Aku jarang cerita tentang kesulitan uang kepada siapapun. Pantang bagiku untuk mengemis pada orang lain. Tapi sepertinya aku harus menurunkan standar itu kali ini.
Ibuku baru selesai operasi jantung, jadi untuk saat ini tidak dapat bekerja. Tenggat waktu bayar uang kuliah juga semakin dekat. Aku tak bisa diam saja.
Ku katakan semuanya pada Amanda, sahabatku satu-satunya sejak kami masih memakai popok."Aku buntu, Man." Keluhku.
"Aku bisa bantu apa, Ka?" Tanyanya sambil merangkulku erat.
"Tak apalah. Aku gak enak ngerepotin kamu terus." Kataku. Amanda terdiam. Saat aku hendak bangkit menuju kelas berikutnya, tiba-tiba ia menarik tanganku dan berkata,
"Kerja di tempatku aja gimana, Ka?"
"Eh gimana?"
"Kerja di tempatku. Well, gak seratus persen sih. Papaku tanam modal di sebuah kedai kopi. Ku pikir aku bisa masukin kamu ke sana..." jelas Amanda.
"Bisakah? Oh Man, aku bersyukur banget kalau bisa. Bakalan bisa bantu keuangan aku banget" aku memeluknya erat.
Dan disinilah aku, di sebuh kedai kopi di kawasan Menteng, menggengam CV dan surat lamaranku.
"Halo Malika, senang ketemu kamu. Okay, kamu adalah satu-satunya kandidat yang direkomendasikan pak Irwan. Tell me why I should hire you." Tanya Fina, sang manager.
****
aku diterima sebagai barista di Kedai Kopi Damai. Sebuah kedai kopi lokal tempat Pak Irwan, ayah Amanda, menanamkan modalnya. Dunia ini benar-benar baru untukku. Tapi aku pasti bisa, karena aku terbiasa melakukan segala cara untuk mendapatkan penghasilan, selama cara itu halal.
Trainerku, Gayatri, adalah seorang perempuan jawa yang sangat keibuan. Bahasanya selalu santun, bahkan kepadaku yang beda umurnya cukup jauh.
Di hari pertamaku, Gayatri mengajakku berkeliling kedai sambil menjelaskan awal mula berdirinya kedai ini.Kedai Kopi Damai, dicetuskan 3 orang sahabat yang juga pecinta alam. Awalnya, mereka ingin membuat base camp tempat teman-teman pecinta alam lain berkumpul dan bertukar cerita. Tak disangka, tempat ini mendapat sambutan hangat bukan hanya dari pecinta alam saja, tapi juga masyarakat sekitar.
adalah Kevin, Bagas dan Caraka si tiga serangkai tersebut. Mereka bertiga juga yang berhasil meyakinkan Pak Irwan menanamkan modalnya di usaha mereka. Kedai Kopi Damai berjalan lancar dan sukses, karena ketiganya bekerja sesuai bidang masing-masing. Kevin di bagian marketing, Bagas di bagian management sementara Caraka di bagian operasional. Sekarang, kedai ini sudah cukup besar. Anggota timnya juga mulai banyak. Rata-rata mereka adalah mahasiswa yang bekerja sambil kuliah."Malika, kenalkan ini Caraka. One of the owners. Walaupun titelnya sebagai pemilik, dia tetap masuk dalam Bar, membuat minuman, melayani customer dan sebagainya. Jadi jangan sungkan untuk bertanya pada Caraka." Gayatri memperkenalkan laki-laki yang berada di balik Bar itu.
Lelaki yang dipanggil Caraka itu menengok dan tersenyum. Ia mengelap tangannya di apron coklatnya lalu mengulurkan tangannya padaku.
"Halo, aku Caraka. Kamu pasti Malika, rekomendasinya Pak Irwan ya?" Sapanya.
"Malika. Salam kenal mas Caraka." Aku menjabat tangannya.
"Panggil Caraka aja. Semua juga manggil gitu kok." Katanya ramah.
"Caraka." Kataku sambil tersenyum.
****
3 bulan kemudian.
Hidupku cukup teratur sekarang. Pagi kuliah, sore bekerja atau sebaliknya tergantung jadwalnya. Kalau sedang libur, aku akan tetap datang ke Kopi Damai, mengerjakan tugas-tugas kuliahku atau sekedar membaca buku. Kedai ini punya semuanya. Smoking dan Cafe areanya selalu ramai. Tapi bagian yang paling kusuka adalah Calm Room. Ruangan ini sesuai namanya, tenang. Berada di bagian belakang Kedai, ruangan ini dibuat khusus untuk pelanggan yang ingin ketenangan. Perabotnya didominasi dengan warna putih gading dan kayu. Terdapat beberapa kursi dan meja kecil setiap beberapa meter. Dindingnya terbuat dari kaca, jadi kamu bisa memandang ke arah area kafe yang selalu ramai, tapi tidak merasa kebisingan. Aku bisa menghabiskan waktu sampai berjam-jam lamanya diruangan ini.
Seperti hari ini. Setelah menyelesaikan shift pagiku, aku masih bertahan disini.
"Belum pulang?" Sapa sebuah suara di dekat pintu.
Aku menengok dan tersenyum,"Sebentar lagi. Kamu belum pulang?" Tanyaku pada Caraka.
Ia tertawa, lalu membuka pintu sedikit lebar. Suara ramai dari area kafe sedikit terdengar. Caraka lalu masuk dan kembali menutup pintu.
"Tidak ada bos yang pulang duluan." Katanya.
"Baik, Pak Bos." Sahutku.
"Kamu lagi apa?" Tanya Caraka sambil mengintip isi laptopku.
"Tugas kuliah. Tapi sudah selesai. Tinggal ku kirim saja ke dosen." Kataku sambil menekan tombol send di email, "done!" Kataku lagi.
Aku mengucek mataku, lebih dari 4 jam aku berhadapan dengan laptop.
"Kayaknya kamu capek banget. Coba deh ambil libur lebih banyak." Kata Caraka sambil menunjukan muka prihatin.
"Hahaha gak juga sih, tugas memang agak menumpuk akhir akhir ini. Lagian jatah libur kan cuma dua kali seminggu kan?" Tanyaku.
"Jangan lupa, Kamu itu part-timer. Kamu bisa ambil libur maksimal 3x. Ambil aja sehari lagi, buat istirahat dari kerjaan dan kuliah." Saran Caraka.
"Aku gak apa-apa. Udah biasa nguli, hahaha" Caraka tertawa, tapi ia menambahkan,
"Aku cuma gak mau stafku sakit, akhir-akhir ini cuaca lagi gak menentu lho."Aku hanya mengangkat bahu, lalu mengambil membereskan barang-barangku.
"Baiklah, aku pulang duluan ya. Besok aku shift pagi lagi." Kataku.
"Ah ya, aku juga. Jangan lupa besok hari terakhir Gayatri disini. Kamu bisa ikut farewell partynya sepulang kerja?" Tanya Caraka.
"Bisa. Besok aku tidak ada jadwal kuliah kok." Jawabku, lalu aku pamit.
Dalam perjalanan pulang, aku mampir ke toko buku. Kulihat jam tanganku. Ah masih jam 8, belum terlalu larut untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malika
Random"Aku takut jatuh cinta padamu, Namun tetap saja aku terjatuh." Malika telah memberikan hidupnya untuk Caraka. Sebuah keputusan yang awalnya terdengar seperti romansa yang klise, namun ia tak pernah menyesalinya. Bersama Caraka, menjadi bagian pentin...