2. Regret

6.1K 340 45
                                    

Namaku Boruto, usiaku 8 tahun. Aku memiliki seorang ibu dan adik. Ibuku, namanya Sasuke—ia memiliki paras yang manis, tapi ibuku jarang berbicara ataupun tersenyum. Adikku, namanya Sarada dan usianya 5 tahun. Sarada sangat mirip dengan ibuku, tapi sayangnya adikku ini berkebatasan mental. Kemampuan otaknya dalam merespon sangat lambat, selain itu terkadang bicaranya agak tidak jelas. Orang bilang adikku itu cacat, tapi aku tidak berpikir seperti itu. Sarada hanya lemot.

Kami bertiga tinggal di apato 2LDK sederhana yang kami sewa. Untuk membiayai kehidupan, ibu bekerja di cafe yang cukup terkenal di pusat kota. Ia selalu berada di dapur mencuci piring, membersihkan dapur dan kafe atau sekedar bantu-bantu masak. Sedangkan aku, mengantarkan pesanan dan mengelap meja. Terkadang aku juga melayani tamu. Banyak orang memujiku pintar karena sudah bisa membantu ibuku padahal usiaku masih kecil. Hal itu membuatku semakin bersemangat.

"Ada sisa es krim?" tanyaku pada Ino-san.

Kafe ini memiliki stand es krim dengan pernak-pernik lucu yang menjadi ciri khas-nya. Es krimnya juga enak dengan banyak varian, dan harganya terjangkau. Stand ini menawarkan diskon setiap hari sabtu dan minggu, sehingga cafe selalu ramai pada hari weekend. Terkadang aku meminta sisa es krim untuk diberikan kepada Sarada. Adikku suka eskrim, tapi ibuku tak punya uang untuk membelinya.

Ino-san mengangguk semangat, kemudian meletakkan beberapa cone es krim cokelat ke dalam mangkuk plastik dan menyerahkan kepadaku. Ino-san tidak pernah ingin menerima uang dariku. Ia adalah wanita yang sangat baik. Ia bilang es krim itu akan rusak jika tidak dihabiskan dalam sehari.

"Sarada! Nii-chan bawakan es krim!" Aku berteriak riang saat masuk ke bagian dapur di tempat ibu dan Sarada berada. Biasanya Sarada akan memiringkan kepalanya imut lalu menerjangku dengan kuat. Sarada selalu senang jika aku membawakan es krim. Tapi sekarang adikku sedang tidur siang.

Aku menyimpan mangkuk es itu ke dalam kulkas kecil agar tidak meleleh. Ibuku sedang bekerja, meskipun pekerjaannya terkesan sepele, tapi ia selalu sibuk setiap hari. Ibuku juga mudah kelelahan, dan ia bersikeras tidak ingin istirahat. Ia sangat keras kepala.

Aku melihat ibuku sedang mencuci piring yang setumpuk. Hari ini cafe sangat padat pengunjung sehingga pekerjaan ibuku sangat banyak. Setelah ini ia masih harus membersihkan dapur sebelum kami pulang. Aku selalu memperhatikan jemari putihnya yang lentik mengerut akibat terlalu sering terkena air cucian, tapi ia terlihat tidak peduli. Ia tak pernah memperhatikan penampilannya, meskipun menurutku ia selalu cantik tanpa polesan apapun.

Ngomong-ngomong, aku tidak punya ayah. Aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya. Ibuku tidak pernah memberitahuku, apakah ayahku sudah meninggal atau dimana. Ibuku orangnya sangat tertutup, bahkan jarang berbicara pada kami, tapi ia selalu menunjukkan kasih sayangnya yang dalam. Aku tahu ia sayang padaku dan Sarada karena setiap hari ia selalu bekerja keras demi kami.

Saat perayaan hari ayah di sekolah, teman-temanku membawa ayah mereka dengan senyuman cerah. Aku iri. Aku mengatakan pada mereka kalau aku tidak punya ayah, tapi Mitsuki menyelanya.

"Bagaimana kau bisa ada di dunia ini jika kau tidak punya ayah?" kata Mitsuki waktu itu. Aku terdiam, benar juga kata Mitsuki. Aku dididik mandiri oleh ibuku, tapi aku masihlah anak kecil yang menginginkan figur seorang ayah. Aku selalu penasaran bagaimana wajah ayahku. Aku juga berbeda dengan anak kecil lainnya, karena aku setiap hari selalu bekerja. Aku tidak pernah punya mainan atau pergi ke game centre. Padahal itu kesukaan anak seusiaku.

Aku ingin sekali merasakan kehangatan suasana keluarga kecil di rumah kami. Ada ayah, ibu, aku dan adik. Sejak saat itu, aku selalu memikirkannya. Tentang ayahku, dimana ia dan mengapa tak bersama kami. Tapi ibuku enggan memberitahu. Aku tidak menyerah bertanya padanya.

Fairy Tale (NS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang