Sebuah Surat

19 3 0
                                    

                    Malam itu sungguh sunyi. Semua anggota keluarga, balik ke kampung halaman. Hanya ada Nia disana, tanpa ditemani siapapun. Burung-burung telah kembali kesarangnya. Matahari telah tenggelam sejam yang lalu. Sementara Nia, baru saja selesai menyetrika. Ia duduk di sebuah sofa berwarna cokelat panjang. Disampingnya terpampang jelas sebuah telepon rumah.

***

                  Percakapan di telepon itu menyisakan sedih dan luka mendalam. Namun, cukup untuk mengurangi rasa rindu yang sudah tak tertahankan. Nia bergegas menuju kamarnya yang sempit itu. Meski kamarnya jauh dari kata layak, Nia tetap nyaman berada di kamar itu. Nia segera menyelesaikan tugas sekolahnya, lalu beranjak untuk tidur. Ia membiarkan surat itu seperti semula, dan menaruhnya di laci meja.

"Entah apa isinya? Aku tidak tahu. Aku belum siap menerima konsekuensi jika ku harus membuka surat ini." desus Nia.

                    Nia hanya tersenyum, berarti orang yang ia kagumi sejak MOS itu juga menyukainya? Ini antara kebetulan atau keberuntungan. Hal itu cukup untuk membuat Nia senang, juga cukup membuat Nia bimbang. Bimbang antara menanggapinya atau tidak sama sekali?

***

                    Goresan embun bercampur debu memenuhi sebuah kursi yang berada di taman. Nia yang jarang nongkrong di taman, kadang tidak menghiraukan hal itu. Yang Nia hiraukan hanya sebuah kursi yang terletak dekat dengan telepon umum. Yang Nia pikirkan adalah bagaimana menjaga senyum manis di bibirnya agar tidak pernah pudar? Juga sesekali melihat senyum manis Kak Gilang dari jauh. Kak Hilangnya itu, ia anggap sebagai kakak kelasnya, tidak lebih. Nia tak punya banyak pilihan perkara cinta atau bahkan harus jadian ke Kak Gilangnya.

❄️❄️🐧❄️❄️

DermographismTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang