Munti Mas 3

42 3 0
                                    

Sebulan penuh Sukiyem setia menemani Ngadimin di rumah sakit. Beberapa koper berisi baju ganti sudah dirapikan. Hari ini Ngadimin diperbolehkan menjalani perawatan di rumah. Secara kasat mata kesehatan Ngadimin mulai membaik. Ia sudah mampu bernapas tanpa alat bantu. Luka robek pada beberapa bagian tubuhnya akibat tersayat duri ranting tempo hari sudah mulai mengering. Tangannya kanannya masih dibebat gips.

Dua orang pembantu berusaha memindahkan Ngadimin ke kursi roda yang telah disediakan. Sukiyem menunduk, tak kuasa melihat pemandangan di depannya. Ia mengusap pipi yang tidak disadari sejak kapan telah basah oleh air mata. Dadanya terasa nyeri. Rasa bersalah mulai menggerogoti pikiran. Juragan palawija itu kini lumpuh. Pinggang hingga ke bawah tak bisa digerakkan. Seumur hidup yang tersisa bakal berteman dengan kursi roda. Membayangkan semua itu membuat Sukiyem semakin terenyuh. Andai ia tidak memaksakan keinginan mempunyai anak ... ah, semua telah terjadi.

Kursi didorong keluar kamar perawatan, melewati Sukiyem yang masih berdiri mematung di sisi pintu. Sepintas  mata Ngadimin menatap Sukiyem yang tampak anggun dengan kebaya putih berjarit kuning keemasan. Tatkala melewati Sukiyem, tangan Ngadimin menyentuh selendang hitam yang menjuntai dari bahu Sukiyem, selendang itu berayun pelan mencipta angin. Bahkan untuk sekadar mengucap sepata kata pun, Ngadimin tak mampu. Bukan sebab teror hutan yang begitu dahsyat dan menghantui. Bukan. Lidah Ngadimin terasa berat seolah ada perekat yang menarik kuat hingga membuatnya kelu.

Kini tak ada lagi canda tawa seperti masa-masa yang telah berlalu. Rumah besar menyisakan ruang-ruang yang kosong dari ruh kehidupan. Ngadimin saban pagi manggut-manggut berjemur di teras sembari menyimak kicau burung perkutut katuranggan. Bulu-bulu lurik burung itu menyedot perhatian Ngadimin. Ki Joko yang menyarankan memboyong perkutut jenis katuranggan demi menahan rezeki supaya tidak minggat dari rumah. Begitu dalihnya. Benar saja sejak kepulangan Ngadimin dari padepokan di tengah hutan, hasil pertanian Ngadimin melimpah ruah. Para tengkulak kota langsung bertandang ke rumah meminta pasokan palawija. Biaya rumah sakit yang begitu besar tidak berarti apa-apa. Harta Ngadimin terus bertambah. Petani berbondong menjual hasil kebun mereka ke Ngadimin. Seolah hati-hati mereka terpaut oleh daya tak kasat mata.

Namun harta benda yang berlipat banyaknya tak membuat Sukiyem tidur tenang. Seperti yang dijanjikan Ki Joko, tepat sebulan dari hutan, ia mengandung. Hatinya semakin waswas dan dilanda kegundahan tak berkesudahan. Mual-mual pada tiga bulan pertama kehamilan tak begitu dirasa. Ia terlanjur patah hati. Ngadimin sang kekasih menghilang bagai di telan bumi. Raganya ada di depan mata tetapi jiwanya tak berpijak di bumi. Acapkali Sukiyem menatap tepat ke bola mata Ngadinim. Tak ada reaksi.

“Kopi, Mas,” tawar Sukiyem suatu sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kopi, Mas,” tawar Sukiyem suatu sore. Gerimis berlompatan menimpa genting karangpilang atap rumah mereka. Gemuruh geledek tak membuat pandangan Ngadimin berpaling dari sangkar burung perkutut. Kosong. Sukiyem sengaja melepas perkutut. Ia tak tahan desas-desus pesugihan menggelitik pendengarannya. Sakit Ngadimin sudah cukup membuat dunianya hancur, kini ditambah kabar angin yang akhirnya sampai juga ke rumah joglo.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[Bukan] DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang