XIII. Captive

15.7K 1.3K 17
                                    

Evelyn terbangun merasakan ranjang empuk yang ia tempati. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum memiringkan wajahnya ke samping.

Dilihatnya ruangan yang asing. Sebuah kamar bercat putih yang tidak memiliki jendela, kecuali ada sebuah lubang ventilasi di bagian atasnya. Tempat itu begitu kosong, hanya ada sebuah tempat tidur, meja kecil di samping dan sebuah almari pakaian berwarna senada.

Evelyn mendudukkan diri perlahan sebelum bangkit dan menuju satu-satunya pintu di ruangan itu. Namun saat tangannya memutar knob, pintu itu tidak bergerak sedikitpun.

Evelyn kini gusar, ia mengetuk bilah kayu itu berulang kali, bermaksud untuk memberitahu siapa saja di luar sana. Tapi lagi-lagi aksinya tidak membuahkan hasil.

"Hei-ada orang di luar!"

Hening. Tidak ada jawaban apapun. Pendengaran wolf-nya juga tidak menangkap suara dari balik pintu.

"Hey!" teriaknya lagi.

Evelyn menghela napas panjang. Ia akhirnya memilih untuk mendudukkan diri di atas kasur.

Pandangan Evelyn beralih pada sekitar. Otaknya mulai memutar kembali ingatan yang masih tersisa, tepat sebelum dirinya tidak sadarkan diri dan dibawa ke tempat asing ini.

Terakhir kali, ia datang ke acara pernikahan sang mate hingga ia mulai merasakan sakit yang teramat sangat di beberapa bagian tubuh, salah satunya pada perut bawahnya. Bayi ... Oh Ya Tuhan!

Tangan Evelyn kontan mengelus perutnya. Entah mengapa perasaan haru menyeruak ketika ia merasakan itu, sebuah tendangan kuat kala tangan hangatnya bersentuhan dengan kulit bagian perut. Matanya mulai memburam. Pergerakan itu adalah yang pertama kalinya Evelyn rasakan.

Tidak dipungkiri, ada sedikit perasaan hangat yang menyusup ke dalam hatinya.

Tapi ia tidak bisa merasakan kelegaan sesungguhnya. Evelyn masih belum tahu lokasi keberadaannya. Tempat itu asing, ia tidak tahu apakah orang yang membawanya kemari punya niatan buruk padanya dan bayinya.

Namun Evelyn patut bersyukur. Tuhan masih mempercayakan sesuatu yang berharga. Ia akan menyalahkan diri jika sampai kehilangan titipan Tuhan yang paling berharga.

"Baby, I'm sorry. Aku hampir gagal menjagamu." Evelyn berbicara sembari mengelus lembut perutnya yang membuncit.

Jika dilihat secara kasat mata, orang-orang tidak akan menyangka jika gadis itu sedang mengandung. Namun bila di amati lebih cermat, gaun pesta yang dikenakan tidak menutupi bentuk bagian perut yang mulai tampak.

Evelyn menghela napas sekali lagi. Mata bulatnya kembali mengerjap pelan. Mengingat kehidupan lain yang tumbuh dalam perutnya membawa kembali memori tentang sang mate.

Alexander telah menikah dengan wanita lain. Cepat atau lambat dia pasti menandai wanita itu untuk menjadi luna-nya.

Dan saat itu terjadi, matebond yang mengikat dirinya dan lelaki itu akan melemah. Hal itu akan berimbas pada melemahnya kondisi wolf dan kesehatan fisik manusianya. Ia tidak bisa membiarkan hal itu membuatnya kehilangan bayinya. Tidak, ia tidak bisa membiarkannya.

Evelyn kembali mengelus perutnya pelan. Kali ini tidak ada lagi perasaan sedih yang menguasai batinnya. Sebaliknya ia malah merasa kosong, seakan tidak ada yang ia sesali dari keputusan sang mate.

Evelyn tahu keputusan sepihak matenya itu berpengaruh cukup besar pada dirinya. Tapi kali ini ia tidak mau peduli. Ia tidak ingin lagi terbuai oleh perasaannya dan mengabaikan masalah yang seharusnya mendapat perhatiannya.

Fokusnya saat ini beralih pada sosok kecil yang mungkin saja akan terpengaruh oleh hubungan mereka. Evelyn gamang, memikirkan semua kemungkinan yang terjadi.

Kerunyaman pikirannya terhenti ketika terdengar suara dari pintu. Gadis itu sigap memasang posisi kuda-kuda, bersiap menghadapi siapapun yang mengancam keamanannya.

Namun ternyata sosok yang muncul membuat Evelyn terpegun. "A-andrew." Lelaki itu berjalan memasuki ruangan dengan langkah kasual.

"Kau sudah bangun?" Andrew membawa nampan berisi makanan.

Evelyn hanya mengangguk ringan, matanya tidak pernah lepas mengekori gerak-gerik Andrew.

"How do you feel?" tanya lelaki itu sekali lagi.

Netra Evelyn masih mengamati bulat-bulat pergerakan Andrew. Dilihatnya tidak ada yang aneh dari setiap tingkah lelaki itu. Semuanya biasa seperti dalam keseharian. Tidak ada perubahan yang mencurigakan. Dan itu menimbulkan sedikit kelonggaran di dada Evelyn.

"Good, I guess." Jawaban Evelyn menghadirkan senyum kecil di bibir Andrew.

"Aku membawakan beberapa camilan, makanlah. Ku harap kau nyaman di sini." Andrew meletakkan nampan lalu ikut duduk di sampingnya.

"Dimana aku?" Evelyn menaikkan sebelah alis, menatap Andrew penasaran.

"Kau berada di tempat yang aman, aku pastikan itu. Kau bisa tinggal untuk beberapa waktu," ucap Andrew meyakinkan. Lelaki itu menyerahkan segelas air dan sebuah roti ke tangan Evelyn.

Evelyn mengangguk singkat, "Baik."

"Makanlah yang banyak lalu istirahat. Jangan lupa minum suplemenmu, okay." Andrew mengecup puncak kepalanya sebelum melangkah keluar.

Saat Evelyn selesai dengan segelas air. Ia kembali dikejutkan dengan decitan dari arah pintu, menandakan seseorang berniat kembali memasuki kamarnya.

Namun sosok yang muncul dari balik pintu membuat jantung Evelyn seakan berhenti berdetak. Mata bulatnya menatap tak percaya sosok lelaki bernetra biru yang berdiri di ambang pintu.

"Alexander?" Nama itu lolos dari mulut Evelyn yang masih terbuka.

Lelaki itu tersenyum sinis menanggapi reaksi Evelyn.

Ada apa ini?

Alexander? Apa yang terjadi?

Apa dia yang menahannya di tempat asing ini?

Tidak, tidak mungkin. Alexander tidak akan peduli dengan keberadaanya. Dia mungkin sedang menikmati bulan madunya.

Dan lagi, lelaki misterius di hadapannya memiliki begitu banyak kesamaan sekaligus perbedaan mencolok dibandingkan Alexander. Walaupun memiliki wajah serupa, sosok itu tetaplah asing. Alexander punya aura hangat yang memancar, membuat orang-orang di dekatnya tertarik dan nyaman. Ia adalah sosok alpha yang disegani.

Sementara lelaki yang serupa Alexander memiliki aura gelap. Tatapan dingin tidak pernah luput dari bola mata itu. Dia begitu mengintimidasi dengan pakaian serba hitam. Hal lainnya yang sangat membedakan adalah sosok asing itu punya banyak tato yang menutupi bagian lengan hingga leher.

Sosok itu kini mendekat sejangkah demi sejangkah, seolah hendak menangkap buruannya. Evelyn mau tak mau beringsut mundur dalam duduknya.

"Jadi kau, wanita yang membuat adikku jatuh, hmmm?" Lelaki itu mendengkus, masih memandang Evelyn dengan tatapan meremehkan yang sama.

"Namamu Evelyn, bukan? Hmmm the alpha's secret mate. Apa yang membuatmu spesial, huh?"

 Apa yang membuatmu spesial, huh?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secret Mate ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang