IX. Hurts

15.3K 1.3K 8
                                    

Andrew kembali memasuki ruang perawatan Evelyn. Gadis itu sudah dipindahkan sejak beberapa jam lalu dari emergency room.

Lelaki itu mengamati wajah gadis yang seumuran dengannya. Dia tampak begitu pucat, dengan wajah layu karena kurang tidur. Bahkan terlihat cekungan di bawah mata, dia tampak kehilangan banyak berat badan.

Andrew akhirnya memilih duduk di samping Evelyn. Tangan lelaki itu bergerak menggenggam jemari lentik itu. Tidak lama, Andrew mulai merasakan jemari dalam genggaman bergerak lemah.

"Evelyn," panggil Andrew pelan.

"A-andrew," jawab Evelyn parau. Ia mengalihkan pandangan ke sekeliling, masih berusaha mengenali atmosfer baru di sekitar.

Mata Evelyn terus menjelajah hingga penglihatannya bertemu dengan manik abu-abu terang. Gadis itu dapat menangkap ekspresi kecewa yang tidak dapat disembunyikan dari netra milik Andrew.

Setelah saling bertukar pandang dalam keheningan, Andrew akhirnya mengalihkan pandang. "Apa ada yang ingin kau katakan padaku Eve?"

Evelyn merasa kata-kata yang sedari tadi mengganggunya hanya mampu menggantung di dalam mulut. Khawatir dan takut adalah sesuatu yang membuat napasnya sesak. "B-bagaimana ba-bayiku?" ucap Evelyn pada akhirnya.

Andrew mengangguk singkat, masih enggan menatap gadis itu, "Dia baik-baik saja."

Napas yang sedari tadi tertahan lolos begitu saja. Gadis itu merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa. Seolah salah satu tali yang sedari tadi mengikatnya kuat sirna.

Namun gadis itu masih punya satu masalah, ia masih berhutang penjelasan pada Andrew. Dan mengingat bagaimana ekspresi lelaki itu sekarang, tentu saja hal itu tidak akan mudah.

"Maafkan aku, Drew."

"Aku mengerti, pasti semuanya terasa sulit."

Evelyn membuang napas perlahan. "Ya, aku rasa seperti itu."

Lelaki itu kembali mengalihkan pandangan pada Evelyn. Ekspresi gadis itu kian murung.

"Apakah dia mate-mu?" Andrew bermaksud menanyakan mengenai ayah sang bayi, dan Evelyn menangkap pesan itu dengan baik.

"Ya."

Kilatan demi kilatan tentang pertemuannya dengan mate-nya mulai berputar. Membuat jantung Evelyn berdetak keras. Namun ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang meremas kuat seolah berusaha menghentikan setiap detakan itu. Lagi-lagi Evelyn merasa sesak.

Senyap.

Sejenak Evelyn kembali mengatur napas. Tidak ada waktu lagi pikirnya, ia harus menjelaskan semuanya pada Andrew.

"He rejected us. Dia sudah punya hubungan yang serius dengan she-wolf lain." Evelyn akhirnya mengatakan beban yang sedari tadi ia tahan. Andrew seketika bungkam.

Rejection atau penolakan. Salah satu kata yang paling di hindari di dunia werewolf. Rejection sebenarnya bisa berakibat fatal bagi kedua pihak mate. Keduanya bisa saja terbunuh jika matebond mereka hancur.

Beruntung Evelyn tidak mengalami masalah kecuali gangguan kesehatan kecil yang terkadang dialami oleh ibu yang tengah mengandung.

Andrew langsung membuka lengannya lebar. Dengan sigap ia merengkuh tubuh ringkih Evelyn.

Isakan demi isakan kecil lolos dari bibir gadis itu. Sejak Andrew mengenal Evelyn, belum pernah sekali pun ia melihat gadis itu menangis di depan orang lain, bahkan dirinya. Gadis itu biasanya akan menangis sendirian. Dan setelahnya dia baru akan mengkomunikasikan masalahnya. Namun tidak kali ini, semuanya terlalu berat untuk seorang Evelyn. Cukup lama, hingga isakan menyayat hati itu terhenti.

Andrew kini mengalihkan pandangan pada Evelyn yang menatap kosong ke arah dinding putih. Gadis itu sedang berpikir keras, fokus pada sesuatu yang sedang bergejolak dalam otaknya.

"Tolong bawa aku pergi Drew," pinta gadis itu tiba-tiba.

Netra berair itu kini beralih menatap Andrew dalam. Seolah ia sedang memohon dengan secuil harap yang tersisa.

"Bawa aku keluar dari kota ini. Setelah pernikahan sang alpha." Hanya ada satu cara terbaik untuk menyelamatkan bayinya. Ia tidak bisa mengambil resiko untuk membeberkan keberadaan sosok itu pada sang alpha.

****

Sementara pada hari yang sama, di suatu sudut kota. Seorang lelaki mengetukkan ujung sepatunya gugup. Ia telah berdiri sepuluh menit di depan pintu, menunggu izin dari sang pemilik ruang.

Suara derit pintu menjadi tanda baginya untuk masuk. Dari dalam, pria bertubuh tinggi keluar dengan wajah penuh lebam. Tampaknya, sesuatu tidak berjalan baik saat orang itu bertemu sang tuan.

Adrenalinnya berpacu semakin cepat. Ia merasakan jantungnya yang mulai berdetak tak normal. Lelaki itu merasakan kecemasan yang luar biasa setiap kali ia harus menghadap pimpinannya. Namun ia perlu melakukannya. Dengan sekali tarikan napas, lelaki itu melangkah tegap menuju dalam ruangan.

"Alpha." Sang pria muda menundukkan kepala pada sosok yang duduk di singgasana.

"Apa yang membawamu kali ini? Ku harap kau tidak mengecewakanku seperti sebelumnya." Tidak ada perubahan nada dalam setiap kata yang keluar, semuanya datar. Sang tuan tampak tidak tertarik.

"Aku menemukan sesuatu berharga yang bisa menghancurkan sang Alpha. Kita harus mengubah rencana awal kita." Lelaki muda itu berbicara dengan nada rendah. Ia lalu mulai merisikkan semua rencana dan strategi yang sudah ia susun dalam otaknya.

Sang pemimpin mengusap bagian bawah dagu pelan, ia masih melayangkan tatapan mengintimidasi yang sedari tadi tidak berkurang, "Apa kau yakin ini akan berhasil?"

"Aku optimis kali ini."

Lelaki itu mengangkat gelas dan menyeruput sedikit minuman berwarna kuning keemasan di dalamnya. "Apa yang akan kau pertaruhkan jika kau gagal, nyawamu?" ucap lelaki itu penuh intimidasi.

"Tentu master."

Sang tuan akhirnya dapat memasang senyum sinis.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secret Mate ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang