Adam, Ine dan Putus

943 217 24
                                    

"Dam, kamu marah sama aku ya?" tanya Ine setelah mengembuskan napas kasar.

Adam mengerutkan dahinya, "Enggak. Kok mikir gitu sih?"

Ine menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Terus kamu yang kayak gitu itu, kenapa?" tanya Ine, merasa jawaban yang diberikan Adam belum membuatnya puas.

"Aku yang kayak gimana, maksud kamu?" Adam yang balik nanya, malah membuat Ine mendecakkan lidahnya kesal. Adam tetap melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke arah Ine. Mereka berdua sedang berjalan kaki menuju tempat makan langganannya dekat kosannya Adam.

"Ya, beda! Kayak ogah ketemu aku gitu. Kalo emang lagi nggak mau ketemu, ya, bilang ke aku! Emang aku pernah maksa kamu buat ketemu aku? Enggak, kan? Kamu juga kenapa diem aja sih? Kalo aku ada salah tuh, bilang! Masih punya mulut, kan?" cecar Ine dengan nada yang mulai meninggi.

"Enggak, Ine. Aku udah bilang, aku nggak marah." Adam masih menjawabnya berusaha untuk tetap tenang.

"Dam, aku tau ya, kalo kamu tuh belakangan ini lagi beda! Apa? Gara-gara aku sama Farhan dadakan keluar malem-malem? Itu? Kamu marah gara-gara itu?" tanya Ine lagi. "Aku udah bilang ke kamu, kan. Adam! Katanya komunikasi itu penting? Jawab!"

"Ya udah. Kalo misalkan aku bilang aku nggak suka kamu sama orang yang suka kamu itu keluar malem-malem." Adam berhenti sebentar, menatap Ine yang mengatupkan bibirnya rapat-rapat dengan menautkan kedua alisnya. "Terus gimana?"

"Kan, aku udah bilang juga alesannya. Kamu juga tau! Gimana sih?"

"Ya udah, kalo gitu."

"Ya udah? Aku jalan lagi aja sama Farhan?"

"Ya udah, sana."

"Nanti aku makan malem sama dia?"

"Ya udah, kan, makan doang."

"Sekalian PDKT aja apa? Terus kita putus?"

Adam diam sebentar sebelum menjawab. "Kamu maunya begitu? Ya udah, kita putus."

Ine dengan spontan memukul lengan Adam keras-keras. "Adam, ih! Nggak mau!" omel Ine lalu mengusap wajahnya. "Gila, gue benci banget sama lo yang kayak gini. Jangan iya-iya doang, Dam!"

Adam justru terkekeh melihat respon dari Ine. "Jadi, maunya kamu gimana? Coba bilang."

"Ekspresif sedikit, Dam. Kalo kamu nggak suka, tunjukkin aja kalo kamu nggak suka. Sesekali ungkapin ketidaksukaan kamu itu wajar kok, Dam. And I'm so fine with that." Ine menatap Adam yang sudah menatapnya sejak lengannya tiba-tiba dipukul. "Kamu sendiri yang bilang, komunikasi itu penting. Ungkapin perasaan kamu juga penting, Adam. Semisal, kamu bilang aja, kamu nggak suka aku keluar malem-malem sama si Farhan."

"Tapi, kan, konteksnya juga bukan buat selingkuh, Ne. Aku mau cemburu juga, jadinya aneh." Adam bersuara.

"Tetep aja! Kamu boleh marah sama aku, Dam. Kamu nggak harus selalu hati-hati biar perasaan aku aman-aman aja. Justru dengan kamu ngomong apa yang kamu pikirin, kamu rasain, itu malah ngebuat aku semakin paham tentang kamu." Ine menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. "Tapi ya, bukan berarti kamu boleh seenaknya marah-marah ke aku. Itu sih, putus beneran."

Adam mengangguk beberapa kali. "Sebenernya, Ne. Dengan iya-iya-nya aku ini, aku tuh takut."

"Takut?"

"Takut ditinggal kamu."

"Tapi tadi aku minta putus, kamu iyain? Gimana deh?" tanya Ine bingung.

"Tapi nyatanya kamu nggak mau mutusin aku, kan?"

Ine memutar kedua bola matanya. "Itu kebetulan aja, akunya ngerespon gitu. Coba kalo aku ngebales dengan konfirmasi kalo kita putus beneran, gimana?"

"Kalo itu mau kamu, masa aku harus maksa? Lagian, masih bisa balikan, kan?"

Ine menghela napasnya. "Adam. Kamu tuh... gini ya, ada beberapa hal yang emang seenggaknya diperjuangin dulu baru direlain. Aku tau, kamu orangnya optimis, tapi kalo misalkan aku nggak kasih kesempatan buat balikan, gimana? Terus kalo kamu masih sayang aku, gimana?"

"Ya... itu urusan aku karena itu perasaan aku ke kamu?"

"Dam, sekali-kali, put yourself first. Perasaan tentang kamu tuh hal yang penting. Nggak masalah, aku tetep jadi urutan prioritas kamu yang kesekian. Tapi untuk diri sendiri, itu yang paling utama, perasaan kamu. It's not being selfish, tapi kamu juga care to yourself." Ine merendahkan nada suaranya dari sebelumnya. "Kamu lebih kenal kamu dulu, daripada kamu kenal aku. Tenang aja, Dam, kalo kamu udah bisa paham dan ngebahagiain diri kamu sendiri, akan mudah ngelakuin itu ke orang lain."

"Jadi," lanjut Ine. "Tolong ubah sikap kamu yang ini ya? Kamu juga, Dam, you'll shine brightly even without me. Kalo misalkan, amit-amit, kita beneran nggak bakal bareng lagi, kita masih bisa berdiri sendiri. Inget, Dam. Aku pasangan kamu, bukan pelengkap kamu."

Tangan Adam meraih tangan Ine untuk digenggam. "Oke, Ine."

Ine tersenyum lebar lalu melanjutkan langkahnya. "Gemes banget aku tuh, kamu orangnya lempeng-lempeng aja. Bingung kenapa bisa suka aku dan tahan sampe sekarang..." gumam Ine.

"Oh iya," ujar Adam tiba-tiba. "Aku mau jawab."

Dahi Ine mengerut.

"Kalo misalkan kamu nggak ngasih aku kesempatan buat balikan..." Adam menggantung ucapannya sebentar. "Kalo kesempatan buat ngelamar, ada?"

"KEJAUHAN MIKIRNYA!"

•••
a.n: im not sure if apa yg ingin gue sampaikan itu sudah tersampaikan.... yaudala bodo amad wkwkw

anw!! gue kok jd gak rela pisah sama Adam-Ine ya!!1!

euforia di utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang