Kemerdekaan

78 3 0
                                    

Bab 1.

17 Agustus 1945. Jumat pagi yang cerah. Namun kini, keadaannya cukup rawan. Aku telah mendapatkan informasi yang cukup dan layak untuk dipertanggung jawabkan. Sebuah agenda besar akan digelar di sebuah rumah, yang dalam ingatanku ukurannya tidak terlalu besar.

Menurut informasi, agenda tersebut akan dilaksanakan pukul 10 pagi. Tidak jauh, aku berjalan beberapa ratus meter dari rumah menuju tempat yang dimaksud. Pemilihan lokasi tersebut tidak terlepas dari peranan istriku. Dia telah memilihkannya untuk tempat tinggal Bung Karno sekembalinya dari pembuangan.

Pegangsaan Timur nomor 56. Rumah yang tidak begitu luas dengan arsitektur sederhana. Begitu juga dengan diriku. Hanya berbekal kemeja putih sederhana, tanpa tersemat bintang, yang memang tak pernah aku miliki. Aku terus melangkah menuju barisan para pemuda.

Setiap langkah yang digunakan untuk menuju tempat tersebut, memberikan gambaran masa lalu perjuanganku. Sudah dua puluh sembilan tahun rasanya sejak awal memasuki cita-cita ini. Sebuah puncak dari semua perjuangan dan doa leluhur terdahulu. Tidak.. Tidak.. Rasanya ini lebih daripada sebuah perjuangan pribadi. Aku yakin ini adalah awal dari perjuangan bagi bangsa. Ya, satu langkah ini adalah milik mereka yang telah susah payah menanam tanaman bagi bangsa. Langkah lainnya milik mereka yang sudah mengeluarkan keringat untuk pembangunan sejak Hindia Belanda hingga Indonesia. Langkah selanjutnya untuk seluruh harapan dan syukur yang meletus dalam proklamasi kemerdekaan ini.

Sudah dua persimpangan aku lewati dengan langkah serius penuh harapan. Aku belum melihat begitu banyak perubahan. Sepeda masih hilir mudik mengisi pagi, polisi lokal yang sudah mulai berjaga dalam pakaian dinasnya, dan aku melihat pergerakan dari beberapa kelompok masyarakat yang berkaos oblong dan celana pendek mengarah ke satu tujuan yang sama seperti tujuanku. Memang tidak terlihat adanya pergerakan masif dari laskar-laskar pemuda yang begitu riuh dalam barisan yang ramai menutup jalan, Tapi aku yakin mereka akan datang.

Rencana awal adalah pelaksanaan di Lapangan Ikada, aku tak paham betul alasan pemindahan, tapi aku rasa semua rencana ini sudah ditimbang dengan matang. Aduhai, kesejukan lapangan Ikada dan taman-taman paginya itu selalu nikmat aku pandang dalam benak selama perjalananku. Tidak pernah bosan aku mengingatnya.

Seratus meter terasa seperti empat puluh lima tahun berjalan. Tidak dengan senjata dan bedil. Aku terus berjalan dengan senjata dalam kepala, Ilmu pengetahuan dan keyakinanku. Memerhatikan setiap pria dan wanita yang busung, bocah yang telanjang, dan memang tidak jarang aku melihat kekumuhan dalam trotoar ini. Sebagai seorang rechtskundige tentu aku paham betul semua aturan dalam hukum tertulis. Teori-teori sudah aku lahap dalam kepergianku hingga ke negeri Eropa. Tapi aku tidak habis pikir dalam kemelaratan yang ada di sekitarku. Setidaknya hari ini adalah hari yang bisa mengubah perut kedua pasangan busung itu menjadi kenyang dengan syukur, dan bocah telanjang tadi terselimuti dengan harapan yang akan kami bangun bersama. Percayalah pada kami yang akan meliputi semua gerak dalam langkah kemerdekaan ini. Kemerdekaan yang telah diimpikan oleh semua lapisan. Dari yang paling elit sampai yang paling tidak berpenghasilan. Semua dalam satu keinginan yang sama.

Kehadiranku tidak menjadi kehadiran yang pertama. Sudah ada Bung Maramis, dan Kyai Masykur diantara teman-teman yang lainnya. Ya, aku rasa mereka telah banyak perhitungan untuk melaksanakan semua ini. Meskipun dalam kondisi genting di masa perang ini.

Berdiri tepat di sebelah Bung Karno yang sedang bersiap memulai pidatonya, adalah temanku di Leiden, Belanda. Ketika itu kami bersama-sama membangun Perhimpunan Indonesia untuk menghimpun gerakan solidaritas mendukung kemerdekaan bagi bangsa kami. Ya, kali ini ia sedang memainkan perannya sebagai salah seorang proklamator.

Selama ini tidak pernah aku merasa gemetar begitu hebat saat berdiri, sampai pada hari ini, hari yang aku sebut sebagai langkah berani bagi bangsa. Hampir saja aku terkulai dalam tangis saat mendengar pidato pembukaan oleh Bung Karno.

Jejak Lumpur di Dalam Koper TuaWhere stories live. Discover now