6. Ketika Bahagia Menjemput

10 3 0
                                    

      Hidupku yang begitu monoton, kurasa sudah sedikit memudar, dan secercah kebahagiaan mulai muncul karena kepedulian seseorang yang padahal selalu aku abaikan.

      Cuaca bersahabat pagi ini, kuharap Rina sudah masuk sekolah dan sembuh agar aku tak perlu repot datang ke rumahnya. Ketika sampai dan selepas menerapkan senyum sapa salam kepada para guru di depan meja piket, aku membeli air minum kemasan di mesin minuman yang ada di sekolahku.

     Dalam memilah apa yang ingin ku beli, tentu aku dapat merasakan bila ada orang di belakangku, yang ternyata itu Rina "Syukurlah sudah masuk sekolah" kataku dalam hati dan terus menatapnya memastikan aku sedang tidak bermimpi.

"jahat, bodoh, tidak peduli denganku," ceplosnya berdiri di sampingku

"siapa?" jawabku menoleh dan menatap matanya

"kamu, tentu sangat bodoh," balasnya

"kamu yang bodoh dengan memberikan vitamin itu untukku sedangkan kamu tidak kuat menahan diri, dan akhirnya jatuh sakit. Antibodi kamu tidak sekuat milikku, jadi jangan terlalu sok menjagaku" ceplosku sembari mengambil minuman yang sudah ku beli di dalam mesin minuman, dan kemudian meninggalkannya.
     
        Tentu apa yang aku katakan terus terang dan sedikit menyakiti, tapi itulah usahaku agar dia tidak lagi bersikap demikian. Saat aku berjalan menuju kelas sedikit melirik dia masih berdiri di depan mesin itu sembari menunduk. Mungkin orang lain yang melihat akan berpikir bahwa aku benar-benar kejam, rasa bersalah terus menyelimutiku sepanjang jalan menuju kelas. Dari kejauhan depan pintu kelas aku masih dapat melihat Rina berdiri dan menundukan kepala seperti mengheningkan cipta, tapi entahlah.
     
      Aku menghampirinya sesudah meletakkan tasku, sedikit berlari melalui koridor, dan masih dapat melihatnya dalam keadaan menunduk. Ada wanita seaneh ini yang mungkin mengekspresikan sedihnya lewat hal yang seperti ini. Ketika sampai di hadapannya, aku mengulurkan tangan tepat di depan wajahnya yang sedang mengheningkan cipta.

Melihat sebuah tangan di hadapannya, membuatnya mengangkat kepalanya dan melihat siapa di hadapannya. Matanya memerah dan berkaca, aku terlalu kejam mengatakan hal itu padanya, aku mulai tahu itu adalah caranya menahan tangis. Aku mengambil tangannya dan menggandengnya menuju ke kantin untuk membelikannya tisu dan air mineral.

"aku tau kamu pasti peduli," ucap Rina

"berisik" balasku

"nanti pulang sekolah makan bareng yuk," ajaknya

"baiklah, aku tunggu pukul 3, telat 1menit pun berarti batal,"

"yayayaya huft, dasar tidak sabaran," sambungnya.
     
        Pukul tiga kita bertemu di depan gerbang, meski pun satu kelas, rasanya canggung jika mengatakan soal janji pukul tiga. Pada pukul 14.30 dia sudah keluar kelas dengan tasnya, karena saat jam itu tidak ada guru yang mengisi mata pelajaran.

Ketika bertemu dengannya di depan gerbang, ia menggunakan sweter dan nampak di wajahnya bedak dan buah karya make up lainnya.

"cantik ga?" tanyanya

"ummmm kamu tipe aku," ucapku mendekatkan wajahku dengan wajahnya, sehingga membuatnya mundur hingga mentok pada sebuah dinding sebelah gerbang.

"tipe standar orang yang aku benci," lanjutku kemudian berjalan meninggalkannya
       
         Meski aku berjalan cukup cepat, dia mengejarku di tengah keramaian kendaraan dan pelajar-pelajar lain. Aku selalu mengharapkan dirinya menjauh dan tidak bersikap hangat lagi padaku, kupikir hidup lebih lama adalah pilihan, dan tanggung jawab. Aku tidak ingin membuat dewa kematian membunuhku dengan cepat hanya karena aku terbawa perasaan dan membuat sebuah ikatan saling mencinta.
        
       Aku merasakan larinya, aku mendengar langkah kakinya yang menghampiriku, dengan terus memanggil namaku berteriak, sungguh memalukan. Menoleh pun membuatku sangat malas.

Jarakku semakin jauh dengannya, aku merasa tidak ada lagi hentakan kaki orang berlari menuju arahku, itu sangat memaksaku untuk menoleh dan memastikan apakah dia benar-benar berhenti mengejar.

Nampak dari kejauhan jarakku dengannya, ia sedang dalam keadaan panik dihadapan seorang pria dengan tinggi semapai yang sedang menatap matanya, dugaanku ia menabrak pelajar dari sekolah lain. Wajahnya nampak merasa takut dan merasa terganggu, wajah orang itu sudah benar-dekat hingga kurang dari sejengkal telapak tangan orang dewasa, dengan postur tubuhnya yang tinggi, dia berposisi menunduk untuk bisa menatap mata Rina.
       
"Rina, cepatlah" aku memanggilnya berteriak agar ia pergi dari hadapan pria itu, juga menjadi alibinya agar bisa menghindar. Ketika hampir beranjak pergi, Orang itu menarik lengan Rina kembali ke hadapannya. Tentu tidak tahan melihat Rina merasa takut atau merasa panik seperti itu, membantunya hanya sekadar rasa simpati, bukan mencintai.

Aku berlari dan menghampiri mereka. Aku menarik lengan Rina untuk mengajaknya beranjak pergi,

"yuk, kita makan di sebelah sana aja," kataku sebagai alibi.

"ehhh kita belum kenalan, nama aku Rio, nama kamu?" ucapnya sembari menarik lengan kiri Rina yang tidak kupegang

"ouh saya Arata, salam kenal ya, dahh,

"selaku sembari melepaskan tangan Rina dari tarikannya.
     
       Jauh dari tempat itu, dalam perjalanan aku melihatnya senyum terus menerus tanpa aku tahu apa sebabnya, sangat manis dan imut memandang detail senyumnya. Membuatku berharap tidak boleh ada lagi air mata sampai ke ruas senyumnya.

Tanganku merasa memiliki hasrat untuk menggenggam tangannya erat, dan terus menjadi sebuah alat untuk menjaganya. Sedikit menggerakkan jari kelingking untuk menyentuh tangannya, tak sesuai dugaan yang sulit, ia bergerak lebih awal mengambil tindakan, genggamannya cukup erat, dengan memberikan senyum sebagai bonus.

"Ta, aku semakin mencintaimu," ujarnya dalam perjalanan menuju tempat makan

"sudahku bilang kan, kamu standar orang yang aku benci," balasku

"setidaknya biar kamu tau aja," lanjutnya

"kalau mau aku tetap hidup, jangan mengatakan itu lagi," kataku sembari melepas paksa genggamannya

"kok gitu ngomongnya?" tanyanya bingung

"kita makan pecel ayam aja ya," kataku mengalihkan pembicaraan

"okee, yang penting sama kamu," rayunya
        
      Tidak pernah aku menemukan wanita seagresif ini, tapi percayalah bukan semata-mata dia murahan. Ketika dia bisa bertahan "mencintai dari apa yang dia benci dalam diriku," selama itu dia adalah orang yang sungguh-sungguh cinta.  Kalau menyerah pilihannya, itu artinya perasaan itu tidak sedalam kata-kata rayuannya.

Standar murahan di nilai sejauh apa ia bisa bermain dengan cinta. Jika aku memikiki kehidupan yang normal dan tidak terikat dengan sebuah perjanjian ini, maka aku akan mencoba menanggapinya dengan hati yang begitu tulus.

Love In MuteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang