-Prolog-
Malam itu, suasana begitu damai. Diiringi alunan musik mendayu bagai pengantar tidur yang syahdu, ditemani redup sinar rembulan di antara gemintang yang berbisik, menyuruhku cepat berbaring di ranjangku.
"Ian, ayo segera tidur. Malam sudah semakin larut."
Kupalingkan wajahku ke arah pintu dan nampaklah wujud wanita dewasa paruh baya berambut hitam lebat, mengenakan piyama bercorak hitam putih yang sepertinya baru keluar dari lemari. Malaikat tak bersayap berhati selembut permen kapas yang selalu ada untukku yang kupanggil dengan sebutan...
Ibu.
Aku merengut. Ia pun menghampiriku dengan senyum termanis yang pernah ada
Tak mungkin rasanya akan ada sesuatu yang menggemparkan malam itu.
Tanah bergetar hebat, menciptakan lubang besar menganga tepat di alun-alun kota, tempat pemusik jalanan menghibur kami. Tak disangka, muncul beberapa makhluk tak dikenal, keluar dari lubang tersebut, menembak dan melempar peledak secara membabi buta. Dentuman, ledakan, dan teriakan orang-orang membuat suasana semakin mencekam. Diriku yang masih balita didekap erat oleh Ibu yang berusaha melindungiku.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mengendap-endap masuk ke rumah kami. Tentu saja Ibu semakin erat mendekap tubuh kecilku, seolah-olah tak ingin kehilangan diriku. Aku tidak tahu siapa dia. Kata Ibuku, dia adalah orang jahat.
Ibuku yang tengah mendekapku erat mengatakan sesuatu sambil berusaha membendung air matanya. "Anakku. Jika kau sudah besar nanti, ingatlah kata-kata Ibu ini! Tetaplah berada pada jalan kebenaran dan jangan pernah menyerah untuk menegakkan kebenaran. Karena orang yang berjalan di jalan itu akan mendapatkan kebahagiaan seumur hidupnya meskipun malaikat maut mencabut nyawanya saat itu juga."
Aku yang tak begitu mengerti perkataannya hanya bisa menganggukkan kepalaku dengan tatapan polos. Beliau pun tersenyum dan mengelus rambutku "Semoga kau bisa menjadi orang yang senantiasa menegakkan kebenaran, Nak. Ibu bangga memilikimu."
Saat itu juga, aku merasa seolah ada bagian dari tubuhku yang hilang. Kejadian itu berlangsung begitu saja di hadapanku. Orang jahat yang dijelaskan oleh Ibu, terkekeh setelah berhasil menusukkan pedangnya ke perut Ibu. Aku yang masih kecil hanya kebingungan dan berusaha membangunkan Ibu yang tubuhnya sudah dingin dan terbujur kaku. Orang jahat itu menatapku dengan penuh dendam, seolah ingin segera menghabisi diriku.
Tiba-tiba, seorang pria bertubuh kekar masuk dengan mendobrak pintu dan langsung menusukkan sebuah benda berbentuk bola dari belakang punggung hingga tembus melewati dada orang jahat tersebut. Ia pun langsung menggeliat kesakitan dan menghilang seketika bagai debu angkasa.
"Kau tak apa-apa, nak?" tanya pria itu.
Aku mengangguk pelan.
"Tenang. Kau sudah aman sekarang," katanya.
Ia menghampiri dan segera menggendongku, membawaku ke tungku perapian dan meletakkan benda bola itu di sana. Seketika, cahaya berpendar keluar dari bola itu, membuat suasana sekelilingku berubah, seperti berada di dimensi lain.
Dan tiba-tiba saja, sudah ada 7 orang di hadapanku, termasuk pria itu, sedang membicarakan hal yang serius.
"Apa kalian sudah siap?" tanya salah satu dari mereka.
Kemudian, mereka menggangguk bersamaan dan saling menyambung tangan. Lalu, mereka semua menghilang, menyisakan aku dan pria itu, kembali di tempat kami sebelumnya berdiri.
Sayup-sayup kudengar suara orang berteriak dari luar kaca jendela yang sudah buram tertutup debu dan darah. Aku sendiri masih ketakutan dan tak dapat menghentikan tubuhku yang bergetar.
Pria di sampingku tiba-tiba bersimpuh dan berkata, "Anakku ... Ayah tahu semua ini membingungkan untukmu. Namun, kau harus tetap kuat demi Ibumu. Apa kau mengerti?"
Lagi-lagi, aku hanya mengangguk lirih sambil menyeka air mata dan memberikan senyum tipisku. "Iya, Ayah," kataku
"Baiklah. Ayah rasa kau sudah siap. Sekarang, pejamkan matamu dan bermimpilah. Esok, engkau akan melihat apa itu masa depan," kata Ayah.
Tiba-tiba, bola di dalam tungku mulai bercahaya. Butiran debu kuning yang beterbangan mulai menguasai ruangan. Lalu, entah mengapa kelopak mataku terasa berat untuk dibuka. Aku melihat sayup-sayup Ayah tersenyum ke arahku sebelum semuanya menjadi ge..lap...
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of The Orb
Ficção CientíficaKehidupan miris seorang remaja yang ditinggal oleh ibunya semasa kecil, sedang mencari jati dirinya yang sebenarnya....