Cerita Harian Santri

48 5 0
                                    

Seperti bersinarnya kembali matahari setelah melewati malam yang panjang. Seperti sejuknya udara setelah mengalami kegerahan. Dunia seakan hidup kembali. Dunia seakan menyapa kembali. Sadarnya Yahya dari tidur panjangnya selama berhari-hari ini membuat kedamaian di hati seluruh keluarganya, terutama Mamanya. Kecemasan dan kekhawatiran yang ada dalam hati beliau lenyap seketika.

Sepuluh hari setelah kecelakaan itu, Yahya sudah pulih seutuhnya. Ia sudah bisa duduk dan berbicara banyak, bahkan bercanda. Berbeda dengan sebelumnya yang ia hanya bisa terbaring lemah diatas kasur saja. Luka di wajahnya sedikit demi sedikit juga sudah mulai membaik. Kamar itu. Rumah itu. Sudah memiliki nyawa kembali. Rumah itu bernyawa karena kesembuhan Yahya dan kembalinya canda tawa dari para penghuninya.

Berhari-hari sudah Yahya pulang ke Probolinggo. Ia tidak tahu bagaimana keadaan teman-temannya di Malang. Bagaimana pelajarannya di sekolah. Bagaimana setoran hafalannya di Pondok. Ia tidak tahu. Ia hanya berharap bahwa pemulihan di wajahnya itu bisa berjalan dengan cepat, agar ia bisa segera kembali ke Malang. Bertemu dengan teman-teman hebat. Bertemu dengan Mas-mas pondok. Bercanda bersama mereka. Tertawa bersama mereka. Ia telah rindu masa-masa itu. Apalagi ia belum mengucapkan rasa terima kasihnya kepada teman-teman yang sudah membantunya saat kecelakaan itu.

***

Hari masih gelap. Rembulan masih bersinar terang. Suhu udara masih dingin menggigit. Menyisakan embun pada dedaunan. Yahya berjalan santai dari kamar mandi pesantren menuju kamarnya. Sampai di kamar, ia langsung mengenakan kopyah hitamnya yang tersimpan di lemari. Lalu mengoleskan minyak wangi di kemejanya. Kemudian mengambil mushafnya lalu keluar lagi menuju aula pesantren.

Masih pukul tiga dini hari. Masih sekitar satu jam lagi menuju adzan Subuh berkumandang. Yahya berdiri, lalu takbiratul ihram. Ia sholat tahajud empat rakaat kemudian ia lanjut dengan nderes hafalan Al-Qur'annya juz empat. Yahya memajukan kopyahnya hingga menutupi keningnya, kemudian menundukkan kepalanya. Bibirnya terus komat-kamit tak bersuara. Hanya suara riuh para santri yang terdengar jelas di telinga.

Masjid yang berada dekat dengan pesantren itu mulai mengumandangkan adzan subuh tepat satu jam kemudian. Sayup-sayup lantunannya terdengar dari aula pesantren. Tempat dimana Yahya duduk dan melantunkan ayat-ayat suci-Nya. Yahya spontan menghentikan hafalannya. Ia menutup mushafnya lalu menjawab panggilan-Nya. Setelah lantunan adzannya selesai, ia membaca doa. Lalu berdiri lagi kemudian takbiratul ihram lagi. Yahya melaksanakan salat sunah qobliyah subuh. Karena ia ingat perkataan guru bahasa indonesianya, Pak Imam Ghozali, bahwa melaksanakan salat sunah qobliyah subuh, begitu banyak keutamaannya.

Waktu subuh di pesantren tak ada lantunan adzan. Hanya ada salat jamaah subuh dan setoran pagi bersama dengan Pak Kiai. Pukul empat kurang sepuluh menit. Pak Kiai mulai membangunkan para santrinya yang masih berlayar dalam mimpi mereka. Beliau membawa sebuah alat semprot lengkap dengan airnya. Ini merupakan kebiasaan di pesantren. Bahwa siapapun yang bangunnya terlambat, muka dan tempat tidurnya akan basah dengan semprotan air dari Pak Kiai

Yahya jadi mengingat sesuatu. Ia ingat bahwa dirinya juga pernah terkena semprotan air dari Pak Kiai saat terlambat bangun salat subuh karena ia sedang sakit saat itu. Yahya menyungging senyum kecil di bibirnya. Kemudian melihat Pak Kiai yang masuk ke kamarnya. Ia bersyukur bahwa ia sudah berada di aula saat itu. Kemudian ia mengambil nafas panjang. Lalu mendengar suara Pak Kiai yang mengingatkan para santrinya agar jangan pernah terlambat bangun lagi.

Suara iqamah sayup-sayup dilantunkan oleh salah satu santri senior di pesantren. Saat iqamah selesai dikumandangkan, semua yang ada di aula langsung berdiri. Salat jamaah subuh siap dilaksanakan. Pak Kiai mengambil posisi sebagai imam. Kemudian membalikkan badan dan mengingatkan jamaahnya untuk merapatkan shaf agar salatnya lebih sempurna. Yahya berada pada shaf paling depan. Ia menikmati ibadahnya itu. Saat itu ia hanyalah mengingat Allah, Allah, dan Allah. Tak ada yang lain dalam pikirannya kecuali Allah, satu-satunya Tuhan yang patut disembah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pengabdian SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang