2

87 25 2
                                    



"Aku akan sarapan di luar, Eomma."

Ucapan yang baru saja keluar dari belah bibir kakaknya membuat Keina seketika tersentak. Ia tahu, bahwa saja kakaknya masih merasa sakit hati karena pertengkaran dengan dirinya kemarin. Selama ini ia sudah terlalu sering mengalah. Pun Ibunya juga sama sekali tidak membelanya. Justru sang Ibu seringkali menyalahkan dirinya. Bahkan ketika kakaknya sekalipun.

"Kau bisa makan bersama dengan Eomma. Aku yang akan sarapan diluar." ucap Keina sembari beranjak dari duduknya. Padahal perutnya baru terisi sesendok nasi. Ia juga yang telah bangun pagi guna menyiapkan sarapan untuk keluarganya.

"Kalian berdua duduklah dan makan bersama." ucap Nyonya Han pada kedua anaknya.

"Taehyung Oppa, sedang tidak ingin melihatku. Tak apa, kalau begitu biar aku sarapan di luar."

"Kau bahkan belum meminta maaf atas kesalahanmu kemarin."

Keina tersenyum. Meskipun kini hatinya merasakan sakit yang luar biasa. Begitu sesak, seakan ada sesuatu yang menghimpitnya dengan sangat kuat. Bahkan kakaknya yang terlebih dulu memulai semuanya. Kenapa harus selalu dirinya yang meminta maaf dan terus saja mengalah. Apa karena ia anak kedua. Oleh karena itu ia harus selalu menghormati anak pertama.

"Kenapa harus aku yang selalu meminta maaf? Bukannya kau dulu yang memulainya?"

"Keina," bentak sang Ibu, hingga membuat Keina seketika tersentak, "Duduk dan lanjutkan makan mu."

Kenapa selalu dirinya yang seringkali mendapat bentakan dari Ibunya. Sedangkan ketika berbicara dengan Anak pertamanya, sang Ibu selalu berbicara dengan sangat lembut. Semenjak Ayahnya meninggal hidupnya semakin terlihat begitu menyedihkan. Tak ada lagi yang melindungi dan membelanya. Seharusnya Taehyung menggantikan peran Ayahnya. Bukan malah memusuhi dirinya karena delapan puluh persen warisan jatuh ke tangannya. Sang Ayah tahu jika kakaknya sangat boros dalam keuangan. Terlebih lagi Taehyung dulunya sangat suka bermain judi. Mungkin Ayahnya takut jika Taehyung menyalahgunakan harta warisan untuk kepentingan pribadinya.

"Aku sarapan diluar saja, Eomma."

Setelah mengatakan hal tersebut. Lantas Keina melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruang makan. Dengan mata berkaca-kaca menahan rasa sesak di dadanya karena perlakuan Ibu dan Kakaknya. Ia melangkahkan kakinya keluar dari dalam rumah. Mungkin ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kedai miliknya. Kedainya mulai buka pukul sepuluh siang. Dan biasanya ia akan sampai di kedai pukul delapan. Namun, untuk saat ini mungkin berada di sana lebih baik. Ketimbang ia harus berada di rumah yang seringkali menyuguhkan rasa sakit untuknya. Semenjak Ayahnya tiada ia mencoba untuk tetap bertahan di tengah rasa sakit yang seolah menghantamnya dari segala sisi.

Sebelum masuk ke dalam mobil. Keina mengeluarkan ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana. Ia mengirim sebuah pesan kepada teman baiknya. Mencoba mengingatkan Jimin, jika saja nanti sore Pria itu akan mengantarkannya ke makam sang Ayah. Jika bukan Jimin, lalu siapa lagi. Hanya Pria itu yang bisa mengerti dirinya. Pun Jimin selalu ada di sampingnya. Disaat ia merasa terpuruk, Jimin yang menghiburnya.






🍁🍁🍁🍁




Jimin menepati ucapannya dengan mengantar Keina untuk pergi ke makam Ayahnya. Mungkin ini akan menjadi pertemuan mereka berdua untuk yang terakhir kalinya. Sebab, setelah ini Jimin akan mencoba untuk menjauh dari gadis yang begitu dicintainya tersebut.

Keina menaruh sebuket mawar merah diatas makam sang Ayah. Jimin menatap hal tersebut dengan air mata yang berkaca-kaca. Sama halnya dengan Han Keina, ia juga sudah tak memiliki Ayah. Saat usianya delapan tahun Ayahnya meninggalkannya untuk selamanya. Hidup tanpa adanya seorang Ayahnya adalah hal yang sangat berat.

"Appa. Aku datang bersama Jimin lagi. Hanya dia yang mau menemaniku saat aku sedih."

Jelas saja ucapan itu terdengar oleh Jimin. Hal itu membuat Jimin semakin merasa sedih. Setelah ini siapa yang akan peduli dengan Keina. Siapa yang akan mengantarkannya berpergian.

Melihat Han Keina menangis membuat hati Jimin seakan teriris. Ia mengetahui masalah keluarga yang dihadapi oleh Keina saat ini. Termasuk Kakak kandung Keina yang begitu membenci gadis manis tersebut. Belum lagi Ibunya yang seringkali membelanya kakaknya ketimbang Keina.

Rasanya begitu berat bagi Jimin untuk meninggalkan Han Keina. Terlebih keduanya telah lama bersama selama enam tahun lamanya. Semenjak keduanya putus, keduanya sempat berpisah dalam waktu yang lama. Sampai pada akhirnya saat Keina baru saja lulus dari Senior High School keduanya dipertemukan kembali di sebuah kedai ice cream. Saat itu Jimin yang pertama kali menyapa gadis manis tersebut saat tengah duduk seorang diri dengan ditemani semangkuk ice cream dengan rasa cokelat. Paras cantik Keina dengan mudah membuat Jimin kembali merasakan debar di dalam dadanya. Lalu ia memberanikan diri untuk meminta nomor telepon gadis manis tersebut.

"Kalau kau sedih, nanti Appa mu juga akan sedih."

Keina mengangguk. Lantas menghapus air matanya menggunakan punggung tangannya. Ia masih bertahan sejauh ini karena masih ada Jimin yang selalu memberinya semangat. Pria itu juga yang selalu ada disampingnya. Ia begitu takut kehilangan Jimin dari dalam hidupnya.

"Appa sudah tenang di sana, kan? Jadi aku tidak perlu bersedih lagi."

Jimin mengangguk.  Lantas memberikan elusan lembut pada punggung Han Keina. Mungkin saja ini akan menjadi sentuhan terakhirnya. Karena setelah ini ia akan benar-benar menjauh. Sebab, jika terus bersama perasaan yang ada di dalam hatinya tidak akan pernah bisa untuk pudar. Harapannya ketika ia menjauh, perasaan cintanya perlahan memudar dan ia bisa menyematkan nama gadis lain di dalam hatinya. Seperti keinginan sang Ibu yang ingin ia menikah karena usianya yang tak lagi muda.

"Dia sudah bahagia di sana. Tidak merasakan sakit lagi." ucap Jimin yang langsung mendapat anggukan dari Han Keina.

"Aku tidak perlu merasa khawatir ketika karena kau selalu ada bersamaku." ucap Keina sembari meraih tangan kanan Jimin untuk digenggamnya. Meskipun ia tidak mendapatkan rasa sayang dari kakaknya. Namun, ia bisa mendapatkan hal tersebut dari Jimin. Pria itu selalu khawatir akan dirinya. Sebisa mungkin Jimin selalu ada untuk melindunginya. Oleh karena itu, selama Hwang Jimin masih bersamanya hal itu mampu menjadikan semangat untuk dirinya bertahan hidup ditengah rasa sakit yang seringkali menghampiri.

Jimin hanya mampu terdiam ditengah ketidakmampuannya untuk berkata-kata. Sebab, setelah ini ia akan benar-benar menjauh dari gadis yang dicintainya. Ia meminta maaf kepada Tuhan karena tidak dapat menepati ucapannya kepada Han Keina.

"Kau tenang saja. Aku akan menjagamu."

Masih teringat jelas dipikirannya akan kata-kata yang terucap dari belah bibirnya untuk Han Keina. Saat itu, Keina tengah menangis tersedu-sedu karena merasakan rindu kepada Ayahnya. Dan Jimin menyuruh gadis itu untuk berhenti menangis sebab ia akan menggantikan peran Ayahnya untuk menjaganya.

Mengapa Kau Pergi? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang