Epilog

2.4K 147 11
                                    

Seperti kata kebanyakan orang. Gosip itu bagai api sesaat. Cepat terbakar dengan minyak di tangan. Juga mudah padam saat angin memaksa panasnya untuk hilang. Begitu pula dengan masalah El yang homo.

Begitu musim UTS dimulai, satu per satu orang, lebih memilih untuk sibuk belajar, dibanding membicarakan pria itu. Sama seperti Tia dan teman-temannya.

Semenjak kejadian saat dirinya menyatakan cinta, maka Tia sudah memutus semua hubungan dengan El. Bukan hanya dirinya, pria itu juga seolah lenyap. Sama sekali tidak memberi kabar ataupun menghubunginya.

Membuat Tia merasa kehilangan, meski hanya sesaat. Karena berkat banyak materi yang harus dipelajarinya, Tia jadi bisa lupa sebentar dengan El. Mengisi semua waktu yang ada hanya untuk belajar.

Bruk!

Tia langsung menjatuhkan tubuh pada permukaan ranjang begitu sampai ke dalam kamar. Sudah hampir seminggu musim ujian berlalu, tapi Tia masih saja tetap sibuk. Tugas kuliahnya bertambah, juga jadwal asistensi yang menunggu untuk diikuti.

"El besok pergi, ya?" katanya pada diri sendiri. Pikiran akan El langsung terbesit. Masuk dalam benaknya tanpa meminta izin lebih dahulu.

"Aku tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengannya."

Wanita itu kini sudah bergelung. Memiringkan tubuh mungilnya. Membuat kedua matanya kini dapat menangkap jelas satu rangkaian bunga yang masih tersisa. Terpajang di atas meja belajar Tia.

"Aku membuang semua rangkaian dalam kamar, lantas mengapa aku menyisakan satu rangkaian itu?"

Sinar temaram dari lampu tidur menyinari setangkai camelia merah muda dalam vas kayu kecil. Hanya ada bunga itu, tanpa dedaunan, rumput, maupun bunga lain yang menemani. Menjadi satu rangkaian yang tidak sempat Tia selesaikan dan buang di saat yang sama.

Awalnya, Tia menyimpan karena camelia adalah bunga pertama yang El kenalkan pada dirinya. Namun, melihatnya sekarang, malah jadi terasa bagai sebuah beban. Kelopaknya pun sudah terlihat pucat karena terlalu lama dibiarkan begitu saja. Sudah lewat dua hari tepatnya.

"Biar saja layu dan mati seperti perasaanku," katanya seolah bicara pada bunga di atas meja.

"Keindahan, ya ... sebenarnya kamu tidak perlu belajar untuk mengerti satu keindahan. Karena penilaian indah manusia itu berbeda satu sama lain. Indah menurutku belum tentu indah menurutmu. Jadi, yang terpenting adalah tentang perasaan yang ingin disampaikan. Itulah inti dari ikebana yang sebenarnya."

Tia langsung bangun. Duduk di atas kasur dengan mata membulat lebar, begitu kata-kata El kembali terbesit dalam pikirnya masih tanpa izin.

"Menyebalkan sekali! Bahkan, sampai terakhir ... pria itu masih tidak bisa membuatku tenang."

Mata Tia masih melihat camelia. Dirinya ingin menyalahkan keberadaan bunga tersebut. Membuat tubuh wanita itu kini sudah bergerak. Melangkah dan bersiap melempar rangkaian tersebut ke atas lantai.

Namun, saat satu tangannya sudah menggenggam. Mengangkat tinggi vas di tangan mungilnya. Tiba-tiba tangisnya kembali mengisi.

"Bunga camelia mewakili cinta abadi dan pengabdian selamanya."

Tubuh Tia meluruh ke bawah. Bertemu dengan dinginnya lantai saat menyadari cintanya yang tak akan pernah hilang sampai kapan pun. Meski hanya bersama sebentar, tapi Tia sudah terlanjur merasakan. Manis cinta yang membuatnya mabuk dan luka pada akhirnya.

"Maaf, El. Maaf karena aku berusaha membenci semua keindahan yang telah kamu ajarkan padaku." Kedua tangannya kini memeluk vas kayu tersebut. Amat erat seolah ingin menjaga sisa ketulusan yang sempat ingin Tia rusak.

[End] Ending WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang