Pertemuan mereka nyatanya malah membawa Namjoon dan Seokjin kembali dekat. Bahkan setiap luang waktu yang ada, mereka habiskan berdua sementara Jimin tak ada.
Namjoon yang lebih sering menyambangi banyak tempat, secara langsung membuatnya sering mengajak Seokjin berjalan-jalan. Menghiraukan gunjingan orang-orang yang sudah mulai menerka-nerka hubungan keduanya.
Hingga ada saat dimana Namjoon mengajak Seokjin untuk berkunjung ke apartemennya.
Jujur saja Seokjin tak ingin. Ia tahu ada banyak tentang Jimin di sana. Akan sulit baginya untuk tetap tinggal, sementara perasaan cemburu terus berkecamuk dalam hati. Mendengar sedikit saja tentang apa yang dibanggakan Namjoon pada Jimin, sudah pasti akan menguras hatinya.
Namun, Seokjin pada akhirnya membiasakan diri dengan nama Jimin, "Jadi, Jimin juga tinggal bersamamu?"
"Tidak sering. Hanya kalau dia bosan sendirian saja."
"Aku mengerti." Seokjin mengangguk. Sembari kedua matanya tetap menelusuri tiap sudut ruangan.
Sedikit sulit untuk fokus kepada Namjoon saja saat ini. Bayang-bayang Jimin terlalu sering mengganggu otak Seokjin.
"Hyung duduk saja dulu. Aku akan membuatkan teh untukmu."
"Ah, terima kasih, Joon."
Semakin lama, Seokjin merasa gugup mengingat ia hanya berdua saja dengan Namjoon di kamar ini. Bahkan ia sampai sempat terkejut ketika Namjoon menyodorkan secangkir teh di depannya. Apalagi senyuman anak itu pun tak ayal menarik hatinya.
Namun, belum sampai satu menit, ponsel Namjoon bergetar.
Seokjin mengintip lewat pelupuk matanya, melihat Namjoon yang tiba-tiba tersenyum. Dan langsung membuatnya mengira jika itu adalah telepon dari Jimin. Dan perkiraannya itu memang benar.
Tentu ia menangkap pertanyaan-pertanyaan sederhana namun terdengar manis. Ada senyuman pada wajah Namjoon yang menyiratkan kerinduan. Hingga semua itu berakhir, meninggalkan rasa tak nyaman dalam hati Seokjin.
Perasaan cemburu itu hadir kembali.
"Joon, maaf. Aku ada tugas sedikit dan sebentar lagi waktu untuk mengirimkannya, jadi...aku harus segera pulang." Ujar Seokjin seketika Namjoon mengakhiri teleponnya.
"Lho? Kenapa cepat sekali? Tidak bisa ditunda?"
"Maaf Joon, tapi aku harus pulang. Terima kasih tehnya. Tadi enak sekali. Sampai bertemu lagi." Lalu Seokjin beranjak dari tempatnya duduk, bergegas berjalan menuju pintu utama.
Namjoon sudah sangat lama mengenal Seokjin, dari sifat hingga segala sikapnya. Tak heran jika ia mencoba menghentikan lelaki yang lebih tua itu keluar dari apartemennya. Seokjin hanya tak menyadari jika Namjoon telah lebih dulu menyadari perasaannya.
"Hyung, apa kau lupa? Bukan hanya kedua orang tuamu saja yang mengenalmu dengan sangat baik."
Seokjin terkejut tatkala Namjoon mencegahnya pergi dengan menahan pintu dari belakangnya dan mengunci pintu begitu cekatan.
"Aku serius." Ujar Seokjin setelah memutar tubuhnya, berhadapan dengan Namjoon.
Namun, Namjoon menatapnya galak, "Jangan bohong."
Mendadak Seokjin diam seribu bahasa. Ia merasakan getaran suara yang keluar dari mulut Namjoon seakan menguasai tubuhnya. Membuatnya mematung di sana, tak tahu harus berbuat apa.
Perasaan egois dan keinginan untuk menghindar dari Namjoon pula berkecamuk dalam hati. Antara ingin sahabat kecilnya itu tahu perasaannya atau menjauh, tak ingin menghancurkan hubungan orang lain.
Namun Seokjin terlalu naif jika membiarkan egois menguasainya.
Kemudian ia mengalihkan pandangan, "Sudah. Jangan paksa aku untuk egois, Joon."
"Kenapa?"
Seokjin menarik napas dalam-dalam seraya kembali menatap Namjoon, tegas, "Joon."
"Ada apa? Karena Jimin?"
Mendengar nama itu disebut membuat napas Seokjin tercekat. Jantungnya pun ikut berdegup kencang. Suhu tubuhnya mendadak panas-dingin, bersamaan dengannya yang tak mampu lagi menatap kedua mata Namjoon.
Namjoon tahu. Ia tidak bodoh. Kedekatan mereka sejak dahulu tak ubahnya menjadi orang lain. Apapun perasaan Seokjin, Namjoon selalu tahu dan sahabat kecilnya itu tak akan memiliki kesempatan untuk mengelak.
"Sudahlah. Tidak pantas aku egois."
"Karena kau terlambat menyadari cintaku. Itu kan, maksudmu?"
"Aku tidak ingin mengganggu hubunganmu, Joon. Kau sudah bahagia dan itu cukup untukku."
"Coba jelaskan padaku, kenapa kau lari?" Tanya Namjoon seraya beranjak sedikit menjauh.
Dan pertanyaan itu malah membuat Seokjin geram. Ia sedikit merasa jengkel karena Namjoon mulai memaksa. Seokjin sudah tak ingin memikirkan cinta yang terlambat disadarinya. Namun tadi itu, ia hanya tak mampu menahan rasa cemburunya.
"Aku tidak ingin egois karena kesalahanku sendiri, Joon. Aku yang pernah menolak, apa pantas merasa cemburu? Seharusnya tidak ada yang aku sesali."
"Kalau begitu, tinggallah disini sebentar. Satu hari saja. Aku masih mencintaimu, kalau kau mau tahu."
"Kenapa kau menyakiti Jimin?! Seharusnya kau berikan cintamu sepenuhnya untuk dia. Bukan memberikan sisanya."
"Hyung. Aku hanya meminta kau untuk ada disini, tidak lebih. Tolong beri aku kesempatan untuk melepas rindu denganmu. Itu saja."
Seokjin menggeleng, "Tapi Joon-"
Tiba-tiba saja Namjoon menjatuhkan tubuhnya, berlutut di depan Seokjin seperti seorang ksatria yang gagal dalam perang. Kepalanya ditundukkan, memohon untuk dimaafkan.
Sedangkan Seokjin hanya tetap berdiri, tak mampu bergerak, terlampau terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan Namjoon.
"Selama empat tahun aku berjuang melupakanmu, hyung. Kau tidak tahu betapa sulitnya aku melupakanmu. Mencoba untuk bangkit kembali dan kemudian jatuh hati kepada orang lain,"
"Aku pikir kau marah dan tak akan kembali lagi setelah aku menyatakan cintaku padamu. Bahkan kejadian ketika SMA itu terulang selalu dalam mimpiku,"
"Jadi aku minta tolong, Jin. Hanya sekali ini saja," Namjoon mendongak, "Izinkan aku merasakan perasaanmu kepadaku."
Seokjin betul-betul tak mampu lagi menahan diri untuk menolak permohonan Namjoon. Bahkan kedua mata itu menatapnya dengan penuh harap. Dan sulit untuk Seokjin pergi meninggalkan Namjoon lagi. Ia pun merindukan sahabat kecilnya.
"Joon, bangunlah. Kau tidak perlu memohon seperti itu," ucap Seokjin seraya membantu Namjoon untuk bangkit, lalu menyentuh kedua pipi anak itu,
"Ya sudah, aku akan ada disini. Hanya semalam, ok? Jimin mungkin tidak tahu soal kita, tapi tetap hargai dia, ya?"
Namjoon tersenyum tipis, "Terima kasih, Jin. Maafkan aku sudah melupakanmu."
Kemudian Seokjin mencium salah satu pipi Namjoon, meski itu salah, "Tidak apa, Joon. Ini bagian dari hidup. Aku akan baik-baik saja."
Tanpa memberi peringatan apapun, Namjoon segera memeluk Seokjin dengan erat. Sebuah impian yang ia pikir tak akan mampu ia raih.
Seokjin pun membalas pelukan Namjoon dan tenggelam di dalamnya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang telah dimenangkan oleh ego.
Namun, sesuatu yang salah tetap saja salah. Mencintai ketika ia telah menjadi milik yang lain, bukanlah sikap yang benar. Dan Seokjin sangat mengerti itu.
Andai saja sang waktu mengajukan dirinya kembali dan memberi kesempatan memperbaiki segalanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/181139819-288-k541762.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Story That Has Ever Been Made
Fanfiction🚫 DON'T READ IF YOU'RE HOMOPHOBIC 🚫 (Please read the description carefully!!) (Boyxboy relationship - YAOI) (Rated T - PG 15) - Pairing: Namjoon x Jimin - Namjoon x Seokjin - Jimin x Jungkook - Namjoon x Taehyung - Cast: Kim Namjoon/RM * Park Jimi...