Kalau tidak salah ingat, sejak usiamu lima tahun ayahmu bercerai dengan Ibu, dan sejak saat itu lah Kamu pindah rumah lalu bertemu Tooru dan juga Hajime. Dua orang sahabat yang tidak bisa dipisahkan.
Kala itu Tooru sempat bertanya, apa Kamu tidak sedih karena harus berpisah dengan Ibu, dan Hajime langsung menyikut perutnya, "Oi!" memperingatinya untuk tidak membahas masalah seperti itu.
Dan Kamu tertawa melihat tingkah mereka, kemudian merenungkan jawaban dari pertanyaan Tooru.
Mengangkat bahu, Kamu menjawab acuh, "Nggak tahu, tuh." Karena sejujurnya kamu juga bingung, daripada sedih, kamu malah merasa lega.
Barangkali karena sejak kecil Kamu memang jarang diurus olehnya, ketika kamu mengingat kenanganmu yang sudah lalu, kepalamu diisi oleh sosok ayah, ayah, dan ayah.
"Jangan sedih ya, [Name]-chan. Kita bakal selalu ada buat kamu, kok."
Ucapan itu dulunya membuatmu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putih kecil dan rapat.
Tapi kali ini, ucapan itu malah membuat tangismu makin kencang.
Karena orang yang sudah menyayangi sekaligus merawatmu sejak kecil dengan sangat tulus itu harus pergi karena kecelakaan yang beliau alami. Beliau meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Malam itu adalah malam paling mengerikan dalam hidup, menerima telfon dari rumah sakit saat memandangi hujan deras yang mengguyur pekarangan rumah, seseorang mengabari bahwa ayahmu sudah pergi. Tiada. Mati.
Saat itu kamu mematung, memroses informasi yang Kamu terima berulang kali dalam kepala.
Yang Kamu ingat selanjutnya adalah Kamu sudah berdiri di depan pintu rumah keluarga Iwaizumi, dengan pakaian basah dan napas memburu, air mata sudah tidak bisa dibendung lagi. Padahal, kamu sudah lama sekali tidak menangis.
Teriakanmu yang kalap membuat panik keluarga Iwaizumi, ayahnya Hajime sampai harus menggotongmu dengan paksa agar Kamu bisa tenang dan mau mengganti baju sebelum melaju ke rumah sakit. Tidak lupa mengabari keluarga Oikawa terlebih dahulu.
....
"Yah, Aku boleh nanya?"
Ayahmu berhenti menyuap makanan, memfokuskan matanya ke arahmu yang sedang mengaduk teh panas.
"Kenapa dulu ayah pisah sama Ibu?"
"Kamu sedih ya Ayah pisah sama Ibu?"
"Enggak gitu juga sih, Yah. Lagian kan, Ayah sayang banget sama Aku, sayangnya Ayah aja udah cukup kok, hehe."
"Nah Kamu udah tau jawabannya kan. Ayah pisah sama Ibu soalnya Ayah sayaang banget sama Kamu."
....
"...-chan."
"[Name]-chaaan, jangan ngelamun gitu dong."
Kamu mengedarkan pandang, langsung mengusap pipi dengan punggung tangan ketika menyadari air matamu tak berhenti mengalir.
Barusan Kamu melamun, sekeping ingatan tentang Ayahmu berputar, tanpa Kamu sadari pemakaman sudah sepi. Bahkan Hajime sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
Ada seorang perempuan yang masih menatapmu lekat, melukis senyum kecil yang selalu Kamu lihat tiap liburan semester yang Kamu habiskan di kediamannya. Hanya saja, kali ini senyum itu terlihat sangat dipaksakan.
"[Name], ikut Bibi pulang ya," ucapnya lembut, tangannya mengusap helaian gelapmu pelan, memberi kenyamanan yang ternyata Kamu rindukan, "udah sore." Sambungnya tenang.
"Tapi Aku masih mau di sini, lagian Aku enggak mau ikut Bibi, mau di rumah Ayah aja."
Wanita itu menarik napas dalam, tapi belum sempat ia berbicara, Tooru buru-buru menyela.
"Biar saya yang nemenin dia ya Tante, lagian kita tetanggaan, jadi nanti bisa bareng pulangnya."
Wanita itu hanya tersenyum mendengar ucapan Tooru, dia bisa melihat kilatan keyakinan di netra cokelatnya.
Dan sebelum pergi, Ia hanya menepuk pundak Tooru dengan pelan, "Tolong jagain [Name] baik-baik, ya."
Ternyata ini udah ada di draft, wkwkw. Dan setelah kupikir lagi, Aku bakal masukin OC di cerita ini.