La Vie en Rose - #23

5K 751 33
                                    

Senyuman Sakura merekah tatkala Soah datang ke tempat kerjanya dan mengajaknya untuk meminum kopi bersama. Sekitaran lima tahun lalu, Sakura memilih Soah sebagai aktris yang ia kagumi. Kecantikan Soah dan kepiawaiannya dalam berakting sungguh memikat hati kaum adam ataupun hawaㅡtermasuk Sakuraㅡ. Apalagi saat Sakura perlahan sadar jika Soah dan dirinya adalah teman masa kecil selama di Jepang, tambahlah ia menyukai dan mendukung Han Soah sebagai aktris favoritnya.

Jika ditanya tentang mimpi, Sakura pasti menjawab jika ia bermimpi menjadi seorang dokter. Tapi entah kenapa setelah melihat akting Soah lima tahun lalu, ia sangat ingin menjadi pemain peran. Ah, tapi Sakura harus menelan pil kekecewaan karena dirinya tak punya bakat dalam berakting. Wajahnya juga tidak secantik Soah. Jadi, bagaimana bisa dia memikat para penonton jika tak punya bakat dan kecantikan?

Sakura memandang satu gelas kopi mahal yang Soah pesankan untuknya. Rasanya tak percaya jika seorang Han Soah mentraktir wanita yang tak sekasta macam dirinya sebuah kopi. Seingat Sakura, kemarin baru saja Soah meremehkannya. Tapi sekarang dengan ketiba-tibaan, Soah datang dengan gaya angkuhnya dan tanpa basa-basi langsung mengajak Sakura minum kopi. Entah apa yang ingin dibincangkan, Sakura tidak tahu.

Tanpa Sakura ketahui, saat ini Soah tengah memandang lekat dirinya. Bagi Soah, wanita di depannya ini tidak memiliki wajah-wajah keturunan bangsawan. Senyuman polosnya membuat Sakura terlihat seperti orang idiotㅡmenurut Soahㅡ, tubuhnya juga tak ada seksi-seksinya sama sekali. Tapi satu yang Soah akui dari fisik Sakura, yaitu wajah cantiknya. Walau bisa dikatakan jika Sakura tentu akan kalah cantik dari dirinya, tapi Soah yakin jika kebanyakan orang tak akan bosan memandangi wajah Sakura dalam kurun waktu yang lama.

Kecantikan natural yang membuat seorang Han Soah dilanda rasa iri.

"Dilain waktu, aku yang akan mentraktirmu kopi," celetuk Sakura bersemangat. Di Busan sana, jika ia ditraktir oleh temannya, maka di pertemuan selanjutnya, Sakura lah yang akan membayar. Bukan sebuah paksaan, hanya saja traktiran yang berasal dari sebuah rasa tak enak hati.

"Tidak usahㅡ" Soah menyahut dengan cepat. Menurutnya, Sakura tak akan pernah mampu mentraktirnya sebuah minuman mahal dengan kisaran gaji yang tak seberapa itu. Soah sangat tak suka jika harus menyesap minuman dari kedai-kedai biasa. Katakan saja, itu adalah sebuah alergi yang sengaja dibuat-buat karena faktor kebiasaan. "ㅡlagipula kau tak akan mampu mentraktirku minuman mahal. Menghidupi dirimu saja sepertinya sudah cukup sulit," balasnya dengan nada teramat sarkas.

Tapi tetap saja, hati Sakura sekeras baja. Ia tidak akan terluka karena remehan itu. Lagipula, apa yang Soah katakan tidak sepenuhnya salah. Untuk hidup saja rasanya sulit, apalagi ingin bergaya mentraktir?

"Ah, benar juga. Untuk membiayai diriku saja rasanya sudah mencekik. Aku ini terlalu bergaya, kan?" Tawa Sakura, padahal di lubuk hatinya ada secercah rasa kecewa. Tapi yasudahlah, Soah terlihat begitu tinggi dan ia tak akan pernah sebanding dengannya.

Dering ponsel Soah membuat dua pasang mata itu tertuju pada objek yang sama. Tertulis nama managernya disana, membuat Soah berdecak pelan. Padahal ia masih ingin lebih lama disini, mengorek semua masa lalu wanita di depannya.

"Oh ya, Sakura. Aku masih ingat gurauan teman-teman kita di Jepang dulu. Apa kau yakin jika kau adalah anak kandung orangtuamu?" Pertanyaan yang dilontarkan Soah sukses membuat ingatan Sakura tentang hari itu terputar kembali. Hari dimana ia menangis sesegukan karena dibilang bukan anak kandung orangtuanya.

- - -


Pandangan Soah dan Morgan bertemu sebentar. Kebetulan sekali, saat Soah keluar dari cafe mahal tersebut, Morgan tengah berada di depan pintuㅡarea luar. Karena mereka tak begitu saling mengenal, hanya sebatas tahu saja, Soah pun hanya memberikan lirikan dan kemudian berlalu pergi.

FANGIRL : La Vie en Rose [ PJM ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang