5. Despise

40 3 3
                                    

Despise :

memandang rendah terhadap, menganggap hina.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Sebuah mobil mencegat motor kami. Ia menghalangi jalan, sampai-sampai kami nyaris terantuk ke jalan. Si pengendara sial itu keluar dari mobil dengan tampang memuakkan.

"Apa-apaan kau ...." Vaya berteriak, tapi berhenti seketika karena pria yang keluar dari mobil tiba-tiba menarik tangan Vaya. Kasar sekali.

"Oh, jadi karena pria ini?" si pria berteriak di wajah Vaya.

Pria itu memiliki bola mata cokelat yang indah, warnanya hampir selaras dengan warna rambut pendeknya. Meskipun aku sedang duduk di motor, aku yakin ia punya tinggi badan yang lebih pendek dariku. Di mataku, dia tergolong pria imut.

"Kau memutuskanku karena pria brengsek ini?" pria imut itu berteriak. Nampak tidak pas dengan wajahnya yang ramah. Saat marah ia lebih menyeramkan daripada Ronnie.

"Jangan mengambil keputusan seenaknya, sudah kubilang jangan muncul lagi di hadapanku. Sana pergi!" Vaya menimpali. Berulang kali ia berusaha lepas dari si pria imut, dan berkali-kali pula lengannya ditarik hingga wajah mereka bertemu lagi dan lagi.

"Kau tidak bilang alasannya, inikah alasanmu? Sial, akan kuhajar pria itu."

"Sed, berhenti bersikap memuakkan!"

"Kau yang memuakkan, Vaya!"

"Kalau begitu kenapa tidak enyah saja?"

"Kau pikir aku bisa pergi begitu saja, lihat apa yang sudah kau ambil dariku. Kau mengambil semuanya, wanita jalang!"

Aku tertawa sinis ketika kalimat itu keluar. Pria bernama Sed itu hampir mirip denganku, si pintar mengumpat. Seharusnya aku bertepuk tangan saat pria imut itu hampir mengeluarkan bola matanya karena marah.

"Lalu apa? Kau mau poinku? Ambil, ambil saja! Salahmu yang terlalu mudah tergoda wanita sepertiku."

Dengan cepat tangan Sed si pria imut melayang di pipi Vaya. Seharusnya dengan wajah Ronnie yang kubayangkan sangat pria, itu tidak jadi masalah. Tapi aku lupa, itu Vaya, seorang wanita. Ia akan berteriak saat pipinya ditampar keras sampai meninggalkan bekas merah.

PLAK!

"Berterima kasihlah, aku punya poin penuh. Tidak masalah kalau aku menamparmu sampai babak belur, aku tinggal memenuhkan lagi poinku," Sed tertawa-tawa.

Aku belum terbiasa dengan wajah Ronnie tapi seorang wanita. Biasanya Ronnie akan melawan bila ada yang melawannya. Satu jari saja mendarat di wajah tampannya, ia akan mengamuk. Tapi apa ini ... orang itu menangis. Jelas saja, dia wanita.

"Harusnya kau berpikir seribu kali kalau mau mempermainkanku, jalang!"

Sed mengatakannya lagi. Entah kenapa aku berubah kesal saat ia mengatakan akhir kalimatnya. Saat itu juga aku turun dari motor, menghampiri Sed si banci, karena ia hanya berani dengan wanita.

"Heh!!" teriakku sembari turun dari motor baruku. "Apa seperti itu perlakuanmu pada wanita, kau benar-benar pecundang!" umpatku. Sudah kubilang, aku sangat ahli mengumpat.

"Apa-apaan kau brengsek, selama ini tidak ada yang mengataiku hal buruk, tidak juga oleh kau si pria simpanan," pria imut itu ingin sedikit bermain-main denganku.

Aku menghampirinya, bahu kutegakkan hingga perbedaan tinggi badan kami cukup jelas. Aku tidak peduli pria imut ini pacar Vaya atau apalah, aku hanya ingin menghabisi orang yang memandang rendah wanita. Aku paling anti dengan si sombong.

"Kau mau dengar, aku cukup ahli dalam hal tinju. Aku bisa saja menghajarmu dengan satu pukulan lalu kau akan KO," kataku lagi.

"Ha ha ha ... kau tidak akan berani. Lihat saja Bar Kebaikanmu menunjukkan angka 5, dua kesalahan saja kau akan ditendang ke Dunia ..." Belum selesai ia bicara aku sudah melancarkan tinjuku ke wajah imutnya.

BUK!!

Tinjuku tidak ada duanya. Sekali pukul saja pria imut itu mimisan. Darah mengucur deras dari hidungnya. Bisa kutebak hidungnya patah. Bunyi KRAK barusan cukup membuktikan.

"Kebetulan aku tidak peduli dengan bar konyol ini," ucapku bernada menyindir.

Vaya yang menonton tiba-tiba saja masuk di antara kami. Nampaknya ia sudah berhenti menangis menyisakan sembab di bawah matanya. Dahi Vaya berkerut dan nampak kekhawatiran di sana.

"Zeds, sudah cukup!" katanya.

"Cukup apanya, aku baru memukulnya satu kali. Itu belum seberapa ..."

Vaya membekap mulutku. Ia menoleh pada pria imut yang meringis kesakitan di aspal jalan.

"Sed, dengar! Aku hanya akan mengatakan ini sekali saja. Mulai hari ini jangan temui aku lagi. Antara kau dan aku sudah berakhir. Sekarang pria ini yang akan menemaniku. Kau paham? Kalau kau berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan pria ini tidak segan-segan menghajarmu lagi," Vaya mengancam.

Sejenak aku menyukai gayanya. Ia terlihat seperti wanita tangguh. Seperti Ronnie.

"Ukh! Awas kau, jalang! Aku berjanji akan mengirim kalian ke Dunia Bawah," pria imut itu masih sempat mengatai Vaya.

Vaya seolah tidak peduli. Ia menarik tanganku kembali ke motor. Matanya berisyarat agar segera tancap gas. Aku menurutinya, tidak ada waktu melihat pemandangan si pria imut yang meringis seperti perempuan. Sebenarnya aku ingin meludah pada si pria imut saat motor melintasi tubuhnya yang berjongkok di aspal. Tapi Vaya mengencangkan pegangannya di pinggangku, membuatku mengurungkan niat tersebut.

Kami melesat dengan cepat. Jalanan kosong memanjakan kami dengan deru motor yang menggema.

Kami membisu di atas motor, tidak berani memulai percakapan. Kemudian, samar-samar kudengar Vaya terisak. Kulihat di spion ia berlagak tidak tahu menahu dengan isakan itu, menganggap aku tuli. Tapi detik itu demi Vaya aku berpura-pura tuli.

Vaya tidak bisa menahan isakannya lagi. Ia menangis di punggungku. Aku mempercepat laju motor, berputar-putar sampai kami merasa cukup. Sampai Vaya selesai menangis.



Jangan lupa like dan komen kalau kamu suka.

Story ini update setiap senin dan kamis.

Pastikan kamu datang lagi di waktu tersebut

Hope you like it 😉




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
D (Dua. Dan. Dia) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang