Munti Mas

98 2 2
                                    

Umpama sliramu sekar melati
Aku kumbang nyidam sari
Umpama sliramu margi wong manis,
Aku kang bakal ngliwati

Ngadimin masih setengah sadar menyimak gendhing uyon-uyon yang berasal dari siaran radio. Badannya terayun pelan di kursi goyang. Setelah penat mengunjungi ladang jagungnya di desa sebelah, Ngadimin ingin menikmati waktu istirahat. Sudah hampir setahun terakhir sejak perluasan ladang dan terjun dalam sewa-menyewa ladang, Ngadimin merasa waktunya terasa sempit. Semakin banyak tanah garapan, semkin jarang pula ia pulang ke rumah istri. Terlebih lagi bertambahnya para pekerja mengharuskan Ngadimin teliti memeriksa hasil pekerjaan mereka. Termasuk juga memerhatikan keluhan dan permintaan para buruh yang rata-rata masih muda itu.

Sukiyem mengendap-endap mendekati Ngadimin. Memeriksa apakah sang suami sudah tertidur pulas. Pelahan ia mengecilkan suara radio. Sambil menyibak gelungan rambut yang terurai, Sukiyem menatap suaminya. Guratan di dahi itu semakin bertambah. Uban hampir mendominasi warna rambut. Dua puluh tahun bersama Ngadimin membuat Sukiyem memahami betul apa yang dirindukan pria itu. Dari awal menapaki kehidupan rumah tangga yang sulit hingga kini seolah dunia dalam genggaman, hanya satu yang belum terpenuhi. Suara bayi. Teman-teman bermain masa kecil bahkan sudah ada yang menimang cucu. Rumah joglo nan megah ini diliputi kesunyian yang menyakitkan. Beragam jamu dan urut sudah dilakukan demi menghadirkan janin dalam perutnya. Namun usaha yang mengeluarkan biaya tidak sedikit itu belum juga membuahkan hasil. Kadang Sukiyem berpikir, kesibukan Ngadimin sengaja diciptakan untuk mengusir kebosanan.

Sukiyem mengusap air mata. Sebagai perempuan yang tunduk patuh pada suami, ia merasa menjadi tertuduh atas ketidakhadiran buah hati. Jika bukan karena kekayaan yang dimiliki Ngadimin, mungkin telinganya senantiasa mendengar cemoohan sebagai wanita mandul. Tentu saja warga yang mayoritas bekerja di ladang Ngadimin tidak berani melontarkan sekecap pun kalimat yang bakal menyakiti istri majikan.

“Yem.” Ngadimin mengucek mata dan menarik tubuhnya bangkit. Sukiyem kaget, lalu menyuguhkan senyuman dengan terpaksa. “Ngapa nangis?”

Sukiyem menggeleng lemah, “ndak apa-apa, Mas.”

Pikiran Sukiyem melayang pada perpincangan dengan Ki Joko saat bertemu di acara midodareni salah satu istri pekerjanya. Ki Joko berada di sana untuk memimpin acara. Entah bagaimana, Ki Joko bisa membaca kecemburuan dan kerisauan Sukiyem memandang perut buncit sang pemilik hajat.

Sukiyem memilin ujung kebaya, menguatkan hati. Debar jantungnya bergemuruh laksana kawah gunung Merapi hendak memuntahkan isi.

Melihat istrinya hanya menunduk dan sesenggukan menahan tangis, Ngadimin bangkit mendekati Sukiyem yang berdiri bersandar pilar kayu jati. Ia mengangkat dagu Sukiyem, menatapnya mesra.

Sukiyem tak mampu membendung tangisnya, “Mas, maafkan aku.” Ngadimin mendekap istrinya, membelai puncak kepala. Berada dalam pelukan Ngadimin membuat Sukiyem nyaman lalu meluncurlah dari lisannya perihal tawaran Ki Joko.

“Kau yakin, Yem?” Seolah tak percaya dengan pendengarannya, Ngadimin memastikan. Memiliki seorang anak memang keinginan terbesarnya. Namun mengingat persyaratan yang berat membuat Ngadimin ragu.

“Mas ini kesempatan kita. Ki Joko akan membantu sepenuhnya. Sudah banyak orang yang berhasil hamil lewat perantaranya. Mantra dan jampinya terkenal manjur.”

Menatap binar semangat di mata istrinya, Ngadimin tak kuasa menolak. Apa pun akan dilakukan demi kebahagiaan Sukiyem. Cintanya mengalahkan nalar kemanusiaan.

Maka pada hari yang ditentukan pasangan suami istri itu bersiap melakukan sejumlah perjalanan. Para pembantu sibuk menyiapkan segala keperluan. Segenggam gabah kering di ranting, sekantung bunga kenanga, selendang merah, kelapa cengkir serta ayam cemani. Ngadimin dan Sukiyem diharuskan berpuasa mutih demi melancarkan ritual. Tujuh hari berturut-turut keduanya berpuasa dan tidak melakukan hubungan badan. Mereka akan menghabiskan sedikitnya tiga malam berada dalam hutan di ujung perladangan.

[Bukan] DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang