2.

712 99 43
                                    




Arsakha Damanugra


Semua orang paling nggak punya minimal satu hal yang paling ditakuti dalam hidup. Kecoak, setan, kena razia polisi pas belum urus pajak motor, petir, ketinggian, bahkan komitmen. Butuh bertahun-tahun buat sadar kalo gue juga punya satu hal yang paling gue takuti: kegagalan. Gue takut nggak bisa memenuhi ekspektasi orang terhadap gue. Baik itu dosen, temen, pacar, keluarga. Siapapun.

Gue lahir dan besar di keluarga yang bisa dibilang cukup dapat privilege dalam hidup. seluruh anggota keluarga gue—bokap, nyokap, dan kakak, nggak lain dan nggak bukan adalah lulusan kampus ternama di kota ini. Wajar kalo gue jadi beating myself up seumur hidup buat at least sejajar di level mereka dan keterima di kampus Ganesha. Meski mereka bertiga ada di jalur eksakta sementara gue ada di lini sosial.

Beda dengan kakak gue yang dikaruniai otak cemerlang dan jalur hidupnya mulus lancar, jalan hidup gue harus agak belok kanan kiri sedikit. Tapi itu semua nggak mengubah keyakinan terhadap kemampuan gue sendiri untuk bertahan hidup, makannya gue pengen banget buktiin ke keluarga kalo gue juga bisa sukses di jalan hidup yang gue pilih.

To face the disappointed look in their eyes is the very first thing that I wish to never happen. 

Segitunya gue nggak mau bikin orang kecewa, sayangnya dalam prosesnya malah bikin gue yang kerap kali dikecewakan, baik sama diri sendiri, maupun sama orang lain.

Contohnya beberapa tahun lalu, waktu gue masih jadi freshman di kampus. Seandainya gue bisa ngulang waktu, gue akan nolak pas temen-temen seangkatan mencalonkan gue buat jadi kandidat ketua program tahunan. Tapi lagi-lagi, gue nggak mau banget ngecewain orang-orang yang udah taruh kepercayaan mereka di bahu gue.

Ujung-ujungnya jadi gue yang jungkir balik ngurusin semuanya, ujung-ujungnya I burned myself out, ujung-ujungnya hasilnya gak sesuai standar yang udah gue set karena ternyata kapabilitas tangan gue yang cuma dua ini kadang nggak cukup buat beresin masalah yang ada, dan ujung-ujungnya gue kecewa sama diri gue sendiri. Endless cycle kayak gini aja terus sampe bumi beneran datar.

"Aduh..eh, Kala?"

Sebuah botol minuman dingin mendarat tepat di pipi kanan gue, bikin gue kaget akan suhu kontras dengan cuaca Bandung yang siang itu lagi panas-panasnya.

"Buat dinginin kepala, nih. Udah berasep gitu." perempuan bernama Kala itu kemudian duduk di samping gue, di pinggir tangga selasar gedung kampus, sembari memegang botol kaca serupa dengan yang diulurkan ke gue.

"Kopi susu?" alis gue otomatis terangkat sedikit mempertanyakan isi botol kaca tanpa label itu.

"Iya, lagi iseng bikin cold brew. Yang punya lo gue kasih susu sama gula aren dikit, cobain deh, enak nggak?" jawabnya sambil meneguk minuman miliknya.

Nggak paham dikasih ramuan elixir apa di dalamnya, tapi kopi susu dingin buatan Kala ini bikin kepala gue yang tadinya overheat jadi sedikit lebih adem. Seperti lagi berteduh di bawah pohon.

Tanpa sadar, gue udah neguk hampir separuh isinya, setengah berharap gue punya pasokan kopi susu dingin ini dalam bentuk galon.

Gue tengok ke sebelah kanan dan mendapati mata belo Kala lagi menatap lurus ke gue. Tatapannya polos, apa ya, setengah penasaran? Seolah lagi nunggu kalimat apapun keluar dari mulut gue tentang kopi bikinannya itu. Lucu.

"Kenapa lo ngeliatin gue gitu, Kal? Ada yang aneh?" gue tatap balik anaknya, sambil naikin alis berusaha sembunyiin rasa aneh yang ada di perut gue sejak dia duduk di sebelah. Berharap masih terlihat cool dan ganteng.

Kopi AkalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang