Prolog

48 13 12
                                    

Nama gue Noel Enderson. Gue seorang indigo, ya gue bisa melihat hal yang biasa kalian sebut setan. Gue punya sahabat.
Sekarang gue lagi nongkrong di tempat dia kerja ya bukan tempat dia kerja lagi sih tapi emang ini punya dia.
Dan Tiba tiba ada yang nepuk pundak gua yang lagi sibuk ini.

"Woy Nggak pulang lo?" Itu Robert, pemilik Micro Gadget Store and Service berlantai dua ini. Sahabat baik gue sejak SMA.

Gue menggeleng,

"Selesaiin ini dulu, bentar,"
Tangan gue sibuk masang bagian LCD ponsel.

"Diany nggak ada yang nganter." Robert  mengambil jaket yang tergantung di samping pintu lalu memakainya.

"Lo anterin, dong. Sebagai gebetan yang baik,"
Sahut gue yang kembali mengecek baterai dengan power supply.

"Gue ada urusan. Buruan rampungin, kasian si Diany di bawah, nunggu."
Mata gue melirik Robert yang mengambil helm di atas rak ponsel dan pergi meninggalkan ruangan Service tanpa menjelaskan lebih lanjut, kenapa harus gue yang harus nganterin gebetannya? Hell?

Setelah memastikan baterai baru yang terpasang, berfungsi, gue masukin hp itu ke wadah plastik dan melabelinya sesuai nama pemilik yang tertempel di LCD ponsel.
Sementara iPhone 6s yang harusnya gue kerjain, terpaksa diletakkan lagi ke rak ponsel yang masih menunggu disentuh tiga orang penghuni ruangan Service ini : Gue, Norman, dan Luna. Ah, iya Luna itu perempuan satu-satunya yang jadi dokter ponsel di Micro Gadget Store and Service ini, perempuan yang selalu berurusan dengan bobol-membobol iCloud yang terkunci.

Setelah memakai windrunner nike yang jarang masuk laundry ini, gue segera keluar, mengunci pintu ruang Service dan turun ke lantai satu.

Mata gue tertuju pada sosok perempuan belanda yang berdiri di belakang Diany. Ah selalu saja, kenapa mereka selalu menampakkan diri didepan gue sih. Gue pun menatapnya dengan seksama.
Begitu tatapan kosong itu menyadari kehadiran gue, sosoknya pun menghilang.

"Robert mau kemana, emangnya?" Tanyaku sambil mengunci setiap etalase yang berisi gadget baru siap dibeli.

"Nggak tahu, katanya, sih, ada urusan ke Bandung. Besok dia juga nggak bakal ke sini."
Jelas Diany yang kemudian berdiri dan berjalan keluar toko.

Setelah beres, kumasukkan kunci etalase ke dalam tas sambil mengikuti Diany keluar.
Membiarkan Diany yang mengunci toko berlantai dua ini.

______

Jam sebelas lebih lima menit. Kalau bukan karena mengantar Diany pulang, pasti gue udah nyelesain dua iPhone yang perlu diganti baterai tad, i dan ngecek kerusakan di Samsung Galaxy Tab 3 milik sepupu Norman.

"Iya, Ma, besok aku pulang."

Mataku beralih memandang perempuan yang berjalan beberapa meter di depan.
Dia tetangga sebelahku, kalau tidah salah namanya Gledis.
Beberapa penghuni Flat di lantai empat sering membicarakannya. Termasuk Bang Meka, yang pernah salah ngambil jemuran dan kebetulan yang diambil bukan celana dalam istrinya tapi cepana dalam milik Gledis.
Untung aja gue ngga menggunakan balkon atap gedung buat njemur daleman kayak beberapa penghuni yang laen.
Semua baju kotor gue udah diambil Fresh Laundry di seberang Flat ini.

"Kamu ngapain?"

Pertanyaan itu membuat cengiran bodohku muncul.
Baru saja mau menjawab, bibirku terkatup rapat saat sosok laki-laki yang sejak tadi mengikuti Gledis, menatapku dengan bola mata putih yang terasa menusuk.

Tanpa sadar, gue memang melewati pintu unit gue dan berhenti tepat satu meter di belakang Gledis.

Gue balas menatap sosok laki-laki itu dan tersenyum pada Gledis,
"lain kali, jangan pulang sendirian jam segini. Bahaya."
Aku berbalik, berjalan ke pintu unitku dan memasukkan password rumah.

Flat ini adalah satu dari empat Gedung Flat di Jakarta Pusat yang sudah menggunakan kunci pintu digital.

"Noel! ."

Gue noleh setelah membuka pintu rumah. Gledis dan sosok yang mengikutinya itu menatapku.

"Aku tahu kamu Indigo."

Oke, kenapa dia tiba-tiba ngomong begitu?

Sosok laki-laki yang dari tadi ngikutin Gledis langsung ilang. Gue memperhatikan sekitar, hanya ada bayangan putih yang melintas di dekat tangga.
Sosok laki-laki tadi lenyap.

" Lo Tahu darimana kalo gue indigo?" Gue nanyak balik mandang si Gledis.

"Kamu pikir, aku nggak bisa dengar teriakan 'bangsat', tiap kali kamu bangun tengah malam?"
Sahut Gledis yang membuat gue sadar akan satu hal.

Ada empat unit di lantai lima ini yang tidak kedap suara.
Salah satunya, unit kamar gue dan kamar Gledis yang sebelahan.
Baru saja berniat meminta maaf, teriakan histeris dari lantai tiga membuat gue dan Gledis saling pandang.
Dalam tiga detik, kami sudah berlari kencang menuruni tangga darurat.
______
Bersambung

SHADOW KILLER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang