Hai!
Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja disana. Maaf jika aku belum sempat menyempatkan diri untuk menjengukmu. Tenanglah, jikalau kau bertanya apa kabarku, aku baik-baik saja. Malah mungkin lebih dari kata baik.
Sudah ya? Aku lagi mau ujian nih, semangatin dong!:DTertanda,
S.JDengan perlahan kertas ditangannya dilipat seperti semula. Helaan nafas terdengar, mata indah itu menatap kedepan. Terlihat matahari yang sebentar lagi tenggelam diantara bukit-bukit yang menjulang tinggi. Sinar jingganya menyiratkan lambaian tangan yang menandakan ia akan pergi namun untuk kembali. Bola panas yang seakan tersenyum kearahnya tak membuat pemilik mata itu ikut menarik kedua sudut bibirnya. Dalam hitungan beberapa detik sinar yang hangat itu sempurna hilang, digantikan semilir angin yang membuat sang pemilik mata berniat untuk beranjak dari tempat ini. Namun sebelum benar-benar melangkahkan kaki, ia sempat memandang kehampaan bekas menghilangnya sumber cahaya siang sembari bergumam lirih.
"Sampai jumpa Senja esok hari..."
* * *
Dengan mata yang mengantuk, fikiran yang masih berkelana dalam negeri dongeng dan hati yang memaksa untuk terbangun. Membuat badan dalam pelukan hangatnya kain tebal yang menutupi tubuhnya, mengeliat. Tangannya bergerak meraba setiap inci dari sekitar badannya. Merasa tak menemukan sesuatu dengan spontan mata itu terbuka dan langsung terduduk. Menatap sekeliling, meraba lagi lalu memutuskan untuk turun dari kasur masih dalam mode mencari. Karena tidak menemukan apapun dalam indera penglihatannya, ia menarik kain tebal yang masih menutupi kasur lalu diangkat dan diletakkan tak jauh dari kakinya. Masih belum terlihat apa yang dicari, dengan perlahan berjongkok mendekati celah kecil dibawah kasur lalu melihatnya. Namun belum sempat meneliti lebih lanjut, suara knop pintu terbuka disusul derap langkah kaki yang mendekat membuatnya berbalik badan dan terlihat lelaki paruh baya yang sudah berpakaian rapi khas perkerja kantor tersenyum kearah dirinya.
"Ada apa Syakilla? Apa kamu kehilangan sesuatu?"
Merasa dipanggil namanya, Syakilla dengan cepat memutar otak untuk menjawab pertanyaan yang terlewat sepele namun baginya itu adalah sumber masalah yang teramat besar.
"Emm itu... ee bu-bukan masalah emm yang penting, iya bukan apa-apa kok pah"
"Baiklah kalau begitu, bergegaslah mandi papa tunggu di meja makan"
Setelah pintu ditutup dari luar oleh Sudianra, ayah dari Syakilla. Barulah nafas itu terdengar teratur setelah tadi sempat ditahan akibat hawa menegangkan yang tiba-tiba saja terjadi.
Tidak mau membuang waktu lagi, dengan segera Syakilla melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang memang ada didalam kamarnya.
Setelah selesai berseragam dan menggendong tas, dengan langkah tergesa-gesanya menuruni anak tangga berlari menuju meja makan. Menarik kursi lalu duduk dengan cepat. Membuat sepasang mata yang memperhatikannya menggelengkan kepala.
Merasa diperhatikan, Syakilla yang sedang menggigit roti bakar selai kacang itu mendongak lantas memperlihatkan sederatan gigi putihnya. Sudianra yang melihat putri semata wayangnya itu kembali menggeleng kepala, bagaimana mungkin tingkah seorang gadis SMA seperti yang dia lihat sekarang ini.
Selesai menghabiskan sarapan, Sudianra dan Syakilla berangkat bersama. Kebetulan arah kantor dan sekolah searah, dan juga kebetulan tidak ada rapat pagi ini.
Jakarta pada pagi hari ini tidak terlalu padat, tapi hujan tadi malam membuat jalan masih terlihat basah. Mobil yang dikendarai oleh ayah dan anak ini dengan gesit menyalip kendaraan yang ada didepannya.
Syakilla hanya melihat keluar jendela. Embun yang menempel dikaca mobil terasa dingin saat jarinya dengan sengaja meraba kaca yang terlihat buram.
Meskipun sedang menyetir, namun Sudianra sebenarnya memperhatikan anak gadisnya. Ia menghela nafas. Gadis itu semakin hari semakin tidak tersentuh oleh dirinya. Anak semata wayangnya seolah membuat dinding pembatas antara dia dan dirinya. Memang semenjak istrinya pergi meninggalkan keluarga kecilnya. Syakilla yang dulu terkenal periang dan sangat terbuka oleh siapa pun perlahan berubah menjadi gadis yang cenderung pendiam dan tertutup. Meski kadang bertingkah konyol tapi tetap saja, alasan dibaliknya tidak akan diberitahu pada siapapun. Sudianra jadi merasa bersalah, apa ia tidak berhasil menjadi ayah sekaligus ibu yang baik bagi putrinya.
"Killa..."
Masih fokus memperhatikan embun pada kaca mobil, Syakilla sedikit tersentak saat Sudianra, ayahnya menyebutkan namanya. Lantas ia membalikkan tubuh untuk melihat lebih jelas wajah ayahnya.
"Eh iya pah, ada apa?"
"Bagaimana dengan sekolahmu?"
Sebenarnya Sudianra juga bingung, mau membahas topik apa dengan anak gadisnya. Namun ia mengambil jalur aman dengan menanyakan bagaimana keseharian putrinya saat ia tidak bisa melihat dan mengawasi.
"Emm seperti hari sebelumnya, baik pah"
"Teman-teman mu?"
"Seperti yang sudah-sudah, mereka menyenangkan"
"Wah benarkah? Kenapa tidak pernah diajak main kerumah?" Dengan membagi konsentrasi antara menyetir dan mendengarkan putrinya bercerita, tidak membuat Sudianra mengeluh. Dia malah senang dapat mengobrol dengan putrinya barang itu hanya seputar sekolah yang ditempuh Syakilla.
"Pada sibuk, kan tiap hari ada tugas" Tidak seperti Sudianra yang antusias mendengar jawaban darinya. Syakilla malah dirundungi rasa bosan. Jika menyangkut soal sekolah maka semua pertanyaan akan dia jawab dengan 'Membosankan' hanya saja jika yang bertanya itu adalah ayahnya, Syakilla tidak berani untuk berkata jujur. Ia tidak mau menambah beban fikiran sang ayah.
"Hemm iya juga ya... bagaimana kalau pesta ulang tahun mu tahun ini dirayakan? Agar teman-teman Killa bisa dateng. Gimana setuju nggak?"
"Ulang tahun Killa udah lewat pah"
"Eh benarkah? Heheee maaf papa mu ini sudah semakin tua, ingatan sudah tidak setajam dulu lagi"
Syakilla hanya tertawa sesaat melihat Sudianra terkekeh. Lalu keadaan mobil kembali hening. Sisa perjalanan tidak ada lagi yang membuka suara. Hingga sampai didepan gerbang SMA Bunga Bangsa. Setelah Syakilla berpamitan lantas mobil Pajero sport berwarna putih itu kembali menyusuri jalan menuju kantor Dianra Gruop yang sudah tidak jauh lagi untuk ditempuh.
Langkah kaki kecilnya membawa ia kelantai dua gedung bertingkat tiga ini. Kakinya berhenti tepat didepan ruangan yang bertuliskan 'XI MIPA 2' belum sempat memasuki ruangan, tangannya lebih dulu ditarik oleh sesorang yang langsung membawanya menjauh dari keramaian dan orang yang menariknya itu berhenti didekat tiang kelas tetangganya yaitu 'XII MIPA 1'. Gadis ini terlihat menghembuskan nafas gusar membaca tulisan didepan pintu itu.
"Aish ada apa sih narik-narik?!"
"Ssttttt...
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey
Ficção AdolescenteMasa SMA yang ditokohi oleh tiga sekawan ini, bukanlah kisah remaja yang menceritakan tentang kerumitan cinta. Tapi tentang bagaimana sulitnya menyelesaikan sebuah perjanjian antar sekolah yang berakhir konyol. Yang membuat ketiganya dekat dan yang...