Dia dan Sketsanya

36 2 1
                                    

Sebuah buku yang benar-benar bagus. Kubalik sampul belakangnya. Ah sial, harganya mahal sekali, keluhku dalam hati.  Ku kembalikan buku itu ke raknya. Aku akan berkeliling lagi, sekedar melihat-lihat.

Seseorang mencolek bahuku sambil menyapa,

"katanya mau pulang, Non."
Aku menoleh.

"Caraka, sedang apa disini?" Tanyaku.
Ia mengangkat sebuah kotak berisi puzzle dari keranjang belanjanya.

"Hadiah perpisahan untuk Gayatri besok. Trainer-mu itu suka banget sama permainan puzzle. Kamu sendiri ngapain?" Caraka balik bertanya.
Aku menunjuk buku yang tadi kukembalikan ke rak.

"Nyari buku itu. Pas kulihat harganya, aku berubah pikiran." Jawabku sambil tertawa.

Caraka melihat ke arah yang kutunjuk, ia mengambil buku itu dan melihatnya.

"Barbara T. Bradford? Ini penulis novel misteri itu kan?" Tanya Caraka.

"Bukan. Barbara penulis novel romansa dewasa, sementara yang kamu sebutkan itu Sydney Sheldon. Ini adalah seri terbarunya Barbara, novel-novelnya dia selalu bisa bikin aku amazed." Kataku bersemangat.

"Kamu mau ini? Aku beliin ya." Tawar Caraka sambil menaruh buku itu ke dalam keranjang.

"Jangan!" Cegatku sambil menahan tangannya.

"Lho kenapa? Kamu pengen buku ini kan?" Tanya Caraka.

"Iya, tapi masa kamu beliin?"

"Ya gak apa-apa. Anggap aja sebagai hadiah." Kata Caraka sambil mengangkat bahu.

"Hadiah untuk apa?" Tanyaku.

"Employee of the month?" Caraka berkelakar, aku hanya memutar bolamataku.

"Jangan. Okay?" Cegahku.

"Yaudah sih. Kalo aku pengen beli buat temanku kan gak apa-apa. Sama kayak aku beliin Gayatri puzzles." Kata Caraka santai.

"Caraka, aku gak nyaman kayak gini." Keluhku.

"Okay, okay. Ribet amat sih kamu. Merusak kesenangan orang, tahu gak?" Caraka memgembalikan buku itu ke raknya, aku kembali memutar bolamataku.

"Sebagai ganti telah merusak kesenanganku, jangan pulang dulu. Bantu aku pilih sesuatu. Okay?" Tanya Caraka.

"Pilih apa?" Aku balik tanya. Lelaki itu hanya diam dan menarik tanganku. Ia tak melepas tanganku sampai kami tiba di lorong alat-alat tulis.

"Bantu aku pilih buku gambar yang bisa kubawa-bawa. Selama ini buku gambarku selalu dirumah. Gara-gara lihat kamu sering banget nongkrong di Calm Room, aku kepikiran pengen nyoba menggambar disana." Jelas Caraka, matanya menyusuri rak yang dipenuhi buku-buku sketsa dengan berbagai ukuran. Ia menarik sebuah buku sketsa lalu menunjukannya padaku.

"Bagaimana kalau yang ini?"

Aku menggeleng, "terlalu besar. Kertasnya juga agak tipis. Kalau kamu pakai tinta cair, pasti akan tembus ke baliknya."

"Aku gak tahu kamu suka menggambar, Caraka." Tambahku.

"Oh bukan menggambar masterpiece atau apa. Aku cuma suka bikin sketsa, itupun pakai pensil murahan." Ia tertawa.

Aku ikut mengedarkan pandangan, lalu mengambil buku disebelah kiri atas.

"Bagaimana kalau ini? bahan kertasnya bagus. Ukurannya juga sedang, jadi bisa kamu masukin ke tas." Kataku sambil menyerahkan buku dengan hardcover berwarna hitam.

Lalu tanpa banyak kata, ia masukan buku itu ke dalam keranjang.

"Oke, belanjaku sudah selesai. Kamu masih mau lihat-lihat atau sudah selesai?" Tanya Caraka.

"Aku sudah selesai. Yaudah kalau begitu, aku pulang ya." Aku hendak pamit.

"Eh nanti dulu. Kamu udah makan? Di depan sana ada mi ayam enak banget. Rugi kalo gak nyobain, apalagi pangsitnya, beuuuuh. Makan yuk!" Ajak Caraka.

"Caraka, aku ga lapar. Aku harus pulang." Tolakku.

Caraka menggeleng, "kamu itu belum makan sejak selesai shift. Kamu langsung nangkring depan laptop sampe pulang tadi. Pasti laperlah, gak mungkin gak laper. Ayo makan, nanti pulangnya ku anterin. Okay?" Kata Caraka.

Aku berpikir sebentar, "baiklah."

****

"Gimana, enak kan?" Tanya Caraka. Aku melirik mangkuk kosong disebelahnya.

"Enak. Tapi kayaknya menurut kamu enak banget." Kataku. Caraka tengah menghabiskan mangkuk keduanya.

Ia tertawa, "kalau kesini, aku gak pernah cuma pesan satu. Pangsitnya enak banget soalnya."

Ku akui, pangsitnya enak. Isi ayamnya penuh dan bumbunya pas.

Aku sudah sms ibuku perihal aku pulang telat. Jadi aku masih agak santai.

"Oke, aku penasaran. Selain suka ngeracik kopi dan menggambar. Apalagi yang kamu suka?" Tanyaku.

"Tugasku meracik kopi. Sementara menggambar cuma sekedar hobi." Caraka mengoreksi.

"Aku boleh liat hasil gambarmu?" Tanyaku.

"Boleh aja. Wait," ia menyingkirkan mangkuk kosongnya.

Lalu ia keluarkan tempat pensil dan buku sketsa yang tadi dibelinya. Ia mulai menggoreskan pensilnya di atas kertas. Aku tak pernah melihatnya se-relax tapi juga serius pada saat yang sama seperti itu. Tangannya dengan mantap menyapukan goresan-goresan yang apik. Matanya tajam berfokus pada sketsa yang tengah dibuatnya.
Ia selesai dalam waktu sepuluh menit. Diperlihatkannya buku itu padaku.
Aku terkagum-kagum.
Didepanku, tersaji sketsa suasana sebuah kedai kopi. Lengkap dengan siluet dua orang yang duduk berhadapan.

"Caraka. Ini keren banget!" Pujiku, mataku belum terlepas dari sketsa yang dibuatnya.

Ia tertawa, "buat kamu aja."

"Eh, kok buatku?" Tanyaku.

"Hadiah karena sudah nemenin aku beli buku sketsa ini." Kata Caraka, lalu ia merobek kertas itu dari bukunya. Dibagian belakangnya, ia menulis sesuatu. Lalu ia serahkan kepadaku dan berkata, "nih buat kamu, tapi bacanya nanti aja ya."

Aku menerima kertas itu dan kuselipkan di buku jurnalku.
"Kamu sudah selesai kan? Yuk pulang!" Ajak Caraka.

****

Saat hendak tidur, aku teringat kertas sketsa yang diberikan Caraka. Kuambil buku jurnalku.

Dibalik sketsa menakjubkan yang dibuat Caraka, terdapat dua paragraf pendek:

" duduk sepasang kawan di satu meja,
dengan dua cangkir kopi panas dalam genggaman.
Yang satu belajar mengeja,
Yang lain melempar senyuman."

Lalu dibagian bawah tulisan itu,

"Terima kasih untuk hari ini. Ku harap ada yang berikutnya. Next, kita ngopi bareng?"

Aku tak sadar wajahku bersemu ketika membacanya. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.

MalikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang