4. Decision

367 46 8
                                    

Tepat sehari setelah Seokjin kembali ke Inggris, Namjoon menjadi sering melamun. Bahkan bus yang ia tumpangi, hampir lewat dari tujuannya menuju stasiun kereta.

Ia seharusnya senang karena kembali bertemu dengan Jimin, kekasihnya. Memeluknya, menciumnya atau mencumbunya jika ada kesempatan. Namun bayang-bayang Seokjin masih lekat di dalam otak Namjoon, seakan tak mampu hilang dari sana.

Namjoon berusaha untuk mengembalikan akal sehatnya, memberikan senyuman terbaik di hadapan Jimin. Menghiraukan perasaan yang tak seharusnya dan kembali pada realita.

Jadilah ia memeluk kekasihnya dengan begitu erat seperti enggan berpisah.

"Astaga, kau kenapa Joon? Maaf kalau aku terlalu lama meninggalkanmu."

"Aku sangat membutuhkanmu, Jimin. Pulang dulu saja ke tempatku."

"Iya, Joon. Ayo. Tapi lepaskan aku dulu, kau bisa memelukku selama yang kau inginkan nanti. Aku malu dilihat orang."

"Maaf," Namjoon terkekeh seraya melepaskan pelukannya, "Ayo kita pulang."

Ia kemudian meraih tangan Jimin, menariknya keluar dari lingkungan stasiun. Menggenggamnya erat, tak ingin lepas meski sedikit.

***

Hingga sampai apartemen, Namjoon tak memberikan sedikit istirahat untuk Jimin dan langsung menciumnya begitu saja. Memeluknya seakan tak ada hari lain.

Entah ada apa dengannya.

"Astaga, maafkan aku, Jimin. Aku betul-betul merindukanmu. Tidak enak sendirian, tahu?"

Jimin tertawa geli, "Maaf, maaf. Yang penting kan, aku sudah pulang."

"Ya, memang sudah pulang. Tapi kau berhutang cuddles selama 30 hari."

Lelaki bertubuh mungil itu pun tertawa dengan kepala terlempar ke belakang, "Astaga...terserah kau saja, Joon."

"Itu artinya, kau harus bersiap-siap malam ini, sayang."

"Kau ini!" Jimin menepuk bahu Namjoon mesra, "Omong-omong, kau sudah makan?"

"Belum. Aku sengaja belum makan, karena ingin makan siang bersamamu."

"Mau aku yang masak? Atau kita makan di luar saja?"

"Sebenarnya, aku lebih ingin memakanmu saja." Kekeh Namjoon yang direspon dengan tawa Jimin yang wajahnya sudah merona merah muda.

"Ini masih siang, Joon," Jimin memutar kedua bola matanya, "Kalau begitu kita makan di luar saja, ya?"

"Terserah kau."

"Ya sudah, aku ganti baju dulu."

"Tapi aku mengintip sedikit, ya."

"Ish. Dasar mesum. Terserah!"

***

Pada hari selanjutnya, Namjoon semakin tak tahan akan kerinduan yang seakan memakannya sedikit demi sedikit.

Kehadiran Seokjin ketika itu masih lekat dalam ingatan. Meski telah mencoba berulang kali melupakan, namun kenyataannya tak semudah itu.

Namjoon pikir, dengan kembalinya Jimin, akan mengubah segalanya. Dengan hati yang tak menentu, ia takut menyakiti kekasihnya jika terlalu lama seperti ini.

Setiap waktu yang tersedia, Namjoon selalu menunda. Semakin pula rasa bersalah muncul dalam benaknya. Ia menyayangi Jimin. Sangat menyayanginya. Memutuskan hubungan mereka pun Namjoon merasa tak sanggup. Bohong jika ia tak menyayangi Park Jimin.

Namun, sudah kelewatan namanya jika diam-diam Namjoon memikirkan orang lain selain kekasihnya sendiri. Itu lebih sakit daripada kejujuran.

***

A Story That Has Ever Been MadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang