5. Jahat, Bodoh, Tidak peduli.

18 5 0
                                    

        Sudah dua hari Rina tidak masuk sekolah setelah hujan saat pulang sekolah bersamaku dua hari lalu. Rasanya membuatku sangat cemas, bukan murni karena kesehatannya, tapi aku yang membuatnya harus berjalan kaki, di bawah payung kecil yang di pakai untuk berdua, dan lagi hujan yang di sertai angin membuat suhu berubah sehingga daya tahan tubuh benar-benar diserang.
     
       Aku duduk di kursiku untuk menunggu bel pelajaran di mulai, sedikit berpikir dan menggunakan sedikit pengetahuanku untuk menelaah kenapa Rina bisa sakit, sedangkan dia mengatakan "maaf ya Ta, tadi aku abis minum vitamin, ini kamu juga minum ya".

Aku yang "juga" meminumnya sekarang dalam keadaan baik. Jika memang dia sakit seharusnya aku bukan "juga meminumnya", tapi "hanya" aku yang minum vitamin itu. Lagi dan lagi dia berbohong.

        Lalu, mengapa dia melalukan itu, melalukan sesuatu yang merepotkan dirinya, sesuatu yang seharusnya tidak perlu. Aku benar-benar terkejut ketika apa yang aku pikirkan dalam spontan menjadi terus aku telaah.

Dua hari lalu saat aku mengambil vitamin dalam kemasan botol kecil, di dalamnya hanya tersisa dua butir. Saat itu kupikir ia benar-benar sudah meminumnya ternyata, dia yang mungkin ingin meminum vitaminnya, melihat hanya tinggal dua butir. Anjuran untuk usiaku dan dirinya adalah dua butir, tidak mungkin menurutnya untuk berbagi. Jadi dia memberikan dua butir vitamin itu kepadaku.

"pagi Arata," sapa Lucy yang tiba-tiba suaranya memecahkan konsentrasiku dan membuat jantungku berdebar.

"i...iiiiyaaa paa... giii, Lucy" jawabku benar-benar gugup

"Rina udah dua hari ya ga masuk, kamu tau ga dia sakit apa?" tanyanya setelah melepaskan tas di pundaknya.

"aku juga ga tau deh," jawabku meski lancar tapi jantungku benar-benar sulit di kontrol, sangat berdebar

"nanti pulang sekolah aku mau jenguk dia, kamu mau ikut ga? Aku juga ga ada teman sih," ajak dia membenarkan rambutnya. Dan itu Sangat mempesona.

"engga sama kak Andi?" tanyaku

"dia lagi sibuk, kan udah kelas 3, jadi gitu deh. Mau ya temani aku, please.." bujuknya dengan mendekatkan pandangannya tepat pada mataku, kini mata bertemu mata yang  berjarak kurang dari sejengkal.

"i......iya" jawabku benar-benar gugup dan sempat menelan ludah karena jaraknya sangat dekat.

"oke aku tunggu di depan gerbang 30 menit setelah bel pulang, Soalnya aku mau makan sebentar sama Andi," katanya dan kemudian pergi.
      
        Tiga puluh menit berlalu hingga satu jam aku menunggu namun tidak ada tanda-tanda kedatangan darinya. Satu jam lebih aku menunggu kemudian dia datang bersamaan dengan Andi yang sedang melempar dan menangkap kunci motornya, sambari mengunyah permen karet.

"Ta, sorry ya, aku ke rumah Rina bareng sama Andi. Soalnya abis itu kita mau makan,"

"oh iyaa gapapa," jawabku memberikan senyuman

"sial, satu jam menunggu yang sia-sia" gumamku ketika mereka beranjak pergi dari hadapanku.
     
       Sore yang melelahkan, pukul 16.00 aku belum sampai di rumah karena menunggunya, tentu sangat kesal dan rasanya ingin memukul Andi. Lucy bilang pada awalnya bahwa Andi sibuk, lalu kemudian Andi mengajak Lucy makan dan mampir ke rumah Rina, itu sangat jelas tindakan bodoh Andi yang tidak menghargai orang lain.

Aku tidak menyalahkan Lucy, karena ketika dia meminta maaf wajahnya nampak merasa sangat bersalah, sedangkan Andi hanya berdiam diri mengunyah permen karet yang padahal sudah tidak ada rasanya. Benar-benar bodoh pria ini.

       Aku beranjak pulang dengan perasaan bimbang. Haruskah aku tetap menahan diri untuk tidak bersikap hangat pada Rina. Dia sudah sangat peduli terhadap semua hal yang berhubungan denganku. Jika aku bersikap hangat padanya, aku sangat takut bila aku akan mencintainya, ini sangat buruk bila terjadi. Nyawaku terikat oleh suatu hal yang di gandrungi kalangan remaja, yaitu cinta.

"besok kalau Rina belum masuk, aku berjanji pada diriku untuk menjenguknya dan memberikan sikap hangat padanya, tapi jika dia masuk, aku akan memberikan perlakuan yang baik padanya," gumamku dalam perjalanan.
       
       Tiba di rumah aku bergegas mandi dan kemudian menyantap makanan yang di hidangkan oleh ibuku. Terdengar suara dering telfon keras sekali, sedangkan ibuku hanya acuh dan seolah tidak peduli.

"handphone ibu kah?" tanyaku

"itu pasti handphone kamu, cek sana" jawabnya
      
       Dua puluh tiga panggilan tak terjawab sejak jam sekolah tadi hingga saat ini, dan ada ratusan pesan masuk. Untung saja aku membisukan suara handphoneku ketika di sekolah. Semua pesan yang masuk dari Rina, "Jahat, bodoh, tidak peduli, kenapa tidak menjengukku?" sebagian besar pesannya hanya ini yang dapat jelas aku baca, sangat menyinggung. Lagi, lagi dam lagi sikapku dingin padanya dengan tidak membalas pesannya.
       
      Aku melanjutkan menyantap masakan ibuku, sembari berbincang mengenai segala hal yang terjadi hari ini. Tapi di sela pembicaraan terlintas di pikiranku bahwa aku akan meninggalkannya suatu saat nanti, namun lebih cepat dari kebanyakan orang.
    
       Menghindar dari cinta cukup sulit, membuatku ragu untuk bisa bertahan hidup. Aku khawatir ibuku tidak ada yang menjaga ketika aku pergi, aku khawatir dia melakukan hal yang tidak-tidak.
      
Bagaimana pun aku harus bisa membuatnya bahagia, tidak membuatnya kecewa dalam waktuku yang tidak lama lagi. Aku harus memberi kesan yang baik padanya.

"apa kamu udah punya pacar Ta?" tanyanya sembari tersenyum

"ha? Kenapa tiba-tiba menanyakan itu? Jawabku panik

"sudah remaja tidak memiliki pacar, apa kamu masih belum bisa move on dari Meira?" sindirnya

      Tak ada pilihan lain, aku harus mengacuhkan semua ungkapan dan pertanyaannya mengenai hal ini, aku tidak ingin dia mengetahui mengenai perjanjian ku dengan dewa kematian.

"jangan kecewakan orang yang peduli padamu ya," lanjutnya dengan mengelus kepalaku lalu beranjak pergi dari tempat makan.

Love In MuteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang