Munti Mas (2)

75 2 0
                                    

Sreek ... sreek ... sreek.

Sukiyem merapatkan tubuhnya pada punggung Ngadimin. Keringat merembes membasahi kemaja batik kawung hitam yang dikenakan suaminya. Tangan kanannya mengapit pinggang Ngadimin dengan gemetar. Hawa dingin membuat tengkuknya merinding. Ia menggigit bibir bawah, menahan isak tangis ketakutan.

Ngadimin berdiri tegap dengan mata awas. Ekor matanya lincah mengamati tiap bunyi yang tertangkap indra pendengaran. Degup jantungnya naik turun semkain kencang. Pelahan Ngadimin memutar badan menyamping, menghadap arah suara berasal.

“A-aku takut, Mas,” bisik Sukiyem. Wajahnya menelungkup ke punggung Ngadimin. Sejurus Ngadimin melirik ke jalan di belakangnya. Kakinya terbuka, memasang kuda-kuda bersiap lari kembali ke jalan ladang pertanian. Lorong itu gelap. Tepat saat hendak berancang-ancang, kakinya terantuk benda keras. Sontak ia mengaduh.

Sebuah batu di samping kaki kiri Ngadimin bergeser. Tanahnya merekah. Sukiyem ikutan mengamati kejadian aneh itu. Kedua mata sepasang suami istri itu terbelalak!

Dua, tiga, empat makhluk muncul dari balik batu! Sukiyem menutup mulutnya menahan rasa kaget. Belum sempat menyadari yang terjadi, kaki kuda-kuda Ngadimin ambruk. Keduanya terjengkang ke belakang. Tak sempat bangkit sebab terpana dengan kemunculan makhluk-makhluk mirip manusia di depan mereka. Makhluk itu berambut panjang, tinggi tubuhnya hanya sebetis. Seolah tak menyadari kehadiran Ngadimin dan istrinya, empat manusia kerdil berjalan mengusung tandu.

Sreek ... sreek ... sreek ....

Makhluk-makhluk kerdil melangkahi kaki Ngadimin, pandangannya tertuju pada asal suara. Pandangan Ngadimin mengikuti rombongan si Kerdil. Dari semak-semak di sebelah kanan jalan setapak, muncul sosok manusia membawa sapu lidi. Sukiyem meringkuk tak berani mendongakkan wajah.

“Ssst ... ikuti aba-abaku.” Ngadimin menggerakkan kaki pelahan, tak ingin mengusik rombongan si Kerdil. Sukiyem pelahan bangkit dan bersiap lari. Ayam cemani yang sedari tadi diam tiba-tiba berontak dari bungkusan kain. Sayap-sayapnya mengepak-ngepak disertai suara kokok yang nyaring. Konstentrasi Ngadimin pecah. Ia tak menduga si hitam cemani berulah. Serta merta Ngadimin menyeret Sukiyem bangkit dan bergegas menuju jalan arah mereka datang. Tak ayal rombongan si Kedil berbalik melihat kegaduhan.

Ngadimin tak peduli sekeliling. Ia berlari menabrak ranting-ranting semak yang melintang di jalan. Kembali ke tempat yang tadi. Di belakang, Sukiyem terpontal-pontal mengikuti langkah suaminya.

“Kita harus pulang, Yem. Kita salah jalan,” seru Ngadimin dengan napas tak beraturan. Ingatannya kembali pada rumah dan ladang yang nyaman. Toh selama ini mereka hidup bahagia walau tanpa kehadiran anak. Hutan ini serasa bukan hutan yang biasanya dikunjungi warga untuk mencari kayu bakar. Ngadimin belum pernah masuk hutan ini. Namun tak mungkin kondisi hutan begitu gelap dan pengap. Bukankah polisi hutan siang malam keluar masuk guna menjaga pencurian pohon dan binatang yang lindungi?

 Bukankah polisi hutan siang malam keluar masuk guna menjaga pencurian pohon dan binatang yang lindungi?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[Bukan] DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang