Lingkaran Odaise

80 5 0
                                    

Nick masih diliputi kegamangan oleh pikirannya sendiri. Bagaimana mereka yang berada di perpustakaan bisa berpindah secara misterius di tempat yang asing. Satu-satunya hal yang berbeda disini adalah: Thalia dengan buku di genggemannya.

Tempat ini di liputi cahaya keremangan yang berasal dari sinar matahari yang merambat melalui celah kecil dedaunan yang rimbun, terkungkung dalam dimensi lain seperti yang pernah di baca Nick dalam buku koleksi milik papa.

Ini masih sore.

Suara-suara jangkrik belum mengalihkan mereka dari pemandangan hutan lebat nan lembap, posisi jatuh mereka belum berubah.

“Nick?” suara Nadia memanggil kakaknya. sorot matanya yang kebingungan mampu ditangkap dengan baik oleh Nick, meski dalam intensitas cahaya yang minim. “Ini dimana?” tanyanya lagi.

Pertanyaan Nadia menyentak Ben, Percy, dan Thalia. Secara bersamaan pandangan mereka menyerbu Nick, mungkin pria itu bisa menjelaskannya.

Nick menarik napas panjang, membalas tatapan temannya dengan jenis tatapan yang mampu membuat lawan menciut. “Ini semua salahnya” Nick berucap kasar, pandangan mata birunya sepenuhnya mengarah pada Thalia di sudut depannya.

Semua mata tersegap, memandang pada Thalia yang mendelik kaget. “Aku?” suara Thalia menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak mengerti.

Gadis ini terlalu bodoh atau apa? Pikir Nick geram.

Nick bangkit tanpa menjawab apapun yang sudah atau belum terucap dari teman-temannya. Dia hanyalah anak tiga belas tahun yang baru sekali berkencan dan mendapati gadis asing sepupu Ben yang membawa masalah padanya.

Dedaunan kering menempel di celana Nick, ia mengibaskan tangannya untuk membersihkan kotoran itu.

“Kau marah padaku ya?” Thalia menyambar, ia ikut bangkit dalam kesunyian yang merajai beberapa saat─suara jangkrik dan gesekan dedaunan tidak di hitung disini. “Memangnya salahku apa?” sambungnya. Suaranya terdengar dalam dan lembut, tapi ini tidak berarti apa-apa bagi Nick.

Nick sekilas menoleh pada Nadia yang masih terduduk di belakangnya, memandang adiknya yang masih sibuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Dari sudut mata Nick, terlihat jelas Ben dan Percy yang berada di kanan kiri Thalia beranjak bangkit. Gadis itu ikut terlihat, gadis dalam baju tidur berwarna merah bertuliskan ROMEO DAN JULIET BUKAN PASANGAN ABADI, masih menggegam bukunya.

Percy menggesekkan permukaan ipad-nya dengan sangat hati-hati pada baju yang ia kenakan. Beruntung ipad baru kesayangan tak tergores atau apapun.

Nadia berdiri paling terakhir, ia masih terlihat memutar kepalanya berusaha membuat otaknya mendapat jawaban atas apa yang mereka alami beberapa menit lalu. Tangannya perlahan melingkar pada tubuhnya sendiri yang hanya berbalut piyama tipis.

Angin semilir berhembus membawa beberapa helai dedaunan yang berguguran di sekeliling mereka. Nick benar-benar baru percaya dan tidak bisa di sangkal lagi, kaki mereka menapak di hutan asing nan suram. Terjebak di dalamnya dan satu-satunya hal yang membuatnya ingin marah adalah: Thalia si gadis asing.

“Ini semua salahmu” Nick berucap lagi.

“Jangan menyalahkan sepupuku!” Ben menjawab dengan nada menantang, berusaha membela sepupunya.

Nick mendengus kasar, “Memang salahnya kan? Kalau dia tidak menginap di rumahku pasti kita tidak akan berada disini!”

Ben baru akan menjawab ketika Percy datang dan berdiri di tengah-tengah mereka, memberi sentuhan pada lengan keduanya. “Sudahlah” kata Percy tegas, “Sekarang bukan waktunya untuk saling menyalahkan. Kita harus mencari cara untuk keluar dari tempat asing ini” katanya.

Buku Ramalan SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang