6. Dumb

53 4 1
                                    

Dumb :

dungu, bodoh, bebal

dungu, bodoh, bebal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Selama beberapa hari ini aku tinggal di rumah Vaya. Sebab di dunia ini seorang gelandangan akan dibuang ke Dunia Bawah.

Aku tidak tahu seberapa mengerikan Dunia Bawah, tapi aku tidak seberani itu untuk mencari tahu secara detail. Aku hanya harus menghindarinya seperti kata orang-orang di dunia ini.

Vaya memberiku kamar yang luas di lantai dua. Dia bilang dulunya kamar ini ditempati kakak laki-lakinya. Lalu kosong karena dia menikah dengan wanita kaya raya yang memiliki rumah megah dan tanah luas sampai berhektar-hektar.

Vaya yang minta tidak ikut dengan kakaknya. Istrinya sangat perfeksionis, ia menjunjung tinggi perbedaan sosial antara si kaya dan si miskin. Kakak Vaya beruntung karena wanita itu bisa menyukainya, walaupun tidak pada adiknya, Vaya.

Tahun-tahun ke belakang adalah saat yang memuakkan bagi Vaya karena ia harus berpisah dengan kakaknya. Tapi karena kakaknya rajin mengunjungi rumah dan berkomunikasi via telepon atau sosial media, Vaya sedikit merasa lega.

Tidak biasanya Vaya bangun pagi-pagi sekali. Kukira karena insiden kemarin ia akan malas keluar kamar atau bersikap murung seharian. Sebaliknya, Vaya sangat ceria. Ia berdandan rapi, memoles gincu di bibirnya, serta memakai wewangian yang semerbak harumnya.

Aku yang saat itu baru keluar dari kamar, dibuat takjub oleh perbedaan yang mencolok dari Vaya di pagi hari.

"Pagi, Zeds!" ia tersenyum. Vaya bahkan menambahkan kerlingan genit di matanya. Ia sedang menuangkan air panas ke cangkir bermotif hati favoritnya. Kemudian menyelup kantong teh sambil mengaduk dengan sendok.

"Kau mau teh atau kopi?" Vaya masih menyuguhkan senyuman.

Dalam keadaan masih bingung dengan perubahan Vaya, aku pun menjawab dengan terbata-bata.

"Ko-kopi saja."

Aku duduk di kursi yang telah ia siapkan sebelumnya. Di atas mejanya pun tersedia sandwich telur yang masih hangat. Satu piring untukku dan satu lagi untuknya.

Vaya menyuguhkan kopi robusta. Asap yang mengepul membangunkanku sepenuhnya dari tidurku semalam. Aku tidak berhenti menatap Vaya yang berwajah riang sampai ia duduk di hadapanku dan menyantap sandwich miliknya.

"Apa? Kau tidak suka sandwich?" Vaya bertanya.

"Suka, aku suka segala macam makanan termasuk sandwich," jawabku dengan wajah datar.

"Lalu kenapa kau tidak makan sandwichnya?"

"Aku hanya heran padamu. Kukira pagi ini akan suram karena kejadian kemarin dengan pacarmu. Aku juga sudah bersiap-siap seandainya kau murung dan butuh penghibur. Tapi aku salah, aku tidak menyangka kau akan seceria ini," jawabku to the point.

Vaya berhenti menyuap sandwichnya. "Apa kau ingin aku murung?"

"Tidak, bukan itu maksudku. Aku takjub pada sifatmu."

"Lama-lama kau akan menyukaiku nanti. Aku ini punya sifat yang disukai banyak pria." Vaya mengedipkan sebelah matanya padaku. Jujur, aku terganggu.

Mendengar bualannya membuat perutku lapar. Aku menyantap sandwich disusul Vaya dengan suapan yang besar.

"Aku tidak punya waktu untuk murung hanya karena seorang pria. Masih banyak pria lain yang lebih baik daripada Sed."

"Hah, maksudmu?"

"Ya, aku punya banyak pria. Sed itu pacarku yang ketiga."

Aku tersedak karena ucapannya. "Apa? Lalu kenapa kemarin kau menangis di belakang motor, hah?"

"Siapa? Aku tidak menangis!"

Kegiatan makan kami terganggu karena handphone Vaya berdering. Vaya mengangkatnya dan langsung memalingkan muka dariku. Sengaja mengalihkan perhatian.

"Iya, aku pergi sekarang. Kau tunggu aku di tempat biasa, ya!" kata Vaya pada seseorang di seberang telepon. Vaya menutupnya dan terburu-buru berdiri.

"Makanku sudah selesai, nanti kau cuci piringnya yah. Dan ... oh ya, kau harus mencari cara agar Bar Kebaikanmu bertambah. Aku tidak mau tahu kalau Bar Kebaikanmu menurun lagi dan kau ditendang dari Dunia ini. Angka 4 adalah angka keramat menurutku," Vaya memperingatkan.

Memang, karena kejadian kemarin Bar Kebaikanku berkurang satu dari 5 menjadi 4. Aku tidak melakukan apapun dengan tombolnya, tahu-tahu angka itu berkurang dengan sendirinya. Seperti ada pengawas yang mengawasiku dan mengurangi angka Bar-ku secara otomatis entah dari mana. Aku jadi tahu kalau kami semua diawasi.

"Bagaimana cara menambah Bar-nya?"

"Terserah, kau bisa menjadi pelayan atau membantu orang lain. Seperti aku jadi pelayan di toko buku waktu itu."

Vaya terburu-buru. Ia mengenakan jaketnya dan melingkarkan tas kecil ke bahu. Vaya melompat-lompat saat mengenakan sepatu sambil meraih kartu mobil di atas rak.

"Setidaknya beritahu aku, kau mau pergi kemana?" tanyaku.

"Kencan!" jawab Vaya singkat dan padat. Ia menghilang dari pintu.

Semenit kemudian deru mobil terdengar dari halaman dan menghilang bersamaan dengan desahan napasku.

"Dasar, wanita jalang!" aku jadi meniru si pria imut.

Sedikitnya aku paham yang pria itu rasakan. Seharusnya aku tidak memukulnya terlalu keras. Kalau aku jadi dia mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Menampar Vaya. Ah tidak, aku mungkin akan memutilasinya.



Jangan lupa like dan komen kalau kamu suka.

Story ini update setiap Rabu dan Sabtu.

Pastikan kamu datang lagi di waktu tersebut

Hope you like it 😉




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

D (Dua. Dan. Dia) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang