Kali ini, dengan warna biru pucat yang menghias cantiknya.
"Tia kenapa, ya? Bukan belajar karena bentar lagi UTS. Eh, dia malah bikin bunga begitu," bisik seorang pria paruh baya. Tepat di sisi telinga istrinya.
"Sssttt!"
Wanita yang dibisiki itu langsung menutup pelan pintu. Membuat sedikit celahnya tidak lagi terbuka. Baru, setelahnya ia menghadapi pria di sampingnya.
"Ayah kenapa muncul tiba-tiba, sih? Bisa gawat kalau Tia sampai dengar."
"Lah, Ibu lagian. Ayah tunggu lama di bawah, tetapi malah enggak nongol. Makanya, disusulin ke atas. Eh, tahunya lama karena ngintipin anak sendiri."
Karena didebat, Laili jadi merasa jengkel pada suaminya. Ia sudah melihat garang pria dengan badan tambun dan kumis ala Pak Raden itu.
"Ibu itu awalnya juga mau langsung turun habis kasih tahu Tia. Tapi, ibu jadi malah penasaran. Anak kita itu, Yah. Akhir-akhir ini, tiap pulang dari kampus, pasti selalu bawa bunga. Sudah begitu, Tia juga langsung kurung diri dalam kamar dengan alasan ingin merangkai bunga. Aneh, 'kan?"
"Tugas dari tempat kursus kali, Bu."
"Ih, enggak, Yah. Sekarang, Tia 'kan lagi istirahat dulu. Sudah lama enggak kursus. Bilangnya ke ibu, sih, karena dia mau latihan sendiri."
Alis Deni—nama Ayah Tia—terangkat satu. Kelihatan sedang berpikir keras. Mencari alasan di balik segala keanehan dari putrinya itu. Namun, percuma. Tiap hari Deni selalu sibuk kerja. Pagi sampai malam menjalankan tugas sebagai polisi. Jadi, jangankan tentang kejanggalan Tia, pria itu bahkan masih belum bisa memecahkan sifat ajaib istrinya.
"Mungkin Tia memang ingin mandiri, Bu. Usaha untuk mengembangkan sendiri hormon femininnya. Bagus, 'kan? Sesuai dengan permintaan Ibu." Kedua tangan Deni sudah terulur. Memegang bahu istrinya, yang langsung dihempas sedetik kemudian.
"Enggak begini juga, Yah. Lagi pula, apa Ayah enggak merasa curiga? Jangan-jangan ada sesuatu yang Tia sembunyikan dari kita. Mungkinkah Tia sudah punya pacar?"
"Hah? Pacar?" Ayah sudah membulatkan kedua mata. Merasa tidak percaya dengan ucapan istrinya itu.
"Iya, Yah. Pacar. Mobil Tia saja pernah itu diantar sama supir kursus. Alasannya karena mau pulang bareng sama teman. Tapi, kita 'kan enggak tahu temannya itu pria atau wanita. Benar enggak kata ibu?"
"Hush, sudahlah, Bu. Jangan asal nuduh. Tia juga sudah dewasa. Bisa jaga diri sendiri. Mending, sekarang kita berangkat. Sudah ditungguin ini pasti."
Hari itu, Ibu dan Ayah Tia memang harus menghadiri acara di Bogor. Seharian dan sampai menginap. Karena alasan ini pula, kedua orang tua itu kini ada di depan pintu kamar Tia. Ingin memberi tahu anak perempuan mereka.
Tok! Tok! Tok!
"Ti, kamu dengar, enggak?"
"Dengar, kok. Dari semenjak Ibu sama Ayah ngobrol di luar keras banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Ending Words
Romance"Menurutmu, apa arti cinta yang sebenarnya?" tanya wanita itu. Kedua hitam matanya telah menunduk. Memperhatikan wajah pria yang sedang merebahkan kepala di atas pangkuannya. "Aku juga tidak terlalu mengerti. Cinta ... punya banyak arti dan bentuk...