3

211 22 2
                                    

     Baru saja dosen lelaki berkepala botak sebagian itu berdiri dari kursi, Elang melakukan hal serupa kemudian berjalan di belakangnya. Ia begitu bersemangat untuk segera keluar dari kelas. Bagaimana tidak, tadi Sarah mengirim pesan yang berisi bahwa kekasihnya itu sudah menanti di luar gedung fakultas ekonomi. Ingin bicara serius, katanya. Mereka memang kuliah di kampus yang sama, namun berbeda jurusan. Elang di jurusan Manajemen, sedangkan Sarah di Pendidikan Matematika.

Elang melihat Sarah tengah duduk di bangku panjang dekat pohon berdaun rindang. Dengan senyum sumringah segera ia menghampiri gadis pujaan hatinya itu. Saat sudah sampai, ia menepuk pundak Sarah pelan dari belakang. Gadis itu menoleh lalu tersenyum yang membuat lubang kecil di pipinya terlihat. Manis sekali dan Elang sangat menyukainya.

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Elang tanpa basa-basi sambil mengitari bangku lantas duduk di sebelah Sarah. "Kalo penting, mending kita ke kafe aja, yuk."

"Nggak usah, Er. Di sini aja."

"Di sini banyak orang. Nggak nyaman."

Di sekitar mereka banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berseliweran. Beberapa sempat menyapa Elang, bahkan satu dua gadis melempar tatapan sinis pada Sarah. Maklum, mereka iri karena Elang tak memilih mereka sebagai kekasih hati.

"Sebentar lagi juga sepi."

Sarah tetap ingin berbicara di sana, tak ingin di tempat lain. Benar apa katanya, semenit kemudian suasana sekitar mulai lengang. Pejalan kaki yang lewat sudah bisa dihitung dengan jari.

"Jadi kamu mau ngomong apa?" Elang bertanya sekali lagi. Matanya menatap lembut Sarah. Yang ditatap malah menoleh ke arah lain dan Elang langsung tahu, itu bukan karena tersipu tapi sedang menghindar.

"Sarah, kamu kenapa?"

Elang pindah posisi duduk di mana wajah sang kekasih dihadapkan. Tiba-tiba kekhawatiran menyergapnya kala melihat paras ayu itu diselimuti awan mendung kesedihan. Ada apa gerangan? Ia sungguh dibuat penasaran.

"Sarah."

Sarah menunduk, tak kuasa menatap pemuda pemilik hatinya itu. Sejenak ia menarik napas lantas mengembuskan perlahan. Ia harus tenang untuk mengabarkan berita ini pada Elang. Semalaman ia sudah berlatih untuk mengatakan dan menguatkan hati. Ini sungguh berat, namun ia harus melakukannya.

"Er, aku mau kita putus," ucap Sarah pelan namun dengan tempo cepat. Kini ia berani menatap sang kekasih. Paras oriental bercampur kebaratan itu langsung pias seperti baru saja melihat hantu.

"Apa kamu bilang? Putus? Jangan becanda, Sarah! Ini beneran nggak lucu."

"Aku serius, Er. Papa menjodohkan aku dengan laki-laki lain."

Dahi Elang mengerut. Ia merasa kaget dan bingung. Sarah dijodohkan? Tidak mungkin! Ia pernah beberapa kali bertemu dengan papa Sarah dan lelaki yang berprofesi sebagai kontraktor itu menerima baik dirinya. Tidak ada gelagat bahwa Riswan menentang hubungan mereka.

"Bukannya Om Riswan menyetujui hubungan kita? Kenapa bisa jadi begini?"

"Aku juga nggak tahu, Er." Suara Sarah bergetar. Sekuat tenaga ia menahan agar tidak menangis.

Elang menggeleng-gelengkan kepala. Ia masih tidak percaya dengan kabar buruk ini.

"Udah ya, Er, aku mau pulang. Mulai hari ini kita berteman aja."

Sarah berdiri sambil mengusap mata. Baru saja ia melangkah tapi langsung terhenti. Elang meraih pergelangan tangannya.

"Jangan-jangan ini cuma alasan kamu karena kamu udah nggak cinta aku." Elang jadi curiga.

"Tentu aja aku masih cinta kamu, Er."

"Kalo gitu, kenapa kamu menerima perjodohan itu dan mutusin aku?"

Sarah menoleh. Matanya dan mata Elang bertemu. "Karena aku lebih mencintai orang tuaku," katanya lirih lalu segera melepaskan tangan Elang lantas berlalu dengan langkah setengah berlari.

Elang terdiam. Jawaban yang diucapkan Sarah membuatnya bungkam, tak bisa melawan. Pandangannya mengikuti langkah Sarah sementara dadanya terasa sesak dan sakit.

***

Sejak pulang kuliah sore tadi hingga malam ini, Sarah tak kunjung keluar kamar. Ia mengurung diri, tak ingin diganggu dan tak jua mau makan. Makanan yang dibawakan Maryam tak dipedulikan olehnya. Meski lelah akibat terus menerus menangis, namun ia tak merasa lapar. Entah pergi ke mana nafsu makannya.

"Kak Sarah, ada Kak Elang." Maryam datang lagi dengan membawa sebuah kabar yang membuat Sarah bangkit terkejut dari tempat tidur.

"Apa? Elang ke sini?"

Maryam mengangguk. "Dia ke sini bukan mau ketemu Kakak, tapi mau ketemu Papa."

Sarah terdiam sejenak, berpikir untuk apa mantan kekasihnya itu datang menemui Papanya? Beberapa detik kemudian ia tahu jawabannya. Seketika secercah harapan muncul. Semoga Elang bisa meluluhkan hati papanya agar ia dan pemuda berdarah campuran Betawi-Belanda-Tionghoa itu bisa bersatu kembali.

Dengan jantung yang berdebar-debar, Sarah akhirnya keluar kamar. Langkahnya cepat menuju tempat di mana papa dan pemuda yang dicintainya sedang berbicara. Mereka berada di ruang tamu dan ia hanya bisa menguping di balik dinding. Air matanya kembali menetes saat ia mendengar suara Elang yang sedang memohon pada papanya.

"Om, aku mohon batalkan perjodohan itu. Jangan pisahkan Sarah dan aku. Kami saling mencintai. Om tahu itu. Lalu kenapa Om malah menjodohkan Sarah dengan laki-laki lain?"

"Sebagai orang tua, Om nggak mau Sarah berlama-lama pacaran. Apalagi gaya pacaran anak jaman sekarang udah banyak yang melewati batas. Jadi lebih baik dia menikah dengan laki-laki yang sudah siap."

"Tapi, Om, aku nggak bakal ngerusak Sarah. Aku bisa jaga dia."

"Om nggak yakin karena dalam pacaran itu banyak sekali godaan."

"Ya udah, aku bakal menikahi Sarah. Kalo bisa sekarang juga."

Sarah terkesiap. Debaran di dadanya semakin kencang. Elang sungguh berani dan ada haru yang menyelusup di hati Sarah kala mendengar pernyataan terakhir mantan kekasihnya itu. Namun ia juga harap-harap cemas menanti tanggapan sang papa.

"Om menghargai niat kamu tapi maaf, kamu udah telat."

Hancur hati Sarah mendengar penolakan papanya. Air mata semakin deras mengalir membasahi pipi. Sambil menutup mulut agar suara isaknya tak terdengar, ia mengintip ingin melihat Elang. Ternyata kini pemuda itu sedang berlutut di depan kaki papanya. Sontak hatinya semakin hancur lebur.

"Om, aku mohon. Aku nggak bisa pisah dari Sarah. Aku sangat mencintai dia, Om. Aku mohon, aku mohon."

Sarah melihat Riswan membungkuk, lalu membantu Elang untuk bangkit. Ia masih mendengar pemuda itu berkata-kata untuk meyakinkan papanya.

"Om izinkan aku menikahi Sarah. Aku bakal kerja sambil kuliah. Aku bakal berusaha menjadi suami yang baik buat Sarah. Aku cinta banget sama dia, Om."

"Kamu kuliah aja dulu sampai selesai. Terus kalo udah lulus, baru kerja. Kamu pasti akan mendapatkan pengganti Sarah."

"Tapi, Om, yang aku mau cuma Sarah."

"Ini udah malam. Sebaiknya kamu pulang."

Tidak ada lagi harapan. Sarah sudah putus asa. Papanya sama sekali tidak luluh dengan permohonan Elang. Kini ia benar-benar pasrah pada takdir perjodohannya. Ia harus mengikhlaskan dan menerima kisah cintanya dengan Elang telah kandas.

***

Sayap Patah ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang