4. Separate

29 2 3
                                    

🌁🌃🌄🌅🌆🌇

Ketika masuk di SMA, kita tetap berada di sekolah yang sama. Akhirnya Kunyuk dan Icha benar-benar jadian, mereka pacaran dan aku masih tetap jalan bertiga bersama mereka. Bodo' amat, aku tidak peduli dengan status mereka.

Hingga di suatu hari, aku sedang bermain Play Station di rumah Kunyuk. Sebenarnya sih, ide ini karena si Kunyuk memang sedang kesepian, Icha sedang ke luar kota bersama mama dan papanya. Seharusnya di Sabtu sore begini, mereka sudah bersiap untuk kencan entah kemana. Well, akhirnya kita lebih memilih untuk main Play Station di kamar Kunyuk yang super jorok dan bau. Kamarnya sih, luas. Tiga kali lipat luasnya daripada kamarku di rumah. Namun aku lebih merasa nyaman di kamarku yang sempit itu dibanding disini. Sampah ada dimana-mana dan baju kotor yang digantung di gantungan baju menimbulkan bau. Asisten rumah tangganya tidak pernah ia izinkan masuk ke kamar jika bukan karena atas kehendak tuannya itu. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala ketika baru pertama datang dulu.

Rumah sebesar ini hanya ada dirinya, beberapa asisten rumah tangga dan sopir, kedua orang tuanya jarang berada di rumah. Aku hanya sekali bertemu dengan papanya, itupun hanya bertemu sesaat di teras depan ketika beliau buru-buru berangkat ke bandara kala itu. Mamanya hanya bisa kulihat dari foto keluarga yang berada di ruang tamu dan ruang keluarga. Saat penerimaan raport pun mereka tidak pernah terlihat bisa hadir, Pak Hamdan lah yang memenuhi tugas tersebut.

"Nyet, lu nggak pengen punya pacar, apa?" Tanya Kunyuk ketika kita masih asyik bermain. Aku hanya cuek tidak menanggapi pertanyaannya.

"Lu nggak bisa move on dari Icha, ya?" Pertanyaan itu sukses membuyarkan konsentrasiku. Kunyuk nyengir penuh kemenangan.

"Jadi beneran, lu suka ya, ama Icha?" Kunyuk masih getol dengan pertanyaan itu, membuatku bingung harus memjawab apa.

"Dia lebih milih elu, Nyuk. Lu lebih segala-galanya daripada gue, gue mah apaan," aku menjawab pertanyaan itu tanpa melepas pegangan stick PS-ku.

"Tai lu, Nyet. Mau sampai kapan lu mendam rasa kayak gitu? Mau sampai kiamat?" Ucap Kunyuk. Sialan lu, Nyuk! Gimana dia bisa tahu, coba?

"Ya gue realistis sih, Nyuk. Cewek manapun juga bakal lebih milih elu ketimbang milih gue. Keputusan mereka tepat," jawabku asal. Jujur saja, jika harus memilih, aku lebih suka untuk melewati saja pertanyaan menjebak seperti ini.

"Lagian Icha jelas-jelas milih elu, dia sukanya ama elu bukan ama gue. Icha tuh normal banget lagi, tapi kadang gue kasihan ama dia, bisa-bisanya tahan nempel mulu ama elu, padahal aslinya lu jorok banget." Lanjutku, Kunyuk hanya terkekeh mendengarnya.

"Lu bego banget sih, Nyet. Kenapa elu diem aja gue pacaran ama Icha? Padahal elu juga suka kan ama dia?" Aku hanya tertawa mendengar pertanyaan Kunyuk.

Dia ini pacar yang sangat aneh. Bisa-bisanya memberikan pertanyaan seperti itu kepadaku tentang pacarnya. Tapi dia benar, aku memang bego. Aku seakan baik-baik saja melihat mereka jadian, pacaran, pelukan bahkan bergandengan tangan di depan mataku, seolah tidak terjadi apa-apa dengan hatiku yang sudah hancur terberai ini. Ya, aku memang sakit, tapi aku bahagia melihat Icha begitu bahagia. Jadi, ya sudah lah.

"Mau sampai kapan lu sembunyiin perasaan lu ke Icha? Nunggu gue mati?" Kata Kunyuk sambil merebut stick PS di tanganku.

"Eh, punya gue,tuh ... " Sambarku.

"Elu stick PS aja disamber, kenapa cewek lu diemin? Buruan tembak dia, keburu gue kawinin ntar," Kunyuk seolah meledekku. Aku seperti mendapat tamparan keras darinya.

"Jangan main-main lu ama dia, awas lu mainin dia, gue hajar lu." Ucapku serius dan sedikit emosi.

"Cewek, cewek gue. Suka-suka gue dong mau gue apain." Balas Kunyuk tanpa dosa. Tanganku begitu refleks, langsung mencengkeram kerah baju Kunyuk dan bersiap melayangkan tinju ke arahnya, kulihat dia menyeringai.

It's About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang