Prolog

49.7K 1.6K 94
                                    

"Jatuh cinta adalah hal yang wajar, yang gak wajar itu menyalahgunakan cinta dan terjerumus dalam pacaran"

***

Bangunan tiga tingkat dengan warna cat yang mendominasi biru itu adalah tempat dimana pemuda beriris mata cokelat itu berada. Rahangnya yang tegas dan hidung mancungnya membuat banyak kaum hawa mengaguminya. Hanya sekedar mengagumi, karena pada dasarnya pemuda dengan nama lengkap Azzam Reyhan Reswara itu sama sekali tidak memberi celah pada mereka untuk sekedar mendekatinya.

Azzam sudah beberapa bulan terakhir menjadi guru tetap di pondok yang dinaungi oleh yayasan almarhum kakeknya. Pemuda jangkung itu sangatlah ramah dan selalu tersenyum tulus kepada siapapun yang ia lihat ataupun pada saat berpapasan.

Jangan salahkan kaum hawa kalau mereka baper, apalagi Azzam di kenal sebagai ustadz yang cerdas dalam berbagai bidang. Bukan hanya ilmu agama, tapi berbagai ilmu dunia lainnya ia tahu.

Pemuda itu terlihat menyusuri koridor pondok dengan sahabatnya, ustadz Jaelani.

"Bagaimana Zam, kamu jadi ngisi kajian rabu besok ?" Azzam menoleh kecil sembari mengangguk pelan, Jaelani tersenyum simpul sembari menyenggol pelan lengan pemuda jangkung itu.

"Besok banyak akhwatnya (cewek-cewek) Zam, mereka kalau kamu yang ngisi pasti padat ruangan. Emang dasar modus," gerutu Jaelani membuat lesung pipitnya terpampang manis pada pipi mulusnya.

Azzam tersenyum samar sembari menggeleng, "Awalnya modus nanti juga berakhir tulus, dengan seiring berjalannya waktu mereka akan tahu kalau ilmu yang aku ajarkan lebih menarik daripada aku sendiri," sahabatnya itu terkekeh pelan sembari memukul pelan lengan Azzam yang berotot.

"Bisa aja kamu, Zam." Keduanya pun melanjutkan langkahnya menuju kantor sembari mengobrol kecil.

"Ustadz Azzam bisa minta tolong ?" Ujar salah satu ustadz yang lebih tua darinya, pemuda itupun mengangguk dan menyempatkan meletakan buku tebalnya diatas mejanya sembari mendekat pada pria berjenggot panjang itu.

"Minta tolong apa ustadz ?" Jaelani melirik keduanya sembari mendudukan diri, "Kamu bisa gantikan ustadz Juna ngajar di Sekolah Garuda ? Soalnya beliau ambil cuti karena istrinya melahirkan," Azzam terdiam sembari berpikir, "Kamu ngajar anak Berbeda disana," tambah pria berumur itu lagi membuat Jaelani yang sedari tadi duduk jadi mendekat.

"Ustadz gak salah nyuruh Azzam ngajar disana ?" Ujarnya sembari tak setuju, "Ustadz tahu sendirikan anak berbeda di Garuda itu bagaimana," ustadz berjenggot panjang itu pun tersenyum samar.

"Saya percaya, Azzam mampu dan bisa menggantikan Ustadz Juna untuk sementara waktu," Azzam yang mendengar itu jadi menipiskan bibir.

"Insya Allah saya mau ustadz," Jaelani melebarkan sembari memukul pelan bahu pemuda jangkung itu, "Kenapa sih Lan ?" Ujar Azzam sembari berjalan menjauh dari ustadz sepuh itu.

"Kamu tahu tidak anak berbeda itu bagaimana ?" Azzam menggeleng sembari mendudukan diri pada mejanya, Jaelani mendekat dengan menyempatkan menarik kursi miliknya.

Pemuda pemilik lesung pipit itu mendesah berat, "Lagian kenapa kalau mereka berbeda ? Apa mereka kayak disabel yah ?" Tanya Azzam masih tidak tahu, Jaelani beristigfar dengan kerasnya.

"Aku kasih tahu yah, anak berbeda itu adalah kumpulan anak-anak yang susah diatur, yang susah di ajari, mereka sama sekali tidak menghargai guru yang mengajar. Guru yang sudah puluhan tahun mengajar pun gak ada pengaruhnya buat mereka, apalagi kamu yang baru seumur jagung mengajar ini ?" Azzam mengangguk paham sembari tersenyum samar.

"Dulu di Garuda ada anak unggulan, sekarang anak berbeda. Makin lama makin aneh saja program guru sekarang," ujar pemuda jangkung itu sembari menoleh pada Jaelani yang masih tidak rela ia mengajar disana.

AZZAM [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang