Rumah Mnemsine

57 5 0
                                    

Langkah mereka padu menyisiri jalanan hutan yang lembab, banyak pondok-pondok tua mirip rumah jamur yang tak berpenghuni memenuhi kanan kiri jalan. Thalia masih mengenggam tangan Ben erat, sedangkan Nadia di samping Nick berusaha memandang sejauh mungkin melalui manik mata coklatnya.

“Nick” Nadia bersuara, “Menurutmu, tempat apa yang di maksud?”

Nick terdengar menghela napasnya, “Aku juga tidak tahu” katanya kemudian.

Jalanan lembab dilapisi dedaunan coklat yang basah membuat jejak mereka tertinggal cukup jelas. Nick menghitung langkahnya, tak tahu akan sampai hitungan berapa kalau mereka tak tahu tempat macam apa yang harus mereka datangi. Cacing-cacing di perutnya sudah meronta meminta makanan, namun sebisa mungkin ia menahannya. Tidak ada makanan yang bisa mereka makan di hutan lembab nan suram ini, yang ada hanya beri-beri beracun yang menggelantung indah sepanjang jalan.

Langkah mereka sampai pada tempat mirip sebuah desa di jaman pra-tulis dulu, dengan gazebo-gazebo yang tersebar dengan satu tempat yang lumayan besar. Nick pernah melihat lukisan ilustrasi seorang pelukis kenamaan Itali tentang keadaan manusia di jaman pra-tulis dulu, menurutnya tidak jauh berbeda.

“Ada manusia juga ternyata disini” celetuk Percy.

Sekumpulan para manusia dengan balutan jubah hitam begerombol di sebuah titik tak jauh dari mereka, terlihat sedang membicarakan sesuatu di tempat mirip gazebo tadi. Nick dan yang lain sibuk memperhatikan mereka sampai akhirnya salah satu dari mereka menyadari keberadaan Nick dan kawan-kawan.

Nick tersentak, semua orang itu kini menatap ke arah mereka. Nick menatap balik mereka yang menatapnya menyelidik, tak ada sedikit pun rasa takut dalam dirinya.

“Hai” salah satu dari orang itu menyapa mereka lembut. Melambaikan tangan seolah menyuruh Nick dan yang lain mendekat.

Dengan sedikit ragu akhirnya Nick memutuskan untuk mendekat, Nadia masih setia di sampingnya dan yang lain mengikuti di belakang. Langkah mereka tersaruk menuju tempat yang kira-kira berjarak lima anak panah dari tempat mereka semula.

Sesampainya mereka di hadapan para manusia berjubah, secara tiba-tiba manusia-manusia itu menunduk hormat ke arah Nick. Nick tersentak, secara mendadak ia mundur dan bisa melihat jumlah mereka ada sepuluh banyaknya. Ke empat orang di belakang Nick juga sama-sama tak mengerti dan ikut terperangah.

Nadia menyenggol lengan Nick, tatapan matanya yang bingung menatap Nick seolah bertanya. “Apa yang mereka lakukan?” Nick tidak mengerti, ia hanya membalas dengan mengendikkan bahunya.

“Selamat datang di tempat ini, Nicholas Stecker” kata yang lain setelah kembali ke posisi semula. Senyum indah terukir di bibir laki-laki berjubah itu, pancaran matanya yang cerah memancarkan keramah-tamahan persis seperti pemandu wisata.

Sekali lagi Nick menyernyit tak mengerti, bagaimana orang itu tahu nama lengkapnya?

Thalia bergerak resah di tempatnya, memutar kepalanya ke kanan kiri namun tetap tak mendapati sesuatu yang di carinya. Ben yang berdiri di sisinya menyadari perubahan itu.

“Ada apa?” tanya Ben penasaran. Thalia hanya membalas dengan memandang resah bola mata coklat sepupunya itu. Sementara Nick tampak mengucapkan sepatah dua patah kata kepada orang itu, Ben masih seksama memerhatikan Thalia yang sepertinya sedang ada sedikit masalah.

“Katakanlah ada apa?” Ben mendesak, nalurinya kuat mengatakan ada suatu yang tidak beres.

“Ehm” Thalia memandang Ben ragu, suaranya terasa kelu sesaat. “Bukunya....bukunya hilang” lanjutnya dengan suara berbisik di akhir kalimat.

Buku Ramalan SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang