Satu

640 62 4
                                    

Oikawa Tooru--pemuda berhelai cokelat tanah dengan netra senada--selalu menyisihkan sedikit waktu di sela kesibukan merekam tiap ucapan guru yang sedang menerangkan di depan kelas, juga di setiap jeda pembicaraannya dengan teman saat jam istirahat untuk mengamatimu. Mata observannya dapat dengan mudah mengenali setiap perubahan padamu.

Tentang kegelisahanmu tiap kali berhadapan dengan orang asing, tentang bagaimana Kamu selalu menatap laki-laki itu untuk mencari pertolongan, sekecil apa pun pertolongan yang bisa ia berikan. Dan dia hanya akan memberikan seulas senyum yang terkesan seperti formalitas, Tooru ingin Kamu bertindak, bukan hanya menatapnya untuk mencari ketenangan.

Maka saat bel pulang berbunyi, Tooru selalu, selalu berpura-pura menyibukkan  diri dengan gawai dalam genggaman. Sesekali melirikmu yang sedang membereskan buku dan sebisa mungkin menolak ajakan teman sekelas untuk pulang bersama.

Di kelas hanya tersisa segelintir orang ketika dia menghampirimu, “[Name]-chan baik-baik saja, kan?” pertanyaan itu selalu terlontar meski Tooru tahu persis, hanya anggukan bisu yang didapat. Yah, meski pertanyaan itu diajukan dengan nada dibuat-buat, Kamu juga tahu—-dari sendu yang tergambar jelas di matanya—-kalau laki-laki itu memang peduli padamu.

Tooru akan berdiri di kelas sampai punggungmu menghilang di balik pintu. Dia akan bersandiwara menjadi orang yang paling tidak peka di seluruh dunia, mengabaikan tatapan heran segelintir orang di kelas, yang terang-terangan bertanya secara nonverbal pada Tooru mengenai hubungan kalian.

Semua orang memang tahu, Tooru selalu bersikap baik pada semua perempuan yang ia temui.

Tapi Kamu lah satu-satunya orang yang selalu diawasi olehnya, bahkan saat laki-laki itu sibuk berbagi cerita dengan orang lain.

Kemudian ada hari di mana ia melontarkan pertanyaan yang sama sepulang sekolah, hari itu tak ada satu pun orang yang tersisa di kelas.

Jawabanmu tentu masih sama, anggukan bisu dan kedua tangan saling menautkan jari. Kamu ingin bercerita pada pemuda di hadapan, menyelami kedalaman netra cokelatnya, dan Kamu akan teringat pada madu yang dulu selalu tersimpan dalam kulkas.

Tapi begitu melirik sedikit saja, Kamu bisa langsung tahu kalau Tooru menuntut penjelasan padamu dan itu membuatmu tak nyaman.

“[Name]-chan, kalo kamu enggak cerita, Aku nggak bakal tau masalahnya.”

Dusta, nyatanya Tooru sudah mengetahui apa saja yang Kamu alami setelah kalian berpisah.

Saat pertama kali dia melihatmu di Aoba Johsai, Tooru langsung tahu kalau Kamu bukanlah [Name]-channya yang dulu selalu ceria.

Tooru memang belum seratus persen yakin dengan kesimpulan yang ia ambil, tapi perkiraan pemuda itu seringkali tepat.

Dan jika memang benar, Tooru ingin sekali membantumu.

Hari itu dia mati-matian menahan tubuh agar tidak bergerak di luar kendali, Tooru ingin sekali merangkulmu seperti dulu, mengusap punggungmu pelan, membiarkanmu terisak dalam peluknya sampai Kamu terlelap.

Dan yang Tooru temukan hanyalah kebuntuan.

Iya cerita ini saya tulis ulang, efek lagi galau gara-gara potek/nggak
Semoga hasilnya agak mendingan.

Our PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang