NAPAK TILAS

21 3 3
                                    


Kata orang-orang yang pernah singgah atau berlibur di Jogja, kota ini terbuat dari rindu dan kenangan. Apalagi bagi mereka yang pernah datang bersama orang terkasih. Pasti ingin selalu kembali ke sini lagi dan lagi. Walaupun mungkin tidak lagi bersama orang yang pernah dibawa ke Jogja, kenangan itu akan selalu tetap ada, seolah menjadi magi yang indah.

Pagi hari, saat Sang Fajar baru saja naik ke tempatnya, dan udara yang masih bersih apalagi bau petrikor tanah tercium kuat adalah waktu yang pas untuk "meditasi" bagi Rena di balkon rumahnya ini sambil meminum segelas kopi hangat. Meskipun udaranya tidak sesegar ketika ia kecil dulu, tapi cuaca pagi yang masih perawan ini selalu sukses membuat Rena merasa lebih tenang. Hal yang tidak ia dapatkan ketika berada di Jakarta.

Di Jakarta Rena tinggal di sebuah apartemen pusat kota. Tentu udara pagi yang sejuk adalah sesuatu yang langka untuk ia dapatkan. Karena sudah tercampur dengan kepulan asap knalpot dari berbagai kendaraan. Jadi, ia amat sangat bersyukur bisa kembali ke Jogja. Walaupun mungkin waktunya hanya sebentar di sini.

Meninggalkan Yogyakarta empat tahun yang lalu sebenarnya adalah keputusan berat bagi Rena. Selama sepuluh tahun kota ini sudah menjadi saksi bagi perjalanan hidupnya yang sempat berada dalam titik terendah. Bertahun-tahun ia mencoba bangkit dari keterpurukan. Mencoba hal-hal baru dihidupnya hanya untuk melupakan memori kelam di masa lalu. Sampai pada akhirnya ia mampu melewati masa-masa itu. Tantangan berikutnya adalah ketika ia harus pindah ke Jakarta kembali. Di kota itu lah Rena kehilangan dua orang yang ia cintai secara bersamaan.

***

Tiiiidd...tiiidddd...

Klakson mobil terdengar begitu nyaring dari arah depan sana, membuat Rena terkejut. Mini SUV berwarna putih susu sudah berada di depan gerbang. Dari atas sini Rena bisa melihatnya dengan jelas. Pak Slamet terlihat berlari menuju gerbang dan membukanya sampai muat satu ukuran mobil. Dengan sekali tancap gas, mobil itu menyerundul masuk. Rena melirik jam di ponselnya. Waktu masih menunjukan pukul enam lebih tiga puluh dua menit. Masih terlalu dini jika harus melakukan kegiatan disaat orang lain menikmati masa liburan akhir pekannya.

Seorang laki-laki keluar dari mobil. Memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru. Senada dengan jins dan sepatu dari merk terkenal sambil melambaikan tangannya kepada Rena. Kemudian laki-laki itu berlari dan menghilang.

"Selamat pagi," sapanya kepada Rena. Laki-laki itu sudah ada di belakangnya. Cepat sekali, pikir Rena.

"Pagi juga. Wah keliatannya semangat banget nih." jawab Rena terkekeh.

Adalah Bayu, yang mengantarkan Rena semalam. Dia adalah rekan kerja sekaligus sahabat Rena dari Jakarta.

"Harus semangat dong. Hari ini kan kita ada jadwal pemotretan bareng model cantik itu," ucap Bayu sambil mengangkat kedua alisnya.

"Ooo pantes rapi banget, wangi lagi."

"Halah, kaya baru pertama kali aja, udah buruan ganti baju. Eh, udah mandi 'kan?"

"Ya udah dong,"

"Oh ya? Kok masih bau?"

"Sembarangan. Nitip nih kopinya," Rena menyerahkan gelas kopi yang masih terlihat asapnya itu, "jangan diminum,"

"Ya ampun pelit banget, bagi dikit ya?"

"Nggak," teriak Rena sambil berjalan membelakangi Bayu, "bikin sendiri."

"Ih ngapain bikin, kalau udah ada ditangan," ucap Bayu pelan sambil meminum kopi itu yang juga langsung ia semburkan karena ternyata masih panas. "kualat," tutupnya.

Jika ada pertanyaan yang ditujukkan kepada Rena, siapakah orang yang berjasa dalam hidupnya? jawabannya adalah Bayu. Laki-laki itu yang membuat Rena menjadi seperti sekarang. Bayu yang telah mengenalkannya pada dunia Fotografi lebih dalam khususnya bidang fashion yang tengah ia geluti saat ini, dan Bayu pula lah yang memberikannya pekerjaan.

Keduanya pertama kali bertemu di Bali ketika Rena mengikuti lomba foto yang diadakan oleh majalah tempat Bayu bekerja. Rena menjadi pemenang dan mendapatkan hadiah untuk berlibur ke Bali. Bayu yang menemaninya dan juga yang meliput kegiatan Rena selama di sana. Tadinya Rena sempat ragu untuk menerima hadiah tersebut, karena bagaimana pun dia adalah perempuan yang masih takut untuk bepergian seorang diri dan juga tidak mendapatkan izin dari buliknya. Namun, pihak penyelenggara menjamin semua keamanannya Rena hingga akhirnya perempuan yang baru lulus sekolah SMA itu bisa berangkat ke Bali.

Bayu menemani Rena selama empat hari di sana, sebenarnya ketika berada di Bali mereka tidak hanya berdua. Ada pemandu tur yang mengantar ke manapun mereka mau. Sejak pertemuan pertamanya di Bandara Ngurah Rai, Bayu dan Rena terlihat langsung klop. Tidak ada ketakutan seperti yang Rena maupun buliknya bayangkan sebelumnya. Keduanya langsung nyambung ngobrol berbagai hal. Terlebih soal Fotografi. Rena menceritakan bahwa ia sangat suka memotret dan sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia pun menunjukkan pada Bayu beberapa hasil jepretannya. Laki-laki itu terkesima melihat semuanya, dan tanpa ragu ia merekomendasikan Rena untuk bekerja di tempat kerjanya. Kebetulan, Bayu juga sedang mencari partner kerjanya yang baru. Setelah liburan itu selesai dan keduanya kembali ke kota masing-masing, beberapa minggu kemudian, Rena dihubungi kembali oleh Bayu untuk menawarkan pekerjaan itu secara resmi. Dari sanalah perjalanan karir Rena dimulai.

***

Bermandikan terik matahari, Rena dan timnya tetap melakukan pekerjaan secara profesional. Di Candi Prambanan ini mereka tengah melakukan sesi pemotretan untuk promosi gaun rancangan Anne Avantie, seorang desainer kondang negeri ini yang memiliki ciri khasnya yaitu selalu menyematkan batik atau kebaya pada setiap karyanya.

"One..two..three pose, pose, pose," arahan dari Rena dengan semangat, "ekspresinya dibuat senatural mungkin, jangan dipaksakan. Terlihat seksi bukan jijik. nah bagus, pertahankan seperti itu." ucapnya lagi kepada sang model yang sedang berpose.

"Ren, sudah waktunya istirahat." ujar Monita salah satu bagian timnya.

"Oke, kita istirahat dulu, nanti kita lanjut lagi." seru Rena kepada semua Crew.

Ketiga model yang tadi tengah berpose itu dihampiri oleh asisten-asistennya. Dituntut untuk kembali ke dalam tenda putih yang tertutup. Begitupun semua crew yang bertugas. Tetapi tidak dengan Rena. setelah menyimpan kameranya. Ia langsung meninggalkan teman-teman kerjanya tanpa permisi. Terlihat ia berlari menuju salah satu candi yang ukurannya lebih besar di antara candi yang lain. Bernama Candi Siwa. Letaknya berada di tengah. Di apit oleh dua candi lainnya, masing-masing sisi kanan dan kiri. Rena menaiki anak tangga yang dihiasi pahatan kepala naga itu. Dengan sangat hati-hati. Karena kebetulan, hari ini pengunjung candi sedang ramai. Ketika sampai di puncak tangga, terdapat gapura yang di atasnya terdapat pahatan kalamara menuju lorong di permukaan batur yang dilengkapi dengan pagar, sehingga bentuknya mirip seperti lorong tak beratap. Rena menyusurinya lalu ia berhenti di salah satu sudut. Berdiri menghadap hamparan lapang luas. Di bawah sana terlihat banyak sekali orang berlalu lalang dan berhenti sejenak menyiapkan kameranya untuk mengambil foto sebagai kenang-kenangan. Di atas sana matahari begitu terik dan panasnya terasa menyengat. Tetapi angin sejuk meniup relung hati Rena sehingga ia merasa begitu tenang. Matanya mulai terpejam, tubuhnya melemas. Dan membiarkan angin menyapa kulitnya. Berulang kali pundaknya bergerak naik turun, menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan secara perlahan. Rena selalu melakukan hal ini jika ia ingin mencari ketenangan. Apalagi ia sedang berada di ruang terbuka seperti ini, semuanya terasa begitu lepas.

Kali ini, Ia ingin menapak tilas sebuah kenangan indah bersama keluarganya. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya mengajak Rena berlibur ke tempat ini. Rena kecil diajak ayahnya menunggangi kuda untuk berkeliling di kawasan candi. Lalu bergilir dengan ibu dan ayahnya yang mengendarai sepeda tendem. Tawa Rena terdengar lepas ketika ayah dan ibunya itu terjatuh dari sepeda. Melihat Rena tertawa, orangtuanya pun ikut tertawa. Aura bahagia sangat jelas terlihat dari keluarganya saat itu. Namun, ternyata masa itu sudah berlalu sangat lama. Terlampau jauh, bahkan mungkin hanya menjadi kenangan yang usang. Gelak tawa itu hanya menjadi alunan ilusi pikirannya saat ini. 

Halaman UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang