3.

873 83 63
                                    


Arunika Kala

Banyak yang bilang Bandung itu magis. Dan aku setuju. Ada sesuatu pada kombinasi cerahnya langit dan angin sore yang berhembus di kota ini, yang menerbangkan nalar dan pikiran ke atas, menjadi satu stratosfir lebih romantis dari biasanya. Sebagai saksi dari sekian banyak pahit manisnya pertemuan dan perpisahan, kota ini seakan punya kekuatan tersendiri yang menggelitik memori. Mengajak rasional memasuki ranah nostalgia.

Sama halnya dengan kedai kopi, di mana puluhan lagu telah mengisahkan skenario romansa tentang dua insan yang jatuh hati di dalamnya. Salah satunya sedang mengalun manis dari pemutar piringan hitam di sudut Kopi Akal.

I think that possibly, maybe I'm falling for you

Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you


Sengaja kupilih lagu yang sedikit berbeda dari kurasi playlist harian yang biasanya kuputar. The Beatles dan teman-temannya kurehatkan sesaat karena yang satu ini lebih tepat.

Lebih tepat untuk jadi original soundtrack dari motion pictures based on true story sepasang lelaki & gadis yang kini sedang bertukar tawa di pinggir jendela.


"Kak Kala!" sapa lelaki itu saat kakinya melangkah ke Kopi Akal beberapa saat lalu. Butuh beberapa detik untukku sadar siapa pemilik suara itu hingga ia menanggalkan helm dan masker hitam dari wajahnya.

"Rama?" ujarku setelah beberapa saat, "Lama ih nggak keliatan!"

"Hehe, iya nih. Adam mana, Kak?" balasnya. Sebuah ransel hitam besar menggantung di pundaknya.

Rama yang terakhir kali kujumpai beberapa bulan lalu kini terlihat sedikit lebih dewasa. Garis wajahnya mengeras menampilkan rahang yang kini bersiku, meski seluruh ekspresi wajahnya berkata sebaliknya saat ia melemparkan cengiran lebar menampilkan rentetan gigi rapihnya. Cengiran khasnya yang seperti anak kelinci itu nggak berubah, juga dengan kerutan di samping kedua matanya yang kerap muncul saat ia tersenyum. Nggak hanya tingginya yang nampak masih tumbuh, rambutnya pun ia biarkan memanjang hampir menutupi kedua matanya.

Melihat sosok itu berdiri di hadapanku dengan sweatshirt abu-abu dan celana kargo denimnya membuatku menyadari bahwa waktu sudah belalu cukup lama semenjak saat terakhir aku bertemu dengannya. Bisa kubayangkan mahasiswa seni rupa ITB tingkat akhir ini punya banyak pengagum di kampusnya, membuatku penasaran kepada perempuan seperti apa hatinya akan berlabuh.

"My broooo!" lontarnya saat melihat Adam melangkah dari pintu belakang kedai.

"Gila, ada siapa nih? Gue gak salah liat kan? Rama? Rama yang dulu sering minta gue jajanin ayam bumbu rujak di KBL*?" tanpa menunggu aba-aba, keduanya menghampiri satu sama lain dan berpelukkan singkat sebelum Adam mengacak rambut Rama, membuatnya semakin berantakkan.

"Kalian apa kabar? Udah makin gede aja nih Kopi Akal." ujar Rama.

"Dari dulu emang segini, Ram. Lo aja yang udah lama nggak kesini." tukas Adam saat Rama meletakkan bawaannya di meja panjang pinggir jendela yang menghadap ke ruas jalan Gandapura.

"Hehe, sorry. Tugas gue semester kemaren lagi banyak banget, Kak. Untung sekarang tinggal yang terakhir doang."

"Biasanya juga lo bawa tugas ke sini, Ram. Tuh ransel kayaknya berat banget isinya apa? Alat gambar?" timpal Adam, yang sepertinya segitu rindunya dengan lelaki yang sudah ia anggap adik sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kopi AkalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang