XI. Wedding Bell (part 2)

16.2K 1.4K 59
                                    

Dengung lonceng terdengar semakin jelas seiring dengan semakin dekat jarak yang menjadi pemisah. Derum suara mesin kian memelan, mobil sport berwarna silver menghentikan lajunya.

Kini tampak kaki berheels rendah menuruni mobil dengan gerakan pelan. Lalu sosok itu berdiri tegap sebelum menghela napas dalam.

Sang pemilik kaki jenjang mengalihkan pandangan mata pada bangunan megah berhias dekorasi mewah itu. Di sepanjang karpet merah hiasan mawar putih berjajar menyapa para tamu.

Evelyn memandang tanpa ekspresi, tempat yang dipenuhi kebahagiaan itu. Dari pandangannya semua orang menyunggingkan senyuman, mereka tertawa bahagia. Semua orang bercakap-cakap layaknya saat itu adalah salah satu waktu terbaik mereka. Tidak ada raut sedih apalagi kecewa, sebuah pemandangan yang membuatnya merasa ganjil.

Apakah ia berhak untuk merasa iri. Apakah ia juga akan mengalami kebahagiaan seperti orang-orang itu?

Evelyn masih menatap lurus tempat itu sampai ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Aroma mint bercampur bebauan khas hutan segera memenuhi indra penciuman. Dari ujung mata, Evelyn menangkap sosok yang mengenakan setelan hitam dengan dasi berwarna serupa dengan gaun miliknya. Lelaki itu mengerutkan wajahnya risau.

"Eve, kau yakin tidak mau kembali? Kau benar-benar pucat." Mata Andrew mengobservasi setiap segi wajah Evelyn.

Gadis itu menaikkan sebelah alisnya, lalu memandang Andew polos. "Benarkah? Aku masih 100% sehat, Drew."

"Please Eve. Kita masih punya waktu untuk kembali."

"Sudah ku bilang, aku baik-baik saja, Mr. Whitestone. Jika kau ingin kembali, kau bisa pergi sendiri. Silakan," tegas gadis itu sebelum berbalik dan melangkah meninggalkan lelaki itu.

Andrew hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Lalu mengekori gadis keras kepala itu begitu saja sebelum Evelyn mulai menunjukkan taringnya karena Andrew menentang.

Evelyn mengatur napas. Berulang kali ia menghela napas dalam, berusaha mengatur paru-parunya yang kian berat.

Evelyn sedari tadi sudah mengingatkan dirinya agar pantang menangis di sana. Namun saat sampai di depan pintu, ia merasakan dadanya kian bergemuruh. Ada belenggu besar yang melingkari hatinya.

Namun Evelyn masih bisa mengontrol dirinya. Ia berani berjalan melewati pintu itu dan memasuki ruangan.

Evelyn merasakannya, aroma itu, aroma yang begitu ia kenali. Aroma milik seseorang yang seharusnya ada dalam situasi ini suatu hari nanti.

Sebuah bayangan mate yang berdiri di Altar muncul dalam benaknya. Lelaki itu menunggu dengan senyuman lebar, sementara dirinya berjalan sejangkah demi sejangkah mendekat. Lelaki itu lalu meraih tangannya. Masih dengan senyuman yang menghiasi bibir, keduanya pun mengikrarkan janji suci.

Semua terbayang indah. Namun gambaran itu seketika hancur ketika pandangan matanya bertemu dengan iris biru jernih milik Alexander.

Evelyn merasa seakan mendapat tamparan keras. Semua hanyalah delusi. Semua harapan, semuanya impian tentang mate akan runtuh dalam beberapa menit.

Hati Evelyn kembali terasa seakan tersayat ribuan pisau. Setetes air mata lolos begitu saja. Namun dengan cepat tangannya mengusap benda itu.

Bodoh! Ia menangis untuk seseorang yang tidak pantas mendapatkan air matanya.

Tanpa memandang ulang Alexander, Evelyn segera melangkahkan kaki menuju kursi-kursi tamu. Gadis itu sempat memasang senyuman paksa ketika disambut ceria oleh Ivy.

Tak berselang lama, lagu pernikahan mulai berputar lewat pengeras suara. Semua hadirin berdiri untuk menunggu kedatangan sang calon mempelai wanita.

Evelyn merasa semakin pilu. Kumpulan air mata mulai mendesak ujung matanya.

Secret Mate ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang