1.

1.1K 112 23
                                    


Arunika Kala


Empat tahun terakhir membuatku sadar bahwa pertanyaan 'asalnya dari mana?' adalah pencetus obrolan yang paling sering diutarakan antar dua individu asing. Sebuah pick-up line yang wajib terucap, apalagi saat bertemu dengan pelancong sepertiku.

'Asalnya dari mana?' mungkin bukan pertanyaan yang sulit. 'Jakarta' biasanya langsung kujawab, tanpa jeda, tanpa pikir. Namun saat pertanyaan itu terlempar dalam wujud lain berupa 'rumahnya di mana?', otakku seakan berhenti bekerja. Masa kecil di memoriku adalah tentang berpindah dari tempat satu, ke tempat lainnya. Tuntutan pekerjaan Bapak, begitu yang selalu Ibu bilang. Nggak heran aku jarang punya teman masa kecil. Ya bagaimana bisa? Belum sempat mengeluarkan barang dari dalam kardus cokelat, aku sudah harus pindah lagi. Apalagi urusan yang butuh effort lebih seperti cari teman?

Beranjak remaja, pekerjaan Bapak mulai lebih stabil. Beliau naik pangkat, dan ditempatkan di kantor pusat di bilangan Sudirman, Jakarta, untuk kurun waktu yang cukup panjang. Aku jadi bisa menghabiskan tiga tahun masa SMA hanya di satu sekolah, bukan tiga seperti sebelumnya. Ibu pun akhirnya bisa kembali bekerja kantoran seperti yang sudah ia dambakan sedari dulu, sibuk sejak pagi hingga malam.

Fase adolescent mungkin, entahlah, tapi memang saat remaja aku lebih memilih untuk berlama-lama di luar hingga petang tiba. Karena menghabiskan waktu dengan Aleya, Seno, Rega, atau Gerry ternyata lebih menyenangkan ketimbang menyendiri di kamar. Tepatnya, memiliki teman ternyata lebih menyenangkan, sesuatu yang baru kusadari saat itu.
Rutinitas tidur, bangun, mandi, dan makan di satu atap selama tiga tahun pun nggak juga membuatku berhasil menyebut tempat itu 'rumah'.


"Lo beneran kayak gak punya rumah aja sih, Kal." lontar Seno pada suatu sore di warung depan sekolah, tempat kami biasa menghabiskan waktu sembari menyeruput teh botol bersuhu suam-suam kuku karena cool box Pak Endang-pemilik warung-bolong sebelah.

"Yang lo sebut rumah tuh konsep buat gue, No. Belum berasa aja di gue kayaknya." jawabku sekenanya.

"Pantes lo betah lama-lama di warung sini ya. Gue juga kalo tiap pulang rumah kosong, bete sih." timpal Rega.

"Lah bukannya lo malah seneng kalo rumah kosong, Ga? Kan bisa main PS pake kolor doang kayak yang udah-udah?" sahut Gerry.

"Hush," hardik Rega, "fitnah itu!"

"Oh jadi Rega hobinya gitu ya, Ger?" tanya Aleya sok polos. Rega panik.

"Lo lebih percaya si cokolatos ini daripada gue, Al?" Rega mencolek Aleya dari samping. Aleya mendengus.

"Tapi serius, lo mending main di rumah gue aja dulu sampe bokap nyokap pulang, Kal." tambah Aleya lagi.

"Thanks Al," ujarku, "nanti kalo gue udah punya rumah sendiri, lo pasti gue izinin main sepuasnya di rumah gue."

"Gue juga nggak, Kal?" tanya Seno.

"Iyee, bawel."

"Jangan mau, Kal. Ntar Seno kerjaannya ngabisin isi kulkas lo doang."

"Wah sembarangan emang nih, cokolatos. Pulang sendiri lo ya nanti, jangan nebeng motor gue!" Seno mendelik

Membuat Gerry sontak bersimpuh di hadapan Seno dengan tangan terkatup di depan dadanya. "Ampun tuan muda. Becanda gue. Nebeng yah, males kalo musti naik angkot."

Kopi AkalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang