Chapter 4

235 5 1
                                    



Saat mencapai pagar, kulihat dua satpamku membukakan pagar dengan sigap dan juga membungkuk sopan. Aku menatap Munif yang duduk di sampingku, sepertinya dia rada gugup, "Santai aja sob, gak usah tegang gitu.." ucapku sambil meninju bahunya pelan. Dia melengkungkan bibir tipisnya. Hidung dan rahangnya yang tegas terlihat jelas dari samping.
Jadi setelah Munif selesai berdagang aku mampir ke rumahnya, awalnya dia menolak keras bahkan membentakku. Tapi aku ngotot, mana bisa Nathan dilawan.
Dia hanya bisa diam saat mobilku membuntutinya dari belakang, aku sempat nyaranin dia naik saja ke dalam mobil biar gerobaknya ditarik. Tapi dia keras kepala.
Aku sangat takjub melihat jarak antara lapak dan rumahnya yang cukup jauh. Begini kah keseharian Munif? Sejauh ini kah jarak yang harus dia tempuh. Aku salut.
Rupanya rumahnya berada di desa pinggir kota, ya semi kota gitu lah.
Rumahnya diberi cat hijau keseluruhan sehingga terlihat asri, ada banyak tanaman dan juga kucing, ukurannya tak terlalu besar namun ada ruang tamu walaupun kosong tanpa perabotan, hanya ada kamar dan juga dapur.
Sebelumnya dia meletakkan gerobaknya di samping rumah dan memberesi bawaannya, aku hanya duduk bersendar di dinding karena dia menolak keras untuk kubantu.
Meskipun tanpa perabotan, tapi ruang tamu itu penuh dengan foto-foto. Terlihat ada foto dua orang anak bersama orang tuanya, "Nif, nih ortu sama adek lu?" tanyaku saat melihat Munif yang lewat membawa panci.
Dia hanya diam, ya dari awal dia kalau membahas masalah pribadi susah banget.
Aku kembali menatap foto munif yang seumuran anak SMP dan adeknya yang masih umuran SD. Aku meneliti nih foto, kayanya gak asing.. Siapa ya? Ah salah ingat mungkin.
"Kamu mau minum apa, Nathan?" tanya Munif.
"Gak usah bro, lu mandi aja dan dandan yang rapi biar kita cepetan kerumah.."
Munif menyunggingkan senyum sebelum menghilang dari pandangan, "Dikata cewek, dandan.." cibirnya.
-Munif POV-
Bulir-bulir keringatku menetes saat melihat betapa besarnya rumah yang lebih pantas disebut istana ini. Sebelumnya tak pernah sedikit pun terbesit dalam benakku untuk melangkahkan kaki ke sebuah istana, tapi sekarang? Ini nyata ada di depan mata.
Nathan membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkanku, aku gugup. Apa yang harus aku lakukan ataupun aku ucapkan pada orang tuanya Nathan? Ada sedikit kekhawatiran di dalam benakku akan pencitraan orang kaya.
Selama ini orang kaya itu setauku sombong dan tak punya sopan santun tapi firasatku salah, begitu masuk ke dalam rumah orang tua Nathan menyambutku dengan hangat, memelukku bahkan ibunya menciumi kedua pipiku.
Aku canggung tapi aku langsung sungkem, memberikan respect sebisaku. Mereka tersenyum lebar, "Wah ini ya teman yang diceritain Nathan selama ini. Sangat gagah dan sopan, kalau ada anak perempuan pasti tante jodohin.." kata ibunya Nathan sambil mencolek daguku. Aku tersenyum canggung.
"Ayo ayo, nak. Ke ruang makan, kami sudah menyajikan makanan terbaik kami.." ucap ayahnya Nathan.
Kami bercengkrama sejenak, mereka keluarga yang supel ditambah Nathan yang suka ncrocos apa adanya membuat suasana makin rame, rupanya nama orang tua Nathan itu Tante Siska dan Om Franz.
Awalnya aku sangat sungkan tapi mereka sangat menghormatiku sehingga membuatku merasa kalau sekarang aku seperti berhadapan dengan sebuah keluarga sendiri. Syukurlah Tuhan masih menyisakan orang kaya yang murah hati di kerumunan orang-orang berhati sombong.
Tante Siska tersenyum lebar mulai mengintrogasiku, "Nak Munif, kesibukannya apa saja?"
Aku terdiam sejenak, bagaimana ya? Apa mereka akan tetap respect ketika mengetahui aku hanyalah mahasiswa yang berprofesi sampingan sebagai penjual bakso? Tapi bagaimana pun kejujuran itu hal yang sangat berharga di zaman sekarang, aku mencoba menjawab apa adanya. Toh jika mereka jijik terhadapku berarti kami memang tak ditakdirkan saling berhubungan.
"Aku kuliah di jurusan psikologi tante, kerja sambilan juga jualan bakso kalau pulang kuliah.."
Tante Siska dan Om Franz memandang takjub sambil ternganga, "Yaampun, hebat sekali pemuda tampan kaya kamu rela jualan bakso, memang orang tuamu kerja apa, Nak Munif?"
"Orang tua saya sudah meninggal lima tahun lalu saat ada bencana alam, jadi saya terpaksa bekerja sebisa mungkin untuk menempuh pendidikan.." ucapku dengan nada tenang dan senyum tipis.
"Yaampun, Nak. Tante minta maaf ya? Tante gak tau.."
"Gapapa Tante.."
"Eh jadi lu kuliah Nif? Pantesan lu gak kaya abang bakso biasanya haha.."
Suasana kembali cair dengan tawa disela makan kami, "Semester berapa Nak?" tanya Om Franz.
"Naik semester tiga Om.."
Om Franz terlihat geleng-geleng, "Hebat kamu nak, walau hanya berjualan bakso dan tak ada yang merawat tapi mampu berkuliah.. Bagaimana kalau kamu tinggal bersama kami saja? Nathan sendirian, kasihan. Rumah ini pasti akan terasa lebih ramai jika Nathan memiliki seorang kakak.."
Aku tersentak kaget, bagaimana bisa mereka percaya aku secepat ini? "Maaf Om, bukannya tak menghargai iktikat baik anda, hanya saja saya tak mau merepotkan orang lain. Saya kan hanya orang asing, lagi pula dengan adanya beasiswa tiap semester dari pemerintah saya masih mampu membayar segala keperluan kuliah saya. Berkerja hanya untuk simpanan maupun konsumsi saya.." ucapku seramah mungkin.
Om Franz mengangguk-angguk dan tersenyum. Tante Sisca mulai menyambung, "Yaampun nak, jangan menganggap dirimu orang asing. Anggaplah kami keluargamu. Kau tau? Nathan sangat jarang membawa temannya. Pernah sih waktu itu bawa dua temannya tapi mereka tak sopan jadi saat itu kunjungan pertama dan terakhir mereka. Beda sekali dengan nak Munif yang ramah dan sopan, kami sangat senang anak kami berada disisi orang yang tepat.." ucap Tante Sisca panjang lebar.
Rasanya hatiku mengembang, aku tak pernah dihargai sejauh ini sebelumnya, aku menoleh ke arah Nathan yang juga menatapku, aku harus berterimakasih padanya karena membawakan kembali kehangatan keluarga yang lama tak kurasakan.
Aku berusaha makan secukupnya walaupun tante Siska terus menerus menambahkan nasi ke piringku maupun lauk pauknya yang berlimpah, sungguh bagaikan di surga. Berada di meja makan besar dengan hidangan yang luar biasa, seperti acara hajatan saja. Padahal hanya kami berempat yang berada di atas meja makan.
Setelah selesai makan aku di bawa ke ruang keluarga, bercengkrama dan bercerita lebih mendalam hingga kami lebih mengenal satu sama lain. Kekeluargaan pun makin kental terasa. Orang tua Nathan sangat serasi dan juga mesra, beda sekali dengan apa yang diceritakan Nathan saat pertama kali kami bertemu.
Mereka yang sekarang jauh lebih perhatian.
Di ruang keluarga pun makanan tak kalah banyak, lagi-lagi disodorin makanan, ada berbagai cemilan yang mengingatkanku akan lebaran. Tapi bukan di rumahku, karena di rumahku biasanya walaupun lebaran tak mampu menyediakan apapun.
Aku bercanda dan tertawa bersama Nathan, dia nakal sekali. Suka sekali menjahiliku sehingga kami jadi bertengkar layaknya kakak-adik, orang tua Nathan tergelak tawa.
"Melihat keakraban kalian, Tante jadi sangat ingin mengadopsi nak Munif.." ucap Tante Siska.
Aku hanya tersenyum simpul tanpa menjawab. Nathan sangat beruntung, tak munafik aku juga mengharapkan keluarga yang seperti ini.
"Nak, sudah tengah malam. Ayo kalian tidur.."
"Oh ya, Om, Tante, Nathan. Maaf saya jadi lupa waktu karena kehangatan keluarga ini. Saya pamit pulang dulu.."
"Jangan Nak, menginap saja dulu.. Ini sudah malam.." ucap Tante Siska.
"Iya Nif, ngapain lu pulang.. Gue sengaja kali nyulik lu haha.. Disini aja ya, semalam aja deh gapapa..."
"Maaf, saya tak enak.."
Om Franz tersenyum hangat, "Gak usah sungkan, kami sudah menganggapmu bagian dari keluarga nak.." ucap Om Franz.
Aku terdiam kaku, hingga akhirnya menyerah saat Nathan menyeretku ke kamarnya.
"Munif, tuh remot TV kalau lu mau nonton, gue mandi dulu ya.." ucap Nathan sambil melucuti pakaiannya di depanku.
Deg..
Astaga, jangan disini.. Birahiku bisa bangkit kalau dia telanjang disini. Aku terpukau menatap tangan kokohnya yang mulai mengangkat baju, kulitnya kekuningan dan sangat bersih dengan perut datar, ukuran tubuh sedang untuk ukuran remaja. Tapi sungguh menggoda untuk dijilat.
Astaga, apa yang aku pikirkan! Bukankah aku sudah berjanji untuk keluar dari dunia gay ini, aku tak mau kejadian itu terulang lagi.
Aku melemparkan guling ke tubuh Nathan, "Hoi apa-apaan lu.." protesnya saat memulai menurunkan celana.
"Telanjanglah di dalam kamar mandi, aku tak biasa melihat pemandangan porno," ucapku ketus.
Akhirnya Nathan pun masuk ke dalam kamar mandi walaupun dengan mulut yang monyong-monyong. Aku tersenyum geli.
Aku menatap ruangan, Nathan. Didominasi warna hitam dan sedikit warna putih, jadi mengingatkan rumah Ahmad Dani. Tapi dindingnya penuh dengan poster-poster anime dan juga banyak figura seperti ultramen dan kamen rider di dalam lemari khusus. Rupanya dia otaku.
Di bawah TV aku melihat ada rak yang isinya full dengan kaset PS, di samping kanan ada kaset DVD holliwood dan di sebelah kiri ada banyak kaset anime.
Aku tersenyum tipis, seleranya lumayan juga. Saat aku terbengong menatap setiap fasilitas kamar ini, muncullah Nathan dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk kecil di pinggangnya, wangi sabun yang segar menyeruak, tubuhnya yang mulus masih ditetesi butiran air, dengan rambut basah acak-acakan. Why he look so sexy?
Aku menelan air liur karenanya, dia sendiri berjalan acuh ke arah lemari, memakai CD kemudian melemparkan handuknya ke arahku. Terlihat ada sebuah gundukan ukuran sedang dibalik CD coklat itu, Dia berbaring ke kasur, "Mandi gih.. Aku tidur duluan.." ucapnya sambil memeluk guling dan menarik selimut.
"Wa-wait.. Aku tidur seranjang denganmu?" tanyaku khawatir.
"Iya.. Ranjang ini besar kali.. Jangan ngeremehin deh.."
Aduh bukannya ngeremehin tapi otomatis nanti kulit kami bergesekan, "Kau hanya memakai CD?" desisku.
"Yoa.. Gue biasa gini kok kalau tidur."
Oh God... Siksaan neraka pun dimulai ketika aku harus menahan nafsuku sekuat mungkin sepanjang malam.
------
Mataku mulai terbuka saat melihat cahaya dari kaca, rupanya sudah pagi. Tante Siska tersenyum lembut setelah membuka gorden dan keluar kamar.
Oh God.. Aku shock berat saat menemukan Nathan yang posisinya memeluk dadaku, shit.. ilernya menempel kesana-kemari and.. Wait? Aku merasakan sesuatu yang basah di bawah..
Kubuka selimut dan benar saja, kasur penuh ompol dan bau pesing. Siapa nih yang mimpi basah

~Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bakso Nano-NanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang