Bab #4

13 1 0
                                    

"cieeee,, pandangannya ke bagas terus ya dek" suara kak Dina yang mendadak ada di belakang mengawali hari yang seharusnya kuhabiskan untuk melihatnya tanpa melewatkan setiap detik yang ada.

"apa sih kak, cuma liat doang"

"berawal dari mata dek, terus turun deh ke hati" balasnya dengan senyum yang menyulut rasa ingin menghilangku. Ahhhh.. Andai aku bisa berguru pada naruto jurus ninjutsu.

"Carril, mau ke kelas? Bareng yuk? " sapa zia yang sepertinya baru datang

"duluan aja deh zi, aku mau cerita sama kak Dina dulu neh" jawabku yang masih santai di dekat gerbang sekolah, tempat paling dekat dan strategis buat liat Bagas yang berada di PMR.

"oke deh, duluan ya rill, duluan juga ya kak Din" zia pun langsung mengarah ke kelas setelah pamitan meski belum ku jawab.

Setelah lelah melihat yang tidak sadar sedang ku lihat, aku pun memutuskan pergi ke kelas bertepatan dengan bel masuk yang berbunyi. Sementara kak Dina setelah kepergian Zia ia pun pamit untuk mengecek UKS, sebagai senior PMR memang sudah kewajiban baginya

***

Kupikir waktu hanya detikan menuju menit berakhir jam yang terus berputar tanpa henti, ya kecuali habis baterai jadi berhenti deh. Kupikir lagi waktu hanya masa yang terus terulang mengganti tanggal. Ternyata waktu lebih dari itu, waktu mengubah seseorang, waktu menciptakan jarak, waktu terus berulang namun tidak mengembalikan yang telah hilang. Bahkan sekarang waktu dengan tidak berperasaan merebut seseorang.

Aku dan zia kenal sejak kecil, dari sekolah dasar kami terus bersama layaknya prangko, setahuku prangko saling melengket tanpa menyakiti, nyatanya aku salah. Zia tersakiti bersamaku.

Dengan rasa sakit yang mendominasi akupun berkata dengan lelah "jadi kenapa bisa kayak gini? Apa salahku sampai kamu menjauh? Bukannya tadi pagi kita baik-baik aja? Lalu sekarang kenapa zi? Gak biasanya ke kantin dan keluyuran di sekolah tanpa menawariku ikut lebih dulu"

Dia tidak menatapku tapi aku tau dia mendengarkan apa yang kukatakan, karena tidak lama dari itu dia menjawab "emang kamu masih butuh aku ajakin? Emang masih mau ikut bareng aku kalo setiap saat udah ada Bagas dan Dina yang nemenin kamu? Udahlah rill, aku capek ngertiin kamu, semangkin hari aku semangkin sakit kamu abaikan, kamu gak butuh aku lagi dan aku juga capek punya sahabat egois kayak kamu" Zia langsung pergi setelah pernyataannya yang jika aku tidak salah mengartikan memutuskan persahabatan kami.

Kenapa jadi begini? Salah jika aku suka Bagas? Salah jika aku ngeladeni Dina yang mampir ke kelas? Iya, aku salah sebab nggk sadar karena perasaanku yang menggebu dan menemui kak Dina setiap saat membuatku lupa atensi keberadaannya, aku lupa dia yang ada saat aku sendiri, aku lupa dia yang menggenggam tanganku saat sedih, aku lupa dia yang mau jadi sahabatku disaat dia bisa menjadikan siapa saja sebagai sahabatnya.

Tapi zia, pernahkah kamu tau bukan hanya kamu yang cemburu, aku juga sakit saat kamu lebih akrab dengan Nisa, aku juga punya ketakutan kamu tinggalkan. Perbedaan yang terjadi diantara kita membuatku sedikit tidak percaya jika persahabatan ini akan tetap ada, aku takut sendiri, aku takut kamu tinggalkan.

Jika perbedaan karena persahabatan saja sesakit ini lalu bagaimana dengan perasaanku? Siapa aku dibanding dia zi? Jika kamu yang selalu bersamaku saja menyerah menghadapi ku lalu bagaimana mungkin dia akan bertahan? Setidaknya sekarang aku tau harus apa zi. Aku tau jika memiliki sahabat sehebat kamu dan menyukai seseorang seperti dia suatu ketidak mungkinan yang terjadi dalam hidupku.

"Tyooo!! "akupun bangkit dari kursi dan menanggil tyo, setelah dia menoleh aku langsung berkata "aku izin pulang, badanku nggk enak neh, kalo sakit ntar aku nangis kan lo juga yang repot, permisikan ke guru piket dong yo" pintaku dengan lemah.

"kenapa nggak ke uks aja rill, atau perlu gue antar? " tanya Tyo sambil jalan mendekati mejaku.

"gak mau yo, biasanya kalo sakit aku suka nangis dan ngeluh ini itu, cuma bunda aja yang bisa rawat, pliesee tolong aku yo"

Ketua kelasku itu tampak berpikir lalu menyetujui permintaanku "iya deh, tunggu sini dan jangan nangis, tu mata lo udah merah banget loh" jawabnya langsung keluar kelas menuju kantor guru.

Hari ini aku memutuskan merenungi semua hal yang terjadi, aku butuh waktu buat sendiri.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang