1. A Dream But Not Really

670 57 3
                                    

"Hyung, bukan maksudku lancang, tapi—" Namjoon berhenti sejenak, dengan hati yang kalang kabut, "Rasa sayangku kepadamu sudah lebih dari sekedar sahabat."

Seokjin membeku. Seketika, suhu udara di ruangan perpustakaan yang sepi itu semakin dingin dengan angin sepoi yang berhembus masuk melalui jendela.

"Maaf Namjoon. Kau sudah aku anggap sebagai saudara kandungku sendiri. Aku tak ingin mengacaukan persahabatan ini hanya karena cinta."

Lelaki yang lebih tua itu langsung berbalik, meninggalkan Namjoon terpaku. Entah harus berkata apa. Ingin memanggil, namun lidahnya terasa kelu, bahkan sampai tak dapat lagi Namjoon melihat orang yang mulai dicintainya itu...

Dan semua itu hanyalah bunga tidur Namjoon.

Mimpi yang sebenarnya telah terjadi empat tahun lalu. Sebuah peristiwa dimana Namjoon merasakan cintanya bertepuk sebelah tangan. Mengingkari sebuah persahabatan yang telah berjalan selama sepuluh tahun lamanya. Bersama seorang teman kecil dari rumah.

"Mimpi itu lagi." Namjoon mendengus pelan, mengusap wajahnya dengan salah satu telapak tangan, sebelum ia kembali mendekap kekasihnya yang masih terlelap.

Diciumnya lembut pipi lelaki bertubuh mungil itu, lalu membisikkannya kata cinta meski tak tersampaikan.

Namjoon merasa lelah dengan gambaran masa lalunya yang muncul dalam mimpi. Saat itu ia begitu naif, mengatakan cinta dengan sembarang tanpa berpikir terlebih dahulu.

Melupakan cinta pertamanya lumayan sulit bagi Namjoon. Bahkan ia berusaha keras untuk kembali bangkit dan mencari cinta yang baru. Menghindar dari bayang-bayang masa lalu yang sempat membuat dunianya seperti hancur berkeping-keping.

***

Setelah empat tahun berlalu, Seokjin akhirnya pulang dari studinya di New Jersey. Dengan harapan ia bisa kembali bertemu dengan Namjoon dan mengungkapkan perasaan yang baru disadarinya selama ia jauh.

Lebih tepatnya, menyesal karena telah menolak Namjoon. Meskipun Seokjin merasa kalau ia sudah terlambat dan mungkin sahabat lamanya itu lupa akan sosoknya.

Dengan berbekal alamat rumah Namjoon yang sudah lama disimpannya, Seokjin menghampiri sebuah taksi di sekitaran bandara. Lalu ia menunjukkannya dengan yakin, sebelum sang supir akhirnya melajukan kendaraannya.

Di tengah perjalanan, Seokjin hanya terdiam sembari memandang ke arah jendela mobil. Memperhatikan jalanan yang tak asing baginya. Memunculkan kembali setiap kenangan yang telah dijalaninya bersama Namjoon. Bermain mesin permainan sebelum pulang sekolah, makan siang di sebuah kedai ramen pinggir jalan dan semua kenangan yang masih betul-betul diingatnya.

Begitu sampai di depan rumah Namjoon, Seokjin sempat merasa ragu sesaat ia akan menekan bel. Namun, ia tak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan ketika waktu mengizinkannya. Seokjin harus bertemu dengan Namjoon.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya membukakan pintu untuk Seokjin. Beliau sempat mengernyitkan dahinya ketika kedua matanya bertemu dengan milik sang pemuda di hadapannya sampai Seokjin mengucapkan namanya. Wanita itu tersenyum sumringah begitu tahu seorang pemuda tampan itu adalah Seokjin, teman kecil Namjoon.

Seokjin lalu dipersilahkan masuk dan disambut dengan sangat baik. Secangkir teh hangat pun kemudian disediakan setelah ia duduk di sebuah sofa berwarna hijau tua.

"Bibi apa kabar?"

"Aku baik-baik saja, Jin," wanita itu pun tersenyum, "Kau masih berkomunikasi dengan Namjoon?"

Mendengar nama Namjoon disebut, Seokjin sempat menunjukkan senyum penuh keraguan, "Semenjak saya pergi ke New Jersey, kita- sudah tidak berkomunikasi lagi, Bi."

Ibu dari Namjoon itu terlihat sedikit terkejut dengan pernyataan Seokjin, "Oh, begitu? Pantas saja Joon tak pernah lagi membicarakan mu."

Lalu giliran Seokjin yang terkejut.

Apakah Namjoon telah melupakannya sekarang?

"Kalau boleh tahu, dimana Namjoon sekarang, Bi?"

"Ah, dia tinggal di sebuah apartemen dekat kampusnya," Bu Kim terhenti sejenak sebelum ia tiba-tiba tersenyum, "Bibi berikan alamatnya, ya?"

Seokjin menggeleng, "Tak usah, Bi. Saya akan mencarinya di kampus. Terima kasih sebelumnya." Kemudian sedikit membungkuk, sebelum ia beranjak pergi.

***

Kehadiran Seokjin rupanya sempat menarik perhatian beberapa mahasiswa di sana, khususnya para perempuan. Mereka memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki, seakan-akan Seokjin adalah orang asing yang datang entah dari mana.

Tak ingin berlama-lama memperhatikan gedung besar di hadapannya itu, Seokjin kemudian bertanya kepada seorang mahasiswa laki-laki berpenampilan santai yang kebetulan lewat. Meskipun Seokjin asal memanggil, namun anak itu ternyata mengenal Namjoon dan diketahui juga mengambil jurusan musik. Hal yang sangat digemari sahabat kecilnya itu.

Seokjin pun membungkuk hormat, berterima kasih kepada mahasiswa tersebut dan mulai melangkahkan kaki dengan koper yang masih ditariknya.

Seakan sang waktu telah menjawab, ia menangkap satu sosok yang memiliki perawakan tinggi besar, mencirikan seorang Kim Namjoon, sahabat kecilnya. Orang itu berdiri menyamping, memakai mantel hitam panjang, kaos berwarna putih dan juga celana panjang berwarna sama dengan mantelnya.

Namun saat Seokjin membuat beberapa langkah, ada satu hal yang menghentikannya dan senyuman bahagia yang baru saja tersungging di bibirnya seketika lenyap.

Rupanya, ada sosok yang telah menggantikannya. Seorang lelaki dengan perawakan mungil mendekati Namjoon yang lalu mengaitkan kedua lengannya pada lengan lelaki yang lebih tinggi darinya itu.

Yang membuat Seokjin semakin merasa sakit adalah ketika Namjoon dan sosok mungil itu saling melemparkan senyuman kebahagiaan. Senyuman yang seharusnya Seokjin dapatkan jika saja ia menerima cinta Namjoon kala itu.

Sesaat setelah Namjoon berlalu, Seokjin membalikkan badannya, kemudian berjalan cepat keluar dari lingkungan universitas. Lalu mulai mempercepat langkahnya ketika ia merasa kedua matanya berair. Berharap akan mengering seiring dengan langkahnya yang semakin cepat. Hingga pada akhirnya ia pun memperlambat langkahnya setelah sampai di sebuah taman dan mendudukkan dirinya pada sebuah bangku kayu panjang.

Tubuh Seokjin begetar, menahan tangis yang tak diinginkannya. Tangis yang sebetulnya tak perlu ia keluarkan akibat kesalahannya sendiri.

Kenapa cinta harus datang terlambat?

A Story That Has Ever Been MadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang