Prolog: Kisah Gadis Sedih

286 17 13
                                    

İstanbul, Turki.

        Seorang pria yang mengenakan jas, celana panjang serba hitam sedang duduk di depan pria yang mengenakan kaus putih serta jeans biru tengah memandang sinis pada pria yang di depannya. Mereka kini berada di dalam rumah kosong rahasia yang kumuh, retak, hampir runtuh.

“Kau tahu?” Pria beralis tebal, brewok tebal, juga berpakaian serba hitam ini mengeluarkan sesuatu apa dibawa, lalu diletakkanlah benda itu di atas meja. “Cinta matimu sudah menyakiti banyak orang. Sekalipun kaukejar itu, lalu mereka membencimu, kau takkan bisa meraihnya, dan inilah yang kaudapatkan.”

Pria yang memiliki garis uban di pelipisnya pun tersenyum kecut pada pria beralis tebal itu. “Namun berhasil kudapatkan.”

Pria itu membuka benda yang terbuat dari kayu itu. Ini ular tangga. Meski demikian, ini bukan ular tangga, melainkan teka-teki yang setiap angka ular tangga itu memiliki kode; ada kode berupa Bahasa Azeri, Urdu, Turki, serta lambang-lambang binatang dan orang tergambar di sana. Pria brewok tebal menyodorkan mainan kecil berbentuk kuda pada pria beruban di pelipis itu.

“Dan kau kehilangan segalanya,” tambah pria beralis tebal ini, mengetos koin.

“Benarkah?” Pria beruban itu terkekeh-kekeh.

Keterangan di koin itu ada gambar mata dan hati. Koin itu jatuh berbaring. Terlihat ada gambar hati keluar.

“Bahkan koin ini lebih jujur darimu.”

“Karena dia peduli padamu, Sanskar.” Pria beruban itu dengan sombongnya mengambil dadu, memasukkannya ke dalam gelas kecil, lalu mengocoknya secara antusias. Keluarlah angka empat. Memajukan mainan kudanya empat langkah. Kena di gambar dua para jemari.

“Dua jemari ini ... seperti kau dan Swani. Mungkin karena itu kau sampai merusak kehidupan gadis sedih yang berasal dari Mumbai, lalu berimigran ke Baku, Azerbaijan. Bukan hanya mental, tapi kau membunuh kehidupannya.” Sanskar tersenyum kecut sembari menyilangkan kedua tangan tepat di dadanya. Pria berpakaian serba itu menggerakkan kursi yang bisa berputar, lalu berdiri sembari membungkuk, menatap mata pria beruban itu. “Kau juga melibatkan, membunuh banyak orang dalam masalahmu. Apakah setelah kau melakukannya, kauberikan uang pada mereka? Demi Allah, mereka tidak akan dapat apa-apa darimu meski kau ... kauberikan semua itu untuk mereka!”

“Karena dia datang bersembah diri, lalu mengirim surat persembahan atas apa yang kuperbuat. Aku sama sekali tidak meminta mereka untuk masuk dalam masalahku, tapi mereka yang melakukannya. Jadi, jangan salahkan aku mengapa demikian. Kau mengerti?” Pria beruban itu menatap sinis mata Sanskar.

Sanskar kembali duduk di kursi, berputar sampai kembali pada pria yang di depannya. Berusaha mendengkus, menahan sabar. “Bagaimana bisa mengerti, sedangkan logikamu saja sulit dicerna otakku. Maaf, karena otakku lebih percaya pada hatiku daripada omonganmu.”

“Ini logika penculik, maka kau takkan bisa memahaminya,” gumam pria beruban itu, memainkan gelas kecil pengocok dadu.

Kini giliran Sanskar. Mengambil dadu, memasukkannya ke dalam gelas kecil, lalu mengocoknya secara antusias. Keluarlah angka lima. Memajukan kudanya lima langkah. Kena di gambar satu hati yang patah dan di tengahnya ada bintang kuning.

“Aku mengerti apa yang Swara rasakan. Karena obsesimu, kau mematahkan semuanya. Kau datang bagaikan bintang yang indah, kemudian kauhancurkan mereka. Memalukan!”

“Itu pasti karena Swara yang menceritakannya padamu, kan?” Pria beruban itu tersenyum kecut.

“Menceritakan semua yang kaulakukan.” Sanskar tak mau kalah.

Unway (Searching Their Without Road)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang