Sampel 2: Apartemen

177 27 3
                                        




Hari ketika empat orang yang saya yakini sebagai keluarga melangkahkan kaki ke dalam, pikiran pertama yang muncul adalah mungkin aja saya bakal ditempati sama keluarga baru setelah ditinggalkan oleh keluarga penghuni lama yang sebentar lagi harus pindah ke luar negeri. Laki-laki yang saya yakini sebagai ayah kelihatan senang, begitu juga dengan perempuan, yang kayaknya sih ibu, sedang merangkul anak laki-lakinya yang juga keliatan sumringah. Berbanding terbalik sama anak perempuan dengan kerutan di dahinya yang kentara banget. Mungkin dia enggak suka saya, mungkin juga tadinya dia lebih memilih apartemen lain dibanding saya.

Tetapi, hari-hari setelah itu menunjukkan kalau keyakinan saya salah. Orang tuanya enggak pernah datang lagi, begitu juga dengan adik perempuannya yang cantik itu. Jadi saya mengasumsikan, saya memang dibeli untuk diberikan kepada Si Anak Laki-Laki, namanya Arka kalau enggak salah.

Malahan, yang lebih sering datang malah perempuan yang kira-kira seumuran dengan Arka dengan rambutnya yang hampir selalu digulung dengan jepit. Mereka sering berantem di sini, tetapi itu bukan masalah besar.

Yang justru jadi masalah adalah ketika Arka juga sering membawa teman-teman berisiknya atau perempuan lainnya ke dalam saya. Saya jelas bisa ngelihat mereka ngapain aja dan itu membuat saya enggak pernah berhenti mendengus dan memilih untuk menaruh fokus ke ruangan-ruangan lainnya karena saya enggak kuat menonton dan mendengar berisiknya sekumpulan anak laki-laki yang masih lengkap dengan seragam sekolah membicarakan A sampai Z. Memangnya anak SMA jaman sekarang senakal itu? Saya bisa aja mengajak teman-teman gaib untuk membuat Arka jadi enggak nyaman dan pergi dari sini, tapi sayangnya, saya enggak setega itu.

Pernah suatu hari, saya sudah membuat janji dengan teman-teman gaib untuk mengusir laki-laki kecil yang satu ini, mereka semua juga udah setuju. Tetapi ketika Arka pulang, yang saya dapati bukan lagi dia dan segerombolan teman sekolah ataupun teman perempuan sebaya yang ternyata adalah saudaranya, melainkan hanya dirinya sendiri. Dia yang langsung menghempaskan badannya di atas sofa dan melempar tasnya ke lantai. Enggak butuh waktu lama sampai saya mendengar isakan tangis yang menggiring saya untuk membatalkan semua perjanjian yang telah dibuat.

Di balik semua jiwa muda yang enggak cocok sama saya, Arka tetep aja anak dari ibu dan ayah yang waktu itu. Tetap anak SMA yang belum sepenuhnya dewasa. Bahkan sampai sekarang, saya enggak tau alasan tentang kenapa dia bisa sesedih itu karena dia enggak pernah cerita kepada siapapun. Malahan ketika adiknya, Anja, datang keesokan harinya, Arka sudah kembali jadi Arka yang biasanya. Atau beberapa hari setelahnya ketika dia kembali membawa pacarnya ke dalam ruangan.

Lagi, saya enggak bisa membiarkan teman-teman gaib untuk mengganggu Arka karena yang terjadi keesokan harinya malah dia yang datang sambil membopong Anja, megangin kepalanya, dan masuk ke dalam kamar lantai bawah.



"Lagian kenapa bisa sakit sih?"

"Kayaknya gara-gara enggak makan."

"Emang mbak ke mana?" Tanya Arka lagi, sambil nempelin entah apa di atas dahi adiknya yang udah tiduran di atas kasur itu.

Anja menggeleng, "kan mbak pulang kampung."

"Delivery lah?"

Mencebik, "gue enggak ada cash."

"Mereka nerima debit, Anja."

"Demi apa?"

Kalau saya enggak salah ingat, Arka langsung ngatain adiknya yang langsung dibalas dengan pukulan ringan di lengan.

"Lo mau makan apa?"

"Sop!"

"Ok—"

"Tapi lo yang bikin ya!"

Dan kalau aja apartemen bisa terharu, mungkin saya udah nangis saat Arka ngabulin permintaan adiknya itu. Walaupun berkali-kali ngeliat handphone dengan kedua tangan di pinggang dan muka yang bersungut-sungut karena (mungkin) rasanya yang enggak pas, makanannya tetap jadi dan Anja sangat senang. Seumur-umur, saya enggak pernah melihat perempuan manapun sesenang itu.



Sejak saat itu, saya gak pernah punya pikiran untuk bikin janji lagi dengan teman-teman gaib, melainkan jadi saksi hidupnya Arka yang beraneka ragam itu. Mau tentang dia dan pacarnya, dia dan adiknya, dia dan saudaranya, dia dan teman-teman berisiknya, dia dan orang tuanya yang disambut dengan canggung pada suatu hari di bulan November, dan dia sendiri.

Dia sebagai Arkananta yang seutuhnya.

Dia sebagai Arkananta yang seutuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







🥀
a.n
#StrayKids1stWin 🎉🙌🏼

How I Saw YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang