2. Who hurts who?

388 49 4
                                    

Jimin sementara meninggalkan Namjoon selama satu bulan, karena kekasihnya itu diminta untuk mengajarkan tari di sebuah sekolah yang bertempat di Busan. Dan itu artinya, Jimin pulang kampung.

Kekasihnya itu hanya memintanya mengantarkan ke stasiun kereta dengan alasan tak ingin menyusahkan Namjoon. Telah berulang kali ia menawarkan diri, tetapi Jimin berpendapat bahwa Namjoon harus lebih fokus dengan tugas akhirnya.

Tidak, Namjoon tak merasa kesepian. Justru ia sudah terbiasa dengan perasaan itu dan memilih untuk tak mengganggu konsentrasi Jimin selama kekasihnya itu berada di Busan. Namun tentu saja Namjoon akan sangat merasa jenuh tak mendengar ocehan dan suara lembut Jimin ketika sedang berbicara.

Selama menunggu kekasihnya, Namjoon berusaha untuk mencari kegiatan lain dengan menciptakan lagunya sendiri. Mencari inspirasi kesana-kemari sembari menyambangi kafe dan sebuah perpustakaan kecil langganannya.

Hari-harinya tak terhenti sampai situ. Namjoon pun mendatangi beberapa toko buku, mencari yang menarik dan membelinya.

Tak ada perasaan yang aneh atau berbeda atau bahkan berekspektasi sekalipun. Namun tak lama kemudian, Namjoon merasakan sesuatu yang familiar tepat berada di dekatnya.

Awalnya Namjoon ingin menghiraukan, namun ternyata ia tak bisa. Sampai ia sendiri tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Ya, seseorang yang menjadi kebahagiaan dan kesedihan di masa lalunya, berdiri di sampingnya sedang membaca sinopsis pada sampul belakang sebuah buku.

"Seokjin?"

Sosok yang rupanya adalah si pemilik nama itu menoleh, sebelum kedua anak matanya mengecil karena terkejut, "Nam...joon?"

Dan keduanya hanya bisa terdiam, tertegun sambil saling berpandangan. Masih tak percaya jika mereka dapat bertemu disaat seperti ini.

Namun Namjoon kemudian melemaskan seluruh otot wajahnya dan tersenyum, "Kau pulang?"

Seokjin memainkan kedua bola matanya kesana-kemari, berniat menghindari kontak dengan Namjoon. Masih begitu lekat dalam ingatannya ketika sahabat kecilnya itu dibuat tersenyum oleh orang lain.

"Iya, seminggu yang lalu." Ujar Seokjin yang dengan tegarnya mencoba untuk menjawab senyuman Namjoon.

"Setelah ini kau tidak kemana-mana, kan?"

"Tidak."

"Kalau tidak keberatan, bisa aku meminta waktumu sebentar? Sudah lama kita tidak bertemu dan mengobrol."

"Baiklah."

Yang membuat Seokjin semakin merasa bimbang adalah ketika Namjoon masih ingat minuman apa yang disukainya sesampai mereka di sebuah kafe kopi sekitaran mall.

Namun memang pada kenyataannya, Namjoon tak akan pernah melupakan dirinya. Apapun itu. Bahkan dari hal kecil sampai besar.

Mungkin Namjoon terlihat tak merasa berat hati, namun hati kecilnya terlalu bodoh untuk berbohong.

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Apa kabarmu, hyung? Bagaimana dengan UK?"

"Aku baik-baik saja, Joon. Sedang libur satu bulan."

"Ah, begitu ya? Kalau saja kita bertemu lebih awal. Aku ingin sekali memperkenalkan mu kepada seseorang."

"Kekasihmu?"

"Iya. Namanya Jimin. Aku yang menemukannya terlebih dahulu. Dia...penari yang hebat. Tapi, mungkin hyung sudah kembali ke UK kalau kau ingin berkenalan dengannya."

Jika saja jujur itu mudah, tak akan Seokjin menahan sakit seperti ini. Mendengar Namjoon membanggakan orang lain selain dirinya, membuat dadanya sesak.

"Memangnya, dia ada dimana sekarang?"

"Sedang melatih tari di sebuah sekolah di Busan. Kampung halamannya. Kalau hyung sendiri bagaimana?"

Seandainya kau tahu, Joon. Aku hanya ingin dirimu, bukan orang lain, "Belum."

Seakan tanpa rasa bersalah, Namjoon tersenyum, "Tidak apa-apa. Semoga nanti kau bisa dapatkan yang terbaik, ya."

Seokjin merasa kedua matanya mulai memanas, tak kuasa menahan rasa sakit yang semakin menusuk.

"Ah, maaf Joon. Boleh aku minta izin sebentar? Aku ingin ke toilet."

"Tentu. Aku tidak akan kemana-mana, kok."

Seakan habis melakukan perjalanan yang melelahkan, Namjoon menghela napasnya dengan berat setelah Seokjin beranjak dari hadapannya.

Jangan anggap Namjoon mudah berbicara begitu saja kepada Seokjin seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa. Tidak. Siapa bilang? Setiap kata yang keluar dari mulutnya, semua terjadi begitu saja. Jika mampu jujur, Namjoon tak siap menghadapi ini.

Sementara itu, Seokjin tak henti memandangi wajahnya pada kaca wastafel dengan kata-kata Namjoon yang masih terngiang di telinganya. Bagaimana sahabat kecilnya itu terlihat bangga dengan kekasihnya dan kedua matanya yang bahkan bersinar ketika menyebutkan sebuah nama.

Keadaan ini terlalu sulit untuk Seokjin hadapi. Sementara perasaannya pada Namjoon masih belum terlupakan. Terlalu banyak perasaan bercampur aduk dalam hatinya, tak tahu mana yang lebih baik ia perlihatkan. Hingga tanpa disadari, sebutir air mata jatuh dari pojok mata Seokjin.

Tidak, ia tidak bisa menangis. Akan lebih banyak lagi pertanyaan dari Namjoon jika anak itu melihat matanya membengkak. Seokjin harus menghapusnya cepat-cepat. Ia harus bisa bersikap tegar. Ia tidak lemah. Ia bisa.

"Maaf, kalau...terlalu lama. Jadi..." Seokjin berdeham dan tersenyum memaksa, "Apa yang membuat kau menyukai Jimin?"

Tidak apa. Meski sakit, Seokjin harus bersikap biasa saja. Ia tak ingin Namjoon tahu perasaannya yang sebenarnya.

Percakapan ini tak akan lama.

A Story That Has Ever Been MadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang