Prolog

64 7 45
                                    

Pria itu melompat kecil melintasi hamparan debu halus gersang dan kering, berjuang agar tubuh tingginya itu tak terlempar jauh melampaui tarikan gravitasi. Matanya tak henti-henti menatap pemandangan agung itu, bumi biru yang terpantul di kaca helm cebung yang ia kenakan. Pemuda itu tak pernah mengira, bahwa dirinya akan menjadi bagian dari sejarah, sebagai sejarah astronot yang menjejakan kakinya di bulan.

"Aku tak mengira kita benar-benar menjejakan kaki dibulan," komentar Mike dengan senyum cerah dibalik helmnya.

Namun lawan bicaranya tak menanggapi komentar Mike, ia terus melompat, menuju sebuah gunungan kecil yang letaknya tak jauh dari pesawat. Berbeda dengan Mike, Adam tak begitu menyukai luar angkasa. Ia telah bekerja di satelit NASA selama bertahun-tahun, dan baginya luar angkasa tak lebih dari sebuah penjara sempit.

Dahulu ia pernah merasakan perasaan seperti yang dirasakan Mike, namun begitu perasaan itu hilang seketika. Jauh dari keluarga dan terkungkung dalam ruangan kecil nan sesak telah membuat dirinya bersikap antipati terhadap segala apa yang ditawarkan luar angkasa.

Hanya ada satu alasan mengapa Adam memilih untuk ikut dalam misi pendaratan di bulan ini, sebuah alasan mengapa ia memilih untuk mempertaruhkan hidupnya. 'Ini semua demi umat manusia...' itu yang ia pikirkan, walaupun ia tak yakin kemana penemuan ini akan membawa masa depan manusia.

Mike dan Adam berhenti melompat, kedua mata mereka memerhatikan sebuah gundukan debu bulan tak menarik lagi membosankan. "Inikah titiknya?" tanya Mike ragu sambil menatap Adam dengan sudut matanya.

"Ya..." balas Adam singkat. Pria itu kembali mengecek posisinya, memerhatikan peta bulan melalui display yang terpasang dalam helm yang ia kenakan. Jari tangannya bergerak-gekar, menggeser layar menggunakan sensor-sensor yang dalam kostum astronotnya. "Simon, keluarkan eskavator," perintah Adam melalui radio, "...waktunya kau bekerja."

"Siap kapten," ucap Simon dari dalam pesawat, ia kemudian mengeluarkan sebuah eskavator kecil yang ia dikendalikan melalui remote kontrol.

Eskavator itu bergerak melintasi permukaan bulan, meninggalkan bekas roda diatas debu-debu halus berbatu. Eskavator itu bukanlah eskavator biasa, melainkan sebuah robot penjelajah bulan yang telah dimodivikasi untuk membawa sampel batu dan tanah.

Kali ini apa yang ingin mereka ambil bukanlah batu dan tanah, namun sesuatu yang lain. Serpihan logam dan graphine membuat mereka mengambil pilihan yang beresiko, kembali melakukan pendaratan di bulan.

Adam menatap eskavator yang perlahan mendekat, jatungnya berdebar kencang dan perasaan cemas mulai menghantui. Benda itu kemudian terhenti, lalu tangannya mulai bergerak, menggali gundukan tanah yang ada dihadapannya.

"Kenapa kita harus menggunakan robot mungil ini padahal kita bisa menggali dengan sekop?" komentar Mike setengah bercanda.

"Kau tahu, atasan kita punya seribu satu alasan untuk membuat semua proyek kita lebih mahal, termasuk mengirim kita kemari,"

Mendengar ucapan Adam, Mike tersenyum masam. Benar apa yang dikatakan sang 'kapten', pendaratan mereka di bulan pada dasarnya hanyalah sebuah cara untuk membuang-buang pajak penduduk Amerika dengan cara yang sia-sia.

Misi ini bisa berjalan bahkan tanpa keterlibatan astronot sama sekali, namun para politikus dan pejabat-pejabat NASA tetap mengirimkan mereka. Alasannya, tentu saja popularitas guna meraih simpati dan perhatian masyarakat dunia, namun dibalik itu ada alasan lain yang lebih kelam.

Potongan besi dan graphine yang ditemukan dalam penjelajahan sebelumnya bukanlah material biasa. Setelah diteliti lebih lanjut, para ilmuwan NASA sadar, bahwa benda-benda itu merupakan bagian dari sebuah benda luar angkasa tak dikenal.

Alter Project: Lost ArtifactWhere stories live. Discover now