11 tahun kemudian....
4.00 AM
(Suara jarum jam berbunyi) Tik! Tik! Tik!
"Ibu tahu, kamu pasti bisa. Jangan lupakan semua pesan Ibu! Sekarang, bangunlah! Ibu selalu ada di sampingmu, mendampingimu, dan akan selalu menyayangimu."
"IBUUU!!!...," teriakku dan bangun dengan mata berkaca-kaca.
Hah?! Apa itu tadi? Kenapa aku bermimpi tentang Ibu?
Semua pertanyaan itu terlintas begitu saja. Kedua tangan menopang kepalaku, mencoba mengingat semuanya. Aku ... serasa baru sadar dari tidurku yang panjang. Badanku lemas dan kepalaku rasanya ... sakit sekali.
"Eh, pukul berapa ini?" gumamku.
Kuarahkan kedua bola mataku ke arah jam dinding yang tertancap di dinding lapuk tepat di hadapanku.
"Hmm ... masih pukul 4 pagi. Lagi-lagi bangun lebih awal. Ya udah deh, sekalian membangunkan Ayah."
Aku pun berjalan menuju kamar Ayah dengan raga yang masih setengah sadar. Sebenarnya, aku malas bangun lebih awal dan harus membangunkan Ayah.
Tapi, mau bagaimana lagi? Aku harus membangunkannya agar tidak terjadi hal yang membuat aktifitas di Steamopolis kacau pada pagi harinya. Maklumlah, Ayahku adalah seorang penjaga menara pembangkit tenaga uap di sebuah distrik bernama Steamopolis. Jika terlambat beberapa menit saja, energi tidak akan mengalir tepat waktu ke seluruh negeri. Begitu kata Ayahku.
Tapi, mau bagaimanapun, aku tetap malas membangunkannya setiap hari seperti ini. Kan lebih enak kalau sekali-kali aku bangun kesiangan jadi aku tak perlu mandi dan bisa langsung bermain gawai yang baru saja kubeli di Electro-City beberapa minggu yang lalu.
Sesampainya di kamar Ayah, yang kulihat hanyalah ranjang putih tanpa kerutan. Di sebelahnya terdapat selimut serta bantal dan guling, tertata rapi seolah tak pernah ada yang tidur di sana.
Lalu, di mana Ayah?
Setelah tak menemukannya di sekitar kamar, akhirnya aku bergegas menuju ke tempat pembangkit tenaga uap di ruang bawah tanah. Aku pun terkejut, karena tungku pembangkitnya sudah bersinar terang menandakan ada seseorang yang menyentuh dan mengaktifkannya. Namun, siapa yang melakukannya?
Tiba-tiba, aku mendengar suara yang memecah keheningan di ruangan itu. Suara mesin bersahutan bagai ketukan benda tumpul dipukulkan berulang. Kucari dari mana suara tersebut berasal. Batinku tertawa kecil, "Ah, Ayah pasti ada di dalam sana."
Aku mencoba mendekati dan membuka pintu berbahan kayu yang terlihat rapuh termakan rayap tepat di sebelah tungku tersebut secara perlahan. Namun, suara decitan daun pintu terbuka membuat Ayah bisa merasakan kehadiranku.
"Ada apa, Ian?" tanya Ayah sambil tersenyum tipis.
Aku terpaku. Bukan karena tak bisa menjawab pertanyaan Ayah. Bukan. Aku terpaku pada hasil kerja Ayah yang berdiri megah.
"Benda apa itu?" tanyaku.
Ayah pun tertawa, "Oh itu. Haha ... Sudah kuduga kau akan menanyakannya. Nanti kau juga akan tahu pada waktunya."
"Ayolah, Ayah. Beritahu aku apa itu," rengekku.
"Sebelum itu, kau harus melihat jam tanganmu dulu," kata Ayah sambil tersenyum.
Ternyata jarum jam sudah menunjukkan waktu untuk pergi ke sekolah.
"Ah, Ayah. Ayolah, sebentar saja," rengekku sekali lagi.
"Tidak bisa. Nanti kau terlambat. Sana, cepat bersiap!" tegas Ayah.
Aku pun menghela napas. Kulangkahkan kakiku, meninggalkan tempat itu.
"Hei! Ayah punya sesuatu untukmu. Tangkap!" teriak Ayah sambil melemparkan sesuatu.
Diriku yang belum siap menerima respon syaraf dari otak, tidak mendengar seruan Ayah. Akhirnya, benda itu jatuh tepat di atas kepalaku yang cukup untuk membuatku berkata aduh.
"Aww, sakittt ... Eh, apa ini?" ujarku penasaran.
"Hoho ... Itu adalah peralatan baru yang kuciptakan untukmu," jawab Ayah.
"Untuk apa ini, Ayah?" tanyaku.
"Ah, nanti kau juga tau sendiri," jawab Ayah, seperti biasa.
"Hmm ... daripada meladeni Ayah, lebih baik aku bersiap untuk berangkat ke akademi," gumamku.
Aku pun bergegas mandi, menggosok gigi, menggunakan shower berbentuk hati. Lalu, berpakaian, sarapan, dan berpamitan agar selamat sampai tujuan. Tak lupa 'tuk meminta uang jajan.
"Belajar dengan rajin, yaa!" teriak Ayah memberi semangat.
"Eee ... iyaa!" balasku.
Aku melangkah keluar dari pintu, sambil memandangi peralatan baru tersebut. "Memangnya, apa fungsi dari alat ini?"
Setelah meraba-raba cukup lama, aku menyerah. Kumasukkan benda itu ke tas dan mengeluarkan benda lain dari sana, melemparnya, yang seketika berubah menjadi skuter. Aku belum cukup umur jadi belum boleh menaiki kendaraan bermotor. Selain itu, skuter ini sudah menemaniku kemanapun selama ini, jadi termasuk barang kesayanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guardians of The Orb
SciencefictionKehidupan miris seorang remaja yang ditinggal oleh ibunya semasa kecil, sedang mencari jati dirinya yang sebenarnya....